KALKULUS DASAR Untuk Sekolah Menengah Atas dan Awal Universitas versi 1.0
𝑏
𝑏
𝑓(𝑥) ≅ 𝑎
𝑎
𝑓(𝑏) 𝑓 𝑎 𝑓 𝑥 𝑑𝑥 + + 2 2
𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) 𝑓 𝑥 = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 ′
𝑏
𝑆=
1+ 𝑎
Paradoks Softbook Publisher
𝑑𝑦 𝑑𝑥 𝑑𝑥
Sunkar E. Gautama 0
1
KALKULUS DASAR Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas versi 1.0
Sunkar E. Gautama © Paradoks Softbook Publisher http://paradoks77.blogspot.com For free
2
Judul buku
: Kalkulus Dasar – Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas
Edisi
: 1.0
Penulis
: Sunkar Eka Gautama
Tahun terbit : 2012
Penerbit online Paradoks Softbook Publisher Kritik, saran, koreksi, dan pertanyaan: http://paradoks77.blogspot.com
[email protected]
Open source: Buku ini ditujukan untuk disebarkan secara cuma-cuma demi dunia pendidikan di Indonesia. Tiap orang berhak untuk mencetak atau mengeditnya, bahkan diperbolehkan membuat buku non-komersial baru berdasarkan buku ini dengan mencantumkan judul buku yang menjadi platform, nama pengarang, dan penerbit online Paradoks Softbook Publisher pada sampul buku Anda. Dilarang keras mengomersialkan buku ini tanpa izin penerbit!
1 12
3
Kata Pengantar Tidak terasa buku ke-dua saya yang berjudul Kalkulus Dasar ini kelar juga. Menyelesaikan buku ini di sela-sela kuliah dan kerja ternyata cukup sulit. Namun dilatarbelakangi semangat yang kuat melihat masih cukup minimnya buku-buku kalkulus dasar yang ditulis berbasis konseptual, akhirnya dalam tempo lima bulan buku ini bisa diselesaikan. Penyusunan buku berbasis konseptual ini dipilih karena buku-buku berbasis ikhtisar jarang yang dapat mengantar pembaca mengenal seluk-beluk materi dalam buku, mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Apalagi jika bukunya buku matematika, jelaslah matematika akan tampak bagaikan monster. Atas terselesaikannya buku ini, penulis berterima kasih kepada segenap materi-energi yang berkontribusi dalam pembuatan buku ini, khususnya kepada orangtua penulis, MS Word, Cindy (atas bantuannya mengetikkan beberapa bagian tulisan), serta saudara Aldytia, Ariansyah, Nur Hidayat, dan Akbar yang sudi menemani ngopi dan ngobrol di bawah pohon tatkala penulis jenuh, Alih-alih mengonversi buku ini ke format pdf, berdasarkan ilham yang didapat penulis memutuskan tetap menggunakan format docx sehingga buku ini benar-benar open source, boleh dikopi, disunting, dan dicetak semaunya. Hak cipta adalah bagian tak terpisahkan dari suatu karya, tapi untuk buku saya, hak ciptanya tidak dilindungi undang-undang – semata-mata untuk pendidikan di Indonesia. Karena merupakan edisi perdana, penulis memohon maaf atas kesalahankesalahan teknis maupun non-teknis pada buku ini – tolong tidak hanya dimaklumi, tetapi juga dilaporkan oleh pembaca yang budiman demi kepentingan koreksi buku ini pada revisi selanjutnya. Akhir kalimat, terima kasih telah menggunakan buku ini. Salam hangat.
Makassar, Oktober 2012 Penulis
4
Daftar Isi
Kata Pengantar
4
Daftar Isi
5
Pendahuluan
7
1. Himpunan dan Fungsi
8
1.1.
Himpunan dan Bilangan
8
1.2.
Definisi Fungsi
13
1.3.
Beberapa Jenis Fungsi
17
1.4.
Operasi pada Fungsi
26
2. Limit
29
2.1.
Definisi Limit
29
2.2.
Limit Fungsi Aljabar
33
2.3.
Teorema Limit
44
2.4.
Limit Fungsi Trigonometri
45
2.5.
Kontinyuitas Suatu Fungsi
47
3. Turunan
49
3.1.
Turunan Fungsi di Suatu Titik
49
3.2.
Turunan Fungsi Aljabar
56
3.3.
Turunan Fungsi Trigonometri
60
3.4.
Turunan Fungsi Komposit dan Aturan Rantai
62
3.5.
Turunan Tingkat Tinggi (Orde Tinggi)
65
3.6.
Turunan Fungsi Implisit
69
3.7.
Turunan Fungsi Pangkat Irasional
69
3.8.
Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim
70
4. Integral
78
4.1.
Integral sebagai Anti-Turunan
78
4.2.
Notasi Integral
79 5
4.3.
Integral sebagai Luas Daerah di Bawah Kurva
81
4.4.
Beberapa Bentuk Integral
85
4.5.
Metode Substitusi
88
4.6.
Integral Parsial
95
4.7.
Integral Fungsi Rasional
101
4.8.
Integral Tentu
104
5. Turunan Parsial dan Turunan Berarah
115
5.1.
Fungsi n Variabel
115
5.2.
Turunan Parsial
117
5.3.
Aturan Rantai Fungsi Implisit
119
5.4.
Diferensial Total dan Hampiran
123
5.5.
Gradien dan Turunan Berarah
126
6. Aplikasi Turunan dan Integral
129
6.1.
Aplikasi Turunan
129
6.2.
Aplikasi Integral
139
7. Deret Tak Hingga
147
7.1.
Deret Tak Hingga
147
7.2.
Deret Pangkat
153
7.3.
Deret Taylor dan MacLaurin
154
7.4.
Turunan dengan Bantuan Deret
155
8. Pengantar Persamaan Diferensial
157
8.1.
Konsep Persamaan Diferensial
157
8.2.
Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
159
8.3.
Persamaan Diferensial Linear Orde Dua
159
Daftar Pustaka
164
6
Pendahuluan Kalkulus diferensial pertama kali dirumuskan oleh Leibniz dan Newton secara terpisah. Sebelumnya, pada abad ke-19, seorang matematikawan Prancis bernama Augustin-Louis Cauchy (1789 – 1857) merumuskan konsep limit yang menjadi dasar dari kalkulus diferensial. Kalkulus diferensial kemudian berkembang menjadi alat yang luar biasa dalam pemecahan problem matematis yang sulit dinalarkan secara aritmatika. Sebagai contoh sederhana, dengan integral kita dapat menghitung volume benda yang merupakan rotasi dari fungsi 𝑓 𝑥 dengan batas tertentu. Dengan kalkulus diferensial sistem-sistem fisis dapat dimodelkan mulai dari momen inersia, gerak benda yang kompleks, atmosfer bintang, hingga struktur jagat raya. Belakangan
ini,
pemodelan
matematis
semakin
rumit
sehingga
penyelesaiannya harus dikerjakan dengan bantuan komputer yang kemudian membuat cabang matematika baru, yakni metode numerik. Baik menggunakan metode analitik maupun numerik, kalkulus merupakan salah satu senjata utamanya. Adapun tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan penyusunan buku ini bagi pembaca antara lain adalah:
Dengan penyusunan buku berbasis konseptual, diharapkan pembaca mengetahui dan memahami konsep dan definisi limit, turunan, dan integral.
Dapat menyelesaikan persoalan-persoalan matematis ataupun pemodelan yang memerlukan bantuan kalkulus diferensial.
Memiliki modal yang cukup mengenai dasar matematis kalkulus untuk mempelajari ilmu matematika dan ilmu alam pada tingkat lanjut.
Dapat menyelesaikan problem sehari-hari dengan lebih baik menggunakan analogi kalkulus diferensial.
7
Himpunan dan Fungsi
Bab 1
1. HIMPUNAN DAN BILANGAN Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi, ada baiknya kita mempelajari atau menyegarkan kembali ingatan kita mengenai himpunan dan bilangan. Mengapa hal ini penting? Yang pertama, fungsi terlibat dengan himpunan. Fungsi tidak lain adalah aturan pemetaan dari satu himpunan ke himpunan yang lain. Yang kedua, buku ini adalah buku matematika, jadi jelas saja isi dari himpunan-himpunan yang akan dibahas adalah bilangan. Jika Anda mendapati himpunan yang dibahas dalam buku ini berisikan binatang, jangan khawatir, Anda tidak sedang membaca buku zoologi, ini cuma sekadar pengantar ke pemahaman matematisnya.
1.1. Definisi Himpunan Dalam pengertian umum, himpunan tidak lain adalah kumpulan objek-objek tertentu yang memiliki setidaknya satu kesamaan, yakni syarat yang diperlukan untuk bisa dimasukkan dalam himpunan tadi. Misalkan kambing,
sapi,
dan
kerbau
dapat
dikategorikan
sebagai
hewan
memamahbiak sebab mereka memenuhi syarat untuk bisa dimasukkan dalam
kelompok
hewan
memamahbiak
karena:
mereka
memang
memamahbiak. Hal terpenting dalam himpunan ialah tidak boleh ada dua benda yang sama dimasukkan dua kali. Semua objek-objek dalam himpunan haruslah berbeda karena jika tidak akan terjadi penggelembungan suara. Namun dalam lain kasus, kita tidak perlu mempunyai syarat yang jelas ataukah kita tidak perlu menjelaskan syarat suatu himpunan. Kita katakan saja himpunan A berisikan tomat, tempe, daging sapi, dan es campur. Kita cukup mendeklarasikan elemen-elemen suatu himpunan tanpa 8
menjelaskan syaratnya (meskipun ada syarat dibaliknya, misal barangbarang yang ada di kulkas rumah saya). Oke, dalam matematika himpunan disimbolkan dengan huruf kapital semisal A, B, C, dan lain-lain. Objek-objek dalam himpunan (elemenelemennya) disimbolkan dengan huruf kecil. Untuk memerikan suatu himpunan, elemen-elemennya dapat dituliskan dalam tanda kurung kurawal. 𝐴 = {1,2,3,4,5} 𝐵 = {1,3,5,7, … } Atau kita dapat menuliskan deskripsi (syarat) elemen dari suatu himpunan. 𝐴 = {𝑥|1 ≤ 𝑥 ≤ 5; 𝑥 ∈ ℤ} 𝐵 = {𝑥|𝑥 = 2𝑛 − 1; 𝑛 ∈ ℕ} Simbol ℕ, ℤ, ℚ, ℝ, dan ℂ masing-masing menyatakan bilangan asli (1,2,3,…),
bilangan
bulat/integer
(…,-1,0,1,2,…),
bilangan
rasional
𝑎
ℚ = {𝑥|𝑥 = 𝑏 ; 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ, 𝑏 ≠ 0}, bilangan riil (rasional dan irasional), dan bilangan kompleks (bilangan riil dan imajiner), sedangkan simbol ∈ dibaca “elemen dari”. Himpunan juga dapat digambarkan dalam skema berupa area tertutup yang merepresentasikan himpunan dan di dalamnya terdapat elemen-elemen dari himpunan yang dimaksud. Selain mendefinisikan elemen dari suatu himpunan, biasanya terdapat hubungan antara dua atau lebih himpunan. Hubungan-hubungan yang mungkin antara lain ialah: 1. Irisan/intersection (∩) Misalkan himpunan A berisikan hewan-hewan yang dapat terbang sebagai berikut A = {merpati, elang, lalat, kelelawar} dan himpunan B berisikan mamalia sebagai berikut B = {anjing, kuda, paus, kelelawar}. Perhatikan bahwa kelelawar (atau kalelawar ya?) merupakan elemen dari himpunan A dan B, dengan kata lain himpunan A dan B beririskan di
9
kelelawar, dinotasikan: kelelawar = 𝐴 ∩ 𝐵 (dibaca: kelelawar sama dengan A iris B). 2. Gabungan/union (∪) Misalkan siswa-siswi SMA Putus Harapan (sebut himpunan A) terbagi menjadi dua jurusan, yakni IPA (himpunan B) dan IPS (himpunan C). Artinya bila himpunan B digabung dengan himpunan C akan menjadi himpunan A, dinotasikan: 𝐴 = 𝐵 ∪ 𝐶 (dibaca: A sama dengan B gabung C). 3. Himpunan bagian/subset (⊂) dan himpunan induk/superset (⊃) Berkaitan dengan poin nomor 2, bagaimanakah jika SMA Putus Harapan terbagi menjadi tiga jurusan yakni IPA, IPS, dan bahasa (sebut himpunan D)? Tidak benar jika kita menuliskan 𝐵 ∪ 𝐶 = 𝐴 karena A juga berisikan D, yang benar adalah 𝐵 ∪ 𝐶 ∪ 𝐷 = 𝐴 . Tetapi benar juga jika kita mengatakan B adalah himpunan bagian (subset) dari A, dinotasikan: 𝐵 ⊂ 𝐴 (dibaca: B subset dari A). Ataukah dengan bahasa yang sedikit berbeda kita dapat mengatakan A adalah himpunan induk (superset) dari B, dinotasikan: 𝐴 ⊃ 𝐵 (dibaca: A superset dari B).
1.2. Bilangan Riil (Real Number) Dari penjelasan sebelumnya tentang himpunan, dapat kita tuliskan ℕ ⊂ ℤ ⊂ ℚ ⊂ ℝ ⊂ ℂ. Sebelum bilangan riil dikonsepkan, orang dulunya 𝑎
mengira semua panjang dapat dinyatakan dalam bilangan rasional, 𝑥 = 𝑏 dengan 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ , 𝑏 ≠ 0 .
Tetapi
setelah
Pythagoras
mengemukakan
teoremanya, diketahui bahwa panjang sisi miring segitiga siku-siku dengan sisi-sisi yang berpenyiku sama dengan 1 ialah 2, yang mana tidak dapat dinyatakan dalam bentuk rasional. Bilangan-bilangan yang tidak dapat dibawa dalam bentuk rasional selanjutnya dinamakan bilangan irasional. Ciri-ciri bilangan irasional ialah bila dituliskan dalam bentuk desimal menghasilkan bilangan dengan angka di belakang koma tak hingga panjangnya dan tidak memiliki suatu pola berulang yang tetap. Misalkan 10
bilangan 𝜋 = 3,14159265358979323846264 … memiliki tak hingga angka di belakang koma yang susunannya tidak memiliki pola. Tetapi bilangan 0.69230769230769230769… bukanlah bilangan irasional meskipun angka di belakang komanya tak hingga panjangnya karena susunannya memiliki pola berulang. Terbukti, 0.69230769230769230769… dalam bentuk pecahan yakni
9
dapat diubah ke
.
13
Bilangan riil (ℝ) merupakan gabungan dari bilangan rasional dan bilangan irasional. Bilangan riil didefinisikan sebagai semua [titik] bilangan yang berada sepanjang garis datar (misal sumbu X).
1.3. Selang (Interval) Ada tak hingga banyaknya bilangan riil, dan seringkali kita hanya ingin meninjau bilangan-bilangan riil dalam selang tertentu saja. Suatu selang biasanya dapat dinyatakan dalam ketaksamaan, semisal 𝑎 < 𝑥 < 𝑏 yang berarti nilai-nilai x berada di antara a dan b. Selang seperti ini disebut selang terbuka, dan biasa dinotasikan juga sebagai (𝑎, 𝑏). Adapun selang semacam 𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑏 berarti nilai-nilai x dari a hingga b. Selang seperti ini disebut selang tertutup yang biasa juga dinotasikan sebagai [𝑎, 𝑏]. Jadi dalam selang tertutup batasnya juga dimasukkan dalam himpunan, sedangkan dalam selang terbuka tidak. Semua elemen yang mungkin dalam bilangan real dapat dinotasikan sebagai −∞ < 𝑥 < ∞ atau (−∞, ∞). Beberapa contoh selang yang mungkin ialah [𝑎, 𝑏), (𝑎, 𝑏], (−∞, 𝑏), (𝑎, ∞), (−∞, 𝑏], dan [𝑎, ∞). Cobalah Anda terjemahkan maksudnya.
1.4. Koordinat Kartesius Dalam menggambarkan letak/koordinat
suatu titik biasanya
digunakan suatu sistem koordinat. Mengingat nilai input dan hasil output fungsi dapat dianggap sebagai koordinat, maka titik itu juga dapat digambarkan dalam sistem koordinat. Salah satu yang paling umum digunakan ialah koordinat kartesius. Dalam koordinat kartesius terdapat 11
sumbu-sumbu orientasi arah berupa garis riil yang lurus dan saling tegak lurus (ortogonal) satu sama lain. Jika kita menggambarkan letak titik dalam dua dimensi, maka hanya diperlukan dua sumbu (misal X dan Y) untuk menunjukkan arah atas, bawah, kiri, dan kanan. Begitu pula bila ingin menggambarkan letak titik dalam tiga dimensi, diperlukan tiga sumbu orientasi (misal X, Y, dan Z). Jika terdapat suatu titik A dalam koordinat kartesian dua dimensi, proyeksi titik A ke sumbu X disebut sebagai nilai komponen x dari titik A dan proyeksi titik A ke sumbu Y disebut sebagai nilai komponen y dari titik A sehingga dapat dituliskan letak titik A sebagai 𝐴 𝑥𝐴 , 𝑦𝐴 . Untuk pemetaan suatu fungsi, dengan meletakkan nilai-nilai input pada satu sumbu (misalkan sumbu X) nilai-nilai output diletakkan pada sumbu lainnya (sumbu Y), maka lokasi pasangan nilai (input-output) dapat diperoleh dengan menghubungkan komponen x (input) dan komponen y (output)-nya. Y 6 5 4 3 2 1
Y
A = (4,3)
y = f(x) X
-6 -5 -4 -3 -2 -1 -1 0 1 2 3 4 5 6 -2 -3 -4 B = (-2,-5) -5 -6
X 0
Gambar 1.1. Letak titik A = (4,3) dan B = (-2,-5) digambarkan dalam koordinat kartesius 2D (kiri) dan fungsi f(x) yang direpsentasikan sebagai kumpulan titik-titik digambarkan dalam koordinat kartesiuas (kanan).
12
2. DEFINISI FUNGSI Pernahkah Anda masuk ke kebun binatang atau wahana hiburan? Biasanya tiket masuknya bervariasi: orang dewasa Rp 100.000,00, di bawah 12 tahun Rp 50.000.00, dan balita gratis. Yeah, ini adalah salah satu bentuk fungsi! Mungkin Anda juga pernah mendengar rumus kesetaraan massa-energi dari Einstein, 𝐸 = 𝑚𝑐 2 , persamaan itu juga merupakan fungsi. Lalu apa bedanya fungsi dan persamaan? Mari temukan penjelasannya di bawah ini.
2.1. Pemetaan Pemetaan ialah proses menghubungkan suatu input terhadap outputnya berdasarkan relasi/syarat/aturan. Jadi hal yang penting dalam pemetaan adalah input, relasi, dan output. Biasanya kita telah memilki nilainilai input yang jelas, juga telah memiliki relasi yang telah ditentukan. Dengan memasukkan nilai-nilai input ke dalam mesin pemroses (relasi), maka keluar nilai outputnya. Dengan begitu kita dapat menghubungkan nilai-nilai input dengan nilai output yang dihasilkannya, inilah pemetaan! Himpunan dari nilai-nilai input itu disebut daerah asal (domain), sedangkan himpunan dari nilai-nilai output disebut daerah hasil (codomain). Pemetaan dapat digambarkan melalui diagram yang mudah dimengerti, mudah digambarkan di atas kertas, tetapi cukup menjengkelkan jika harus digambarkan dengan MS Word. Misalkan pemetaan hewanhewan (sebagai input) terhadap makanannya (sebagai output). Jadi relasinya adalah “memakan”.
13
memakan
A
B
kuda •
• kelinci
macan tutul •
• rumput
kambing •
• kril
paus biru •
• ikan mas
ikan gabus •
• mi instan .rasa soto
kucing hutan •
Gambar 1.2. Diagram panah yang menggambarkan pemetaan dari A ke B.
Pada diagram di atas terlihat beberapa elemen dari daerah asal terpetakan lebih dari satu nilai di daerah hasil (contohnya kucing hutan terpetakan di kelinci dan ikan mas). Begitu pula beberapa elemen dari daerah asal terpetakan pada nilai yang sama di daerah hasil (misalkan macan tutul dan kucing hutan sama-sama terpetakan di kelinci). Ada pula pemetaan di mana tiap elemen dari daerah asal tepat terpetakan pada satu elemen di daerah hasil, menghasilkan pasangan-pasangan domaincodomain. Pemetaan semacam ini disebut pemetaan satu-satu.
2.2. Definisi Fungsi Telah dijelaskan bahwa komponen-komponen utama pemetaan adalah input (domain), proses (relasi), dan output (codomain). Jika relasinya berbentuk sedemikian rupa sehingga satu nilai input hanya memiliki satu nilai output, maka relasi itu disebut fungsi (relasi adalah hipernim dari fungsi). Meskipun demikian, tetap masih ada kerancuan mengenai definisi ini jika diterapkan untuk bilangan. Untuk lebih jelas, perhatikan gambar di bawah ini.
14
• • • •
• • • •
• • • •
• • • •
a
b Gambar 1.3.
• • • •
• • • •
• • • •
c
• • • •
d
Macam-macam kemungkinan diagram panah.
Pada gambar di atas, diagram a dan c merupakan pemetaan fungsi, karena tiap elemen dari daerah asal hanya terpetakan satu kali. Pada diagram b ada satu titik dari daerah asal yang tidak terpetakan (nol kali) dan pada diagram d ada satu titik yang terpetakan dua kali, sehingga relasinya bukanlah fungsi. Mungkin Anda telah paham tentang syarat fungsi. Berikut beberapa contoh mana yang fungsi dan mana yang bukan fungsi. Cobalah Anda temukan mengapa mereka disebut fungsi atau bukan fungsi. Contoh fungsi: 1. 𝑦 = 𝑥 + 1 2. 𝑦 = 2𝑥 2 + 3𝑥 − 1 3. If round(x/2) – (x/2) = 0; genap else; ganjil Contoh yang bukan fungsi 1. 𝑦 = 25 − 𝑥 2 𝑥
2. 𝑦 = 0 3. Yang guru ke kelompok A, pengusaha ke kelompok B Sampai sejauh ini fungsi-fungsi yang dibahas hanyalah fungsi satu variabel, atau dengan bahasa sehari-hari hanya ada satu faktor yang menjadi
syarat pemetaan. Untuk sementara hal ini dianggap cukup.
Meskipun demikian, fungsi banyak variabel tetap akan dibahas pada bab 5.
15
2.3. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil Perhatikan grafik fungsi sin 𝑥, cos 𝑥, 𝑥 2 , dan 𝑥 3 di bawah ini.
Gambar 1.4. Fungsi genap dan fungsi ganjil.
Jika diperhatikan dengan baik, pada fungsi sin 𝑥 dan 𝑥 3 berlaku 𝑓 −𝑥 = −𝑓(𝑥)
(1.1)
Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.1, fungsi tersebut dikategorikan sebagai fungsi ganjil. Sekerang coba perhatikan fungsi cos 𝑥 dan 𝑥 2 , diperoleh 𝑓 −𝑥 = 𝑓(𝑥)
(1.2)
Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.2, fungsi tersebut dikategorikan sebagai fungsi genap. Pada fungsi genap jelas terlihat sumbu Y berlaku sebagai cermin, atau kurva di daerah 𝑋 − merupakan pencerminan dari kurva di daerah 𝑋 +. Dari definisi ini, buktikanlah pemangkatan dengan bilangan genap dari semua fungsi riil merupakan fungsi genap, sedangkan pemangkatan dengan bilangan ganjil tidak merubah kelas fungsinya.
16
3. BEBERAPA JENIS FUNGSI Kita telah cukup banyak membahas mengenai fungsi. Berikutnya akan diberikan beberapa jenis fungsi yang sering muncul dalam keseharian dan ujian Anda.
3.1. Fungsi Polinom Fungsi polinom ialah fungsi yang berbentuk 𝑓 𝑥 = 𝑎0 + 𝑎1 𝑥 + 𝑎2 𝑥 2 + ⋯ + 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 Dengan n bilangan bulat non-negatif dan 𝑎0 , 𝑎1 , … , 𝑎𝑛 adalah tetapan riil. Jika 𝑎𝑛 ≠ 0, dikatakan derajat atau orde polinom tersebut adalah n. Jika n = 0, maka fungsi tersebut menjadi 𝑓 𝑥 = 𝑎0 untuk semua nilai x. Fungsi seperti itu disebut fungsi konstan.
3.2. Fungsi Rasional Fungsi rasional ialah fungsi yang berbentuk pembagian dua fungsi polinom, yaitu: 𝑓 𝑥 =
𝑎0 + 𝑎1 𝑥 + 𝑎2 𝑥 2 + ⋯ + 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 𝑏0 + 𝑏1 𝑥 + 𝑏2 𝑥 2 + ⋯ + 𝑏𝑛 𝑥 𝑛
Dengan syarat penyebutnya tidak sama dengan nol untuk semua nilai x (syarat perlu pembilang ≠ 0).
3.3. Fungsi Irasional Fungsi irasional adalah fungsi yang memuat tanda penarikan akar. 3
Contohnya 𝑓 𝑥 = 𝑥 + 𝑥 3 − 2𝑥 .
3.4. Fungsi Nilai Mutlak Nilai mutlak didefinisikan sebagai 𝑥 = 𝑥; bila 𝑥 ≥ 0 𝑥 = −𝑥; bila 𝑥 < 0
17
Misalnya 7 = 7, 0 = 0, dan −7 = −(−7) = 7. Dari definisi di atas terlihat bahwa untuk setiap bilangan riil 𝑥 berlaku 𝑥 ≥ 0. Salah satu cara mudah untuk membayangkan nilai mutlak ialah jarak (suatu skalar, tidak memilki arah). 𝑥 adalah jarak x dari titik (0,0), begitu pula 𝑥 − 𝑎 ialah jarak antara x dengan a. Dari definisi nilai mutlak ini, didapati pula sifat nilai mutlak dalam suatu ketaksamaan yakni 𝑥 < 𝑎; berarti – 𝑎 < 𝑥 < 𝑎
(1.3.a)
𝑥 > 𝑎; berarti 𝑥 < −𝑎 atau 𝑥 > 𝑎
(1.3.b)
Berikut ini ialah sifat-sifat nilai mutlak dalam operasi aljabar 1. 2. 3.
𝑎𝑏 = 𝑎 𝑏 𝑎 𝑏
=
𝑎 𝑏
𝑎+𝑏 ≤ 𝑎 + 𝑏
Contoh: 1. Selesaikanlah ketaksamaan 𝑥 − 7 < 2! Jawab: Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.a, dapat diperluas menjadi 𝑓(𝑥) < 𝑎; berarti – 𝑎 < 𝑓 𝑥 < 𝑎, sehingga −2 < 𝑥 − 7 < 2 Tambahkan masing-masing ruas dengan 7, diperoleh 5<𝑥<9 Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang 5,9 .
2. Selesaikanlah ketaksamaan 4𝑥 − 8 ≥ 12! Jawab: Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.b, dapat diperluas menjadi 𝑓(𝑥) ≥ 𝑎; berarti 𝑓 𝑥 ≤ −𝑎 atau 𝑓 𝑥 ≥ 𝑎, sehingga 4𝑥 − 8 ≤ −12 atau 4𝑥 − 8 ≥ 12 Tambahkan masing-masing ruas dengan 8, diperoleh 18
4𝑥 ≤ −4 atau 4𝑥 ≥ 20 sehingga 𝑥 ≤ −1 atau 𝑥 ≥ 5 Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang (∞, −1 ∪ [5, ∞).
3. Selesaikanlah ketaksamaan 4 − 𝑥 ≤ 2! Jawab: −2 ≤ 4 − 𝑥 ≤ 2 −6 ≤ −𝑥 ≤ −2 Kalikan semua ruas dengan -1 (ingat jika ketaksamaan dikalikan dengan -1 maka tandanya berbalik, seperti bila 2 < 4, maka −2 > −4). 6 ≥ 𝑥 ≥ 2 atau 2 ≤ 𝑥 ≤ 6. Jadi himpunan penyelesaiannya berada dalam selang [2,6].
Setelah mempelajari “operasi” nilai mutlak, sekarang kita akan membahas fungsi nilai mutlak. Ingatlah kembali bahwa jika ada tanda nilai mutlak, maka fungsi itu berubah sifatnya pada titik yang ditunjukkan oleh subfungsi dalam tanda nilai mutlak itu. Misalkan 𝑓 𝑥 = 3 − 2 4𝑥 + 2 , maka fungsi 𝑓 𝑥 akan berubah sifat di titik 4𝑥 + 2 = 0 atau 𝑥 = −0,5. Jadi fungsi nilai mutlak 𝑓 𝑥 dapat kita pecah menjadi dua bagian, yakni: 𝑓 𝑥 =
−8𝑥 − 1 ; jika 𝑥 ≥ −0,5 8𝑥 + 7 ; jika 𝑥 < −0,5
Berikut grafiknya:
Gambar 1.5. Grafik fungsi nilai mutlak 𝑓 𝑥 = 3 − 2 4𝑥 + 2 .
19
Satu contoh lagi, misalkan 𝑓 𝑥 = 𝑥 𝑥 + 𝑥 − 3 . Terdapat dua tanda mutlak, sehingga terdapat dua titik di mana 𝑓 𝑥 akan berubah sifat. Kedua titik itu ialah 𝑥 = 0 dan 𝑥 − 3 = 0; 𝑥 = 3. Perhatikan pada subfungsi dalam tanda mutlak yang pertama, 𝑥 , untuk 𝑥 < 0 maka 𝑥 = −𝑥, sedangkan untuk 𝑥 ≥ 0 maka 𝑥 = 𝑥. Cara yang serupa dikerjakan untuk tanda mutlak yang ke-dua,
𝑥 − 3 , menghasilkan 𝑥 − 3 = −𝑥 + 3 untuk 𝑥 < 3 , dan
𝑥 − 3 = 𝑥 − 3 untuk 𝑥 ≥ 3. Dengan demikian terdapat tiga selang yang memuat “fungsi baru” yang berbeda yakni: 𝑥 2 + 𝑥 − 3 ; jika 𝑥 ≥ 3 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 − 𝑥 + 3 ; jika 0 ≤ 𝑥 < 3 −𝑥 2 − 𝑥 + 3 ; jika 𝑥 < 0
3.5. Fungsi Tangga Fungsi tangga ialah fungsi bilangan bulat terbesar. Jadi, sebelum membahas fungsi bilangan bulat terbesar, kita bahas terlebih dahulu “operasi” bilangan bulat terbesar. Ibarat terdapat tangga yang terdiri dari dua puluh anak tangga di rumah Anda. Dalam hal ketinggiannya, tangga itu kita anggap sebagai suatu selang dalam garis riil dan ketinggian tiap-tiap anak tangga itu berada pada nilai bilangan bulat. Jika Anda berada pada anak tangga ke-tiga, dan melangkahkan kaki maju tetapi ketinggian langkah kaki Anda hanya sepertiga anak tangga, Anda tidak akan naik ke manamana, melainkan tetap di kedudukan semula. Meskipun Anda mengangkat kaki setinggi setengah, 0,9, atau 0,9999… kali tinggi anak tangga Anda tetap tidak akan naik. Hal yang analog (tidak persis) terjadi bila Anda turun tangga. Meskipun Anda hanya melangkah turun 0,001 kali ketinggian anak tangga saja, Anda pastilah akan turun satu anak tangga. Dari penggambaran di atas, dapat kita simpulkan dalam operasi bilangan bulat terbesar (disimbolkan sebagai 𝑓(𝑎) ), hanya dikenal bilangan-bilangan bulat/integer. Jika 𝑓 𝑎 bukan bilangan bulat maka 𝑓(𝑎) akan bernilai sama dengan bilangan bulat terbesar yang lebih kecil dari pada 𝒇 𝒂 . 20
Contohnya kita ambil saja operasi pada konstanta. Bila 𝑥 = 2,2, terdapat bilangan bulat …, -1,0,1,2 yang lebih kecil dari 2,2, jadi 2,2 = 2. Dengan mudah kita ketahui
1,7 = 1 ,
3,5 = 3 ,
−4,6 = −5 , dan
10 = 10. Secara formal dapatlah kita tuliskan 𝑥 = 𝑛 jika 𝑛 ≤ 𝑥 < 𝑛 + 1
Contoh: 1. Tentukanlah aturan fungsi tangga 𝑓 𝑥 = −2𝑥 dalam selang −1 ≤ 𝑥 ≤ 1 Jawab: Menurut definisi bilangan bulat terbesar 1
−2𝑥 = 𝑛 jika 𝑛 ≤ −2𝑥 ≤ 𝑛 + 1, kalikan dengan − 2 pada ketiga ruas diperoleh −
𝑛+1 2
𝑛
≤ 𝑥 ≤ − 2.
Agar −1 ≤ 𝑥 ≤ 1, pilih 𝑛 = −2, −1,0,1, sehingga 1
𝑛 = −2 ⟹ 2 < 𝑥 ≤ 1 ⟹ −2𝑥 = −2 ⟹ 𝑓 𝑥 = −2 1
𝑛 = −1 ⟹ 0 < 𝑥 ≤ 2 ⟹ −2𝑥 = −1 ⟹ 𝑓 𝑥 = −1 1
𝑛 = 0 ⟹ − 2 < 𝑥 ≤ 0 ⟹ −2𝑥 = 0 ⟹ 𝑓 𝑥 = 0 1
𝑛 = 1 ⟹ −1 < 𝑥 ≤ − 2 ⟹ −2𝑥 = 1 ⟹ 𝑓 𝑥 = 1 untuk 𝑥 = −1 ⟹ −2𝑥 = 2 ⟹ 𝑓 𝑥 = 2 Jadi aturan fungsinya adalah 1 −2; < 𝑥 ≤ 1 2 1 −1; 0 < 𝑥 ≤ 2 1 𝑓 𝑥 = 0; − < 𝑥 ≤ 0 2 1 1; −1 < 𝑥 ≤ − 2 2; 𝑥 = −1
21
3.6. Fungsi Trigonometri Fungsi trigonometri ialah fungsi yang memuat operasi-operasi trigonometri seperti sinus, kosinus, dan tangen.
Gambar 1.6. Sudut dalam lingkaran dan segitiga menggambarkan hubungan antara koordinat kartesius dan koordinat polar.
Fungsi trigonometri merupakan perkakas dalam mengonversi suatu sistem koordinat kartesian ke dalam koordinat polar (dengan demikian menggunakan basis fungsi lingkaran, 𝑥 2 + 𝑦 2 = 𝑟 2 ) atau sebaliknya. Dalam “ruang” dua dimensi, koordinat kartesius menyatakan posisi suatu titik dalam jarak proyeksi ke sumbu X (yakni x) dan jarak proyeksi ke sumbu Y (yakni y) terhadap pusat koordinat, sedangkan dalam sistem koordinat bola, posisi suatu titik dinyatakan dalam jarak terpendek titik dari pusat koordinat (dalam ruang datar merupakan garis lurus) yakni r dan sudut yang dibentuk antara sumbu referensi (biasanya X+) dengan r (yaitu θ). Untuk memperoleh hubungan antara x, y, r, θ dan mengingat sifat kesebangunan segitiga dibuatlah definisi, sisi dekat
sin 𝜃 = sisi cos 𝜃 =
miring
sisi hadapan sisi miring sisi dekat
tan 𝜃 = sisi
𝑥
=𝑟
hadapan
(1.4) 𝑥
=𝑟
sin 𝜃
(1.5) 𝑥
= cos 𝜃 = 𝑦
(1.6) 𝑎
Perhatikan segitiga siku-siku pada gambar 1.6, diperoleh sin 𝛼 = 𝑐 , 𝑎
padahal cos 𝛽 = 𝑐 . Mengingat jumlah sudut dalam segitiga planar ialah 180° sehingga 𝛼 = 90° − 𝛽 maka diperoleh kesimpulan 22
sin 90° − 𝜃 = cos 𝜃
(1.7.a)
cos 90° − 𝜃 = sin 𝜃
(1.7.b)
Mengingat sifat periodesitas fungsi trigonometri, dipenuhi juga hubungan sin 90° + 𝜃 = cos 𝜃
(1.7.c)
cos 90° + 𝜃 = sin 𝜃
(1.7.d)
Hubungan penting yang lainnya ialah sin2 𝜃 + cos2 𝜃 = 1
(1.8)
Yang dapat dibuktikan sebagai
𝑥2
𝑦2
+ 𝑟2 = 𝑟2
𝑥 2 +𝑦 2 𝑟2
𝑟2
= 𝑟 2 = 1.
Selain dinyatakan dalam satuan derajat, besar sudut juga dapat dinyatakan dalam radian dan jam. Jenis satuan sudut
Sudut lingkaran penuh
Keterangan
Derajat
360°
1° = 60′ = 3.600"
Radian
2𝜋 rad 24
Jam
1 rad =
2𝜋 ° 360
1 = 60𝑚 = 3.600𝑠 = 15°
Gambar 1.7. Grafik fungsi sinus (atas, biru), cosinus (atas, merah), dan tangen (bawah, biru)
23
Selain itu dikenal pula fungsi cosecan, secan, dan cotangen sebagai pangkat negatif satu dari fungsi sinus, cosinus, dan tangen atau secara matematis diperikan sebagai 𝑟
1
𝑟
1
csc 𝜃 = 𝑦 = sin 𝜃
(1.9)
sec 𝜃 = 𝑥 = cos 𝜃 csc 𝜃
𝑥
(1.10) 1
cot 𝜃 = sec 𝜃 = 𝑦 = tan 𝜃
(1.11)
Gambar 1.8. Grafik fungsi cosec (biru), sec (merah), dan cotangen (hijau) dalam koordinat kartesian.
Ada pula yang disebut sinus hiperbolik, cosinus hiperbolik, dan tangen hiperbolik. Perbedaannya ialah bila fungsi trigonometri berbasis lingkaran, maka fungsi trigonometri hiperbolik berbasis hiperbola, 𝑥 2 − 𝑦 2 = 𝑟 2 , di mana dalam kasus ini r juga merupakan jarak dari pusat ke puncak
hiperbola.
Perhatikanlah
gambar
hiperbola 𝑥 2 − 𝑦 2 = 4
dibandingkan dengan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 di bawah ini.
24
Gambar 1.9. Perbandingan gambar antara hiperbola (kiri) dan lingkaran (kanan) dengan r = 2.
Dengan definisi yang hampir serupa dengan fungsi trigonometri biasa, fungsi trigonometri hiperbolik didefinisikan sebagai: 𝑥
sinh 𝛼 = 𝑟 cosh 𝛼 =
(1.12)
𝑥
(1.13)
𝑟 sinh 𝛼
𝑥
tanh 𝛼 = cosh 𝛼 = 𝑦
(1.14)
Gambar 1.10. Grafik fungsi sinh (biru), cosh (merah), dan tanh (hijau) dalam koordinat kartesian.
25
4. OPERASI PADA FUNGSI Tentunya fungsi yang dimaksud di sini adalah fungsi metematis. Setidaknya terdapat dua macam operasi yang umum pada fungsi, yakni operasi aljabar dan komposisi fungsi.
4.1. Operasi Aljabar Fungsi-fungsi dapat saling dijumlahkan, dikurangkan, dikalikan, dan dibagi untuk memperoleh fungsi baru. Misalkan fungsi 𝑢 𝑥 = 3𝑥 + 4 dan 𝑣 𝑥 = 2𝑥 − 1, maka dapat kita peroleh fungsi-fungsi baru yang merupakan hasil operasi aljabar dari kedua fungsi tadi. 1. Penjumlahan, misal 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 + 𝑣 𝑥 = 𝑢 + 𝑣 𝑥 𝑢 𝑥 + 𝑣 𝑥 = 3𝑥 + 4 + 2𝑥 − 1 = 5𝑥 + 3 2. Pengurangan (selisih), misal 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 − 𝑣 𝑥 = 𝑢 − 𝑣 𝑥 𝑢 𝑥 − 𝑣 𝑥 = 3𝑥 + 4 − 2𝑥 − 1 = 𝑥 + 5 3. Perkalian, misal 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) = 𝑢 ∙ 𝑣 𝑥 𝑢 𝑥 + 𝑣 𝑥 = 3𝑥 + 4 2𝑥 − 1 = 6𝑥 2 + 5𝑥 − 4 4. Pembagian (rasio), misal 𝑓 𝑥 =
𝑢 𝑥 𝑣 𝑥
=
𝑢 𝑣
𝑥
𝑢 𝑥 3𝑥 + 4 = 𝑣 𝑥 2𝑥 − 1 Selain melakukan operasi aljabar antar dua fungsi atau lebih, kita juga
dapat
menjumlahkan,
mengurangkan,
mengalikan,
membagi,
memangkatkan, dan menarik akar suatu fungsi dengan suatu konstanta. Tentu saja hal ini sangat mudah sehingga penjelasan lebih lanjut dirasa tidak perlu.
4.2. Fungsi Komposisi Fungsi komposisi adalah gabungan dua atau lebih fungsi. Agar bisa dikomposisikan, fungsi-fungsi itu haruslah memiliki satu peubah yang sama ataukah fungsi yang satu merupakan peubah dari fungsi yang lain. Ibarat mesin pintal dan mesin tenun, serat diproses dalam mesin pintal menjadi 26
benang yang kemudian diproses lagi dalam mesin tenun sehingga menjadi kain. Sebelum memulai definisi matematikanya lebih lanjut, baiknya kita simak dulu pemahaman berikut ini. Nilai-nilai x (bahan mentah) ingin diproses dengan fungsi 𝑦 = 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 + 1 untuk menghasilkan output-output y (bahan baku). Lalu y akan diproses lagi dengan fungsi 𝑧 = 𝑔 𝑦 = 2𝑦 + 3 untuk menghasilkan output-output z (bahan jadi). Jika kita tidak ingin mempedulikan prosesprosesnya satu demi satu, dapatlah diringkaskan keseluruhan proses itu dari input x menghasilkan output z, yakni: 𝑧 = 𝑔 𝑦 = 2𝑦 + 3 𝑧=𝑔 𝑓 𝑥
= 2 𝑥 2 + 1 + 3 = 2𝑥 2 + 5
Kita perolehlah ringkasan proses-prosesnya menjadi satu proses dari bahan mentah menjadi bahan jadi yaitu 𝑧 = 𝑔 𝑓 𝑥
= 2𝑥 2 + 5.
Dalam matematika, boleh jadi kita tidak memerlukan penamaan berbeda untuk bahan mentah dan bahan baku, kita bisa menamakan keduanya
sebagai
Contohnya
x.
lagi
2
diketahui 𝑓 𝑥 = 3 𝑥 + 4 dan
𝑔 𝑥 = 𝑥 2 − 2, maka: 𝑓 𝑔 𝑥 𝑔 𝑓 𝑥 Notasi 𝑓 𝑔 𝑥
=
2 2 2 8 𝑥 − 2 + 4 = 𝑥2 + 3 3 3
2 = 𝑥+4 3
2
4 16 − 2 = 𝑥2 + 𝑥 + 14 9 3
juga biasa dituliskan sebagai 𝑓 ∘ 𝑔 𝑥 (dibaca
fungsi f komposisi g) dan notasi 𝑔 𝑓 𝑥
juga biasa dituliskan sebagai
𝑔 ∘ 𝑓 𝑥 . Jelas bahwa 𝑓 ∘ 𝑔 𝑥 tidak mesti sama dengan 𝑔 ∘ 𝑓 𝑥 . Untuk komposisi tiga fungsi atau lebih aturan yang sama berlaku, juga penulisan 𝑓 𝑔 𝑥
dapat ditulis 𝑓 ∘ 𝑔 ∘ 𝑥 .
27
4.3. Invers Suatu Fungsi Jika dipenuhi suatu sifat 𝑓 ∘ 𝑓 −1 𝑥 = 𝑥
(1.15.a)
𝑓 −1 ∘ 𝑓 𝑥 = 𝑥
(1.15.b)
atau Maka 𝑓 −1 (𝑥) disebut sebagai fungsi invers dari 𝑓(𝑥) . Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mencari invers dari fungsi satu variabel, semisal 𝑦 = 𝑓(𝑥) ialah dengan mengubahnya menjadi 𝑥 = 𝑓(𝑦). Setelah itu Anda cukup menukar variabel y menjadi variabel awal, yakni x. Contohnya fungsi 𝑦 = 𝑓 𝑥 =
1 2𝑥−3
1
𝑦 = 2𝑥−3 1
2𝑥 − 3 = 𝑦 1
3
𝑥 = 2𝑦 + 2 =
3𝑦 +1 2𝑦
Jadi diperoleh 𝑥 =
3𝑦 +1 2𝑦
. Jika kita tukar nama variabelnya, diperoleh
invers dari fungsi 𝑦 yakni 𝑦 −1 = 𝑓 −1 𝑥 =
3𝑥+1 2𝑥
. Berikut akan kita coba
membuktikan teorema pada persamaan 1.15.a dan 1.15.b dengan contoh. 𝑓 ∘ 𝑓 −1 𝑥 = 𝑓 𝑓 −1 𝑥
𝑓 −1 ∘ 𝑓 𝑥 = 𝑓 −1 𝑓 𝑥
1 1 = =𝑥 3𝑥 + 1 1 2 −3 3+𝑥−3 2𝑥 1 3 2𝑥 − 3 + 1 3 2𝑥 − 3 = = + =𝑥 1 2 2 2 2𝑥 − 3 =
28
Limit
Bab 2
1. DEFINISI LIMIT Secara harfiah, limit berarti batas. Dalam matematika, limit dapat dipandang sebagai batas, nilai yang mendekati (approach). Jika dikaitkan dalam fungsi, limit fungsi 𝑥 di 𝑎 dapat dikata nilai fungsi untuk 𝑥 mendekati 𝑎, sedekat mungkin, tapi tidak pernah tepat di 𝑎. 1.1. Interpretasi Grafik Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat dipahamai dengan menggunakan grafik. Untuk lebih detilnya, perhatikan langkah-langkah berikut. Langkah 1 Tetapkan bilangan positif ε sehingga selisih antara 𝑓 𝑥 dengan L kurang dari ε, ditulis 𝑓 𝑥 − 𝐿 < 𝜀 atau 𝐿 − 𝜀 < 𝑓 𝑥 < 𝐿 + 𝜀 . Ungkapan ini digambarkan oleh sabuk horizontal dengan lebar 2ε (batas atas 𝐿 + 𝜀 dan batas bawah 𝐿 − 𝜀) seperti pada Gambar 2.1.a. Langkah 2 Pilihlah bilangan positif 𝛿 sehingga selisih antara x dengan a positif tetapi kurang dari δ, ditulis 0 < 𝑥 − 𝑎 < 𝛿. 𝑥 − 𝑎 > 0 menunjukkan bahwa 𝑥 ≠ 𝑎. 𝑥 − 𝑎 < 𝛿 atau 𝑎 − 𝛿 < 𝑥 < 𝑎 + 𝛿. Ungkapan ini digambarkan oleh sabuk vertikal dengan lebar 2𝛿 (batas kanan 𝑎 + 𝛿 dan batas kiri 𝑎 − 𝛿) seperti pada Gambar 2.1.b. Langkah 3 Perpotongan antara sabuk horizontal dan sabuk vertikal yang diperoleh pada kedua langkah di atas membentuk persegi panjang ABCD seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.c. 29
Persegi panjang ABCD ini yang digunakan untuk menentukan ada atau tidak adanya limit fungsi di sekitar 𝑥 = 𝑎 sebagai berikut
Jika grafik fungsi 𝑓(𝑥) yang berada dalam sabuk-vertikal juga berada dalam persegi panjang 𝐴𝐵𝐶𝐷, maka fungsi 𝑓(𝑥) mempunyai limit L untuk x mendekati a.
Jika grafik fungsi 𝑓(𝑥) yang berada dalam sabuk-vertikal tetapi tidak berada dalam persegi panjang ABCD, maka fungsi 𝑓(𝑥) tidak mempunyai limit untuk x mendekati a. 𝑌
𝑌
sabuk-horizontal
sabuk-vertikal
𝑌
𝐿+𝜀 𝜀 𝐿 𝜀 𝐿−𝜀
𝑂
𝐿+𝜀
𝐿 𝜀 𝐿−𝜀
𝑂
𝑋
(a)
𝛿 𝛿 𝑎−𝛿𝑥 =𝑎 𝑎+𝛿
𝑂
𝑋
(b)
𝐴
𝐵
𝐶
𝐷
𝜀
𝛿 𝛿 𝑎 −𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 +𝛿
(c)
𝑋
Gambar 2.1. Grafik fungsi 𝑓(𝑥)
Sebagai contoh, perhatikan Gambar 2.2. 1) Fungsi 𝑓(𝑥) pada Gambar 2.2.a mempunyai limit L untuk x mendekati a. Sebab fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal dengan lebar 2δ juga berada dalam persegi panjang ABCD. 2) Fungsi 𝑓(𝑥) pada Gambar 2.2.b tidak mempunyai limit untuk x mendekati a. Sebab ada sebagian fungsi yang berada dalam sabukvertikal dengan lebar 2δ tidak berada dalam persegi panjang ABCD, yaitu cabang fungsi 𝑓(𝑥) yang berada di sebelah kanan garis 𝑥 = 𝑎. 𝑦 = 𝑓 𝑥 ,𝑥 ≠ 𝑎
𝑌 𝐿+𝜀
𝐴
𝐿 𝜀 𝐿−𝜀
𝑂
𝐵
𝐿+𝜀
𝜀
𝐶
𝐿
𝑦 = 𝑓 𝑥 ,𝑥 ≠ 𝑎
𝑌 𝐴
𝐿 𝜀 𝐿−𝜀
𝐷
𝛿 𝛿 𝑎 −𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 +𝛿
𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 aa Gambar 2.2. (b)
30
𝑂
𝐵
𝜀
𝐶
𝐿
𝐷
𝛿 𝛿 𝑎 −𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 +𝛿
(b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 tidak
Limit fungsi.
𝑋
Definisi formal: lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 𝐿
(2.1)
Berarti untuk setiap 𝜀 > 0 terdapat nilai 𝛿 > 0 sedemikian sehingga 𝑓 𝑥 − 𝐿 < 𝜀 dan 0 < 𝑥 − 𝑎 < 𝛿.
Limit Kiri dan Limit Kanan Telah kita ketahui nilai fungsi 𝑓(𝑥) di 𝑥 = 𝑎 dapat didekati dari kiri maupun dari kanan. Nilai limit 𝑓(𝑥) untuk x menuju a dari arah kiri (x → a– atau x < a) disebut limit kiri, sedangkan nilai limit 𝑓(𝑥) untuk x menuju a dari arah kanan (x → a+ atau x > a) disebut limit kanan. Suatu fungsi𝑓(𝑥) dikatakan memiliki limit di 𝑥 = 𝑎 jika dan hanya jika memiliki limit kiri dan limit kanan dan limit kirinya sama dengan limit kanannya. Suatu fungsi 𝑓(𝑥) dikatakan memiliki limit di 𝑥 = 𝑎 jika dan hanya jika lim𝑥→𝑎 − 𝑓(𝑥) ada, yakni L– lim𝑥→𝑎 + 𝑓(𝑥) ada, yakni L+ lim𝑥→𝑎 − 𝑓(𝑥) = lim𝑥→𝑎 + 𝑓(𝑥) atau L– = L+
Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini: 𝑌
𝑌
𝑦 = 𝑓 𝑥 ,𝑥 ≠ 𝑎
𝑦 = 𝑓 𝑥 ,𝑥 ≠ 𝑎
𝐿1 𝐿2
𝑜
𝑥=𝑎
𝐿1 𝐿2
𝑜
𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿1 , lim𝑥→𝑎 + 𝑓 𝑥 = 𝐿2 , dan 𝐿1 = 𝐿2
Gambar 2.3.
𝑥=𝑎
𝑋
(b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿1 , lim𝑥→𝑎 + 𝑓 𝑥 = 𝐿2 , dan 𝐿1 ≠ 𝐿2
Limit kiri dan limit kanan. Pada gambar (a) dikatakan fungsi memiliki limit di x = a, sedangkan pada gambar (b) fungsi tidak memiliki limit di x = a.
31
1.2. Pengamatan dari Penghitungan Nilai Fungsi Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat pula dipahami dengan menghitung langsung nilai-nilai fungsi di sekitar titik yang ditinjau. Misalkan fungsi 𝑓 𝑥 = 2𝑥 + 3 ingin diketahui nilai fungsi dan limitnya di 𝑥 = 2. Nilai fungsi di titik 𝑥 = 2 ialah 𝑓 2 = 2 2 + 3 = 7. Nah, bagaimana jika kita ingin mengetahui nilai 𝑓 𝑥 untuk 𝑥 menuju 2? Maka dapat dihitung nilai-nilai fungsi di sekitar 𝑥 = 2.
𝑥
1,8
1,9
1,99
1,999
→2,000←
2,001
2,01
2,1
2,2
𝑓 𝑥
6,6
6,8
6,98
6,998
?
7,002
7,02
7,2
7,4
Dari tabel di atas dapat disimpulkan nilai 𝑓(𝑥) semakin mendekati 7 bila 𝑥 mendekati 2. Dengan demikian dapat dituliskan lim 2𝑥 + 3 = 7
𝑥→2
Nah, sekarang kita coba cari nilai dan limit fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 = 2. Jika dihitung nilai fungsinya diperoleh 𝑓 2 =
(2)2 −4 (2)−2
𝑥 2 −4 𝑥−2
di titik
0
= , suatu bentuk 0
yang tidak kita ketahui nilainya. Sekarang, kita coba menghitung nilai fungsi di sekitar 𝑥 = 2.
𝑥
1,8
1,9
1,99
1,999
→2,000←
2,001
2,01
2,1
2,2
𝑓 𝑥
3,8
3,9
3,99
3,999
?
4,001
4,01
4,1
4,2
Ternyata diperoleh untuk x mendekati 2, 𝑓 𝑥 akan mendekati 4. Jadi dapat kita simpulkan lim𝑥→2
𝑥 2 −4 𝑥−2
= 4.
32
2. Limit Fungsi Aljabar 2.1. Bentuk Tak Hingga dan Tak Tentu Kita telah tahu bahwa nilai yang paling kecil dalam bilangan (dalam hal ini bilangan positif) ialah bilangan yang mendekati nol. Lalu, berapakah atau apakah bilangan yang memiliki nilai terbesar? Sayangnya tidak ada bilangan seperti itu, karena setiap kita memilih bilangan yang sangat-sangat besar sekalipun kita tetap akan menemukan bilangan yang lebih besar lagi. Tak
hingga
adalah
suatu
entitas
dalam
matematika
untuk
merepresentasikan nilai yang sangat besar. Penting untuk diingat karena tak hingga (∞) hanyalah representasi dari bilangan yang sangat besar, sehingga tak hingga (∞) bukanlah bilangan dalam artian yang sebenarnya. 1
Misalkan grafik dari 𝑦 = 𝑥 , maka untuk x menuju 0, y akan terus membesar ke atas (untuk daerah kanan) dan ke bawah (untuk daerah kiri). Nah, berapakah nilai y untuk 𝑥 = 0? Jika kita melihat pola bahwa semakin kecil nilai x (dengan mengabaikan tanda positif dan negatif) maka y akan semakin besar, maka dapat disimpulkan untuk 𝑥 = 0 maka 𝑦 = ∞.
Gambar 2.4 Limit tak hingga dan limit fungsi di tak hingga.
Jika dinyatakan dalam bentuk limit, maka dapat dituliskan 1
lim𝑥→0+ 𝑥 = +∞ 1
lim𝑥→0− 𝑥 = −∞
33
lim𝑥→0
1 𝑥
=∞
(2.2.a)
Tentunya persamaan 2.2.a di atas juga berlaku untuk
𝑎 𝑥
dengan 𝑎
sembarang bilangan real. lim𝑥→0
𝑎 𝑥
=∞
(2.2.b)
Berikutnya adalah bentuk tak tentu. Bentuk tak tentu adalah bentuk 0
0
matematis seperti 0. Untuk memastikan sifat tak tentu dari 0 mari simak pemerian berikut. 𝑐
𝑎×𝑏=𝑐 →𝑏 =𝑎 0
0×0=0 →0 =0 0
1×0=0 →0 =1 0
77 × 0 = 0 → 0 = 77 0
Itulah yang dimaksudkan bahwa 0 adalah bentuk tak tentu, karena hasilnya memungkinkan berapa saja. Bisa saja 0, 1, ½, -4, 77, 109, dan 0
sebagainya. Namun hal ini tidak berarti dalam suatu kasus bentuk 0 memiliki banyak hasil, tidak. Hasilnya hanya satu, hanya saja kita tidak mungkin mengetahui hasilnya itu yang mana, kecuali jika kita mengetahui polanya. Ingat pula perkalian suatu bilangan riil dengan bentuk tak tentu menghasilkan bentuk tak tentu juga. 0 0×𝑎 0 ×𝑎 = = 0 0 0 0
Di mana a adalah sembarang bilangan riil. Jadi perkalian antara 0 0
0
dangan a menghasilkan 0. Tapi jangan salah, 0 di ruas kiri nilainya tidak 0
0
sama dengan 0 di ruas kanan (kecuali 𝑎 = 1). Seandainya 0 di ruas kiri 0
nilainya sama dengan k, maka 0 di ruas kanan nilainya adalah a k. Bingung? Yang jelas karena membingungkan maka bentuk ini perlu dihindari. Misalkan dalam pembuatan program, persamaan aljabar harus ditulis dalam
34
bentuk yang paling sederhana, untuk mencegah munculnya bentuk tak tentu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada bagian 2.2. 0
Selain 0, beberapa bentuk tak tentu lainnya yang umum dikenal ialah ∞
∞ − ∞ , ∞ , dan 0 × ∞. Perhatikan persamaan 2.2.b. 𝑎 𝑏 = ∞ ; lim = ∞ 𝑥→0 𝑥 𝑥→0 𝑥 lim
Dengan 𝑎 dan 𝑏 sembarang bilangan positif. Dengan mengurangkan keduanya diperoleh lim
𝑥→0
𝑎 𝑏 − =∞−∞ 𝑥 𝑥
Dapat kita saksikan bahwa bentuk ∞ − ∞ lazimnya menghasilkan bentuk lim𝑥→0 diperoleh lim𝑥→0
𝑎 𝑥
𝑏
− 𝑥 = lim𝑥→0 𝑎 𝑥
𝑎−𝑏 𝑥
= ±∞ bila 𝑎 ≠ 𝑏 ,
dan
bila 𝑎 = 𝑏
𝑏
− 𝑥 = 0. Jadi masih tak tentu berapakah nilai ∞ − ∞ itu
kecuali kita mengetahui nilai a dan b. ∞
Untuk bentuk ∞ jika kita menggunakan kembali asumsi di atas, diperoleh 𝑎 lim
𝑥→0 𝑏
𝑥 𝑥
=
∞ 𝑎 = ∞ 𝑏
Kembali didapatkan bahwa kita tak bisa menentukan berapakah nilai ∞ ∞
itu selama kita tidak mengetahui nilai 𝑎 dan 𝑏. Sekarang untuk bentuk
0 × ∞, dalam bentuk limit dapat dituliskan sebagai 𝑎 lim 𝑥 × =0×∞= 𝑎 𝑥→0 𝑥 Diperoleh 0 × ∞ = 𝑎 padahal 𝑎 adalah sembarang bilangan positif yang kita pilih (berlaku juga untuk bilangan negatif), lagi-lagi tak tentu. Selain bentuk-bentuk tak tentu yang telah disebutkan di atas terdapat beberapa lagi bentuk-bentuk tak tentu lain yang pada dasarnya berasal dari bentuk tak tentu yang telah dijelaskan di atas. Ngomong-ngomong, selain bentuk tak hingga dan tak tentu, terdapat juga bentuk tak terdefinisi dalam matematika. Yang paling populer adalah 35
bentuk
0
0 . Asumsikanlah
0
0 = 𝑘 , sehingga 𝑘 0 = 0 . Jelaslah k bukan
bilangan yang terdefinisi dalam matematika, karena semua bilangan real (bahkan bilangan kompleks) jika dipangkatkan nol hasilnya pastilah satu.
2.2. Limit Fungsi Aljabar di Suatu Titik Dalam menyelesaikan persoalan limit fungsi aljabar, biasanya dapat diselesaikan dengan substitusi langsung. Misalkan lim𝑥→2 𝑥 2 + 3, langsung saja substitusikan nilai 𝑥 = 2 dalam 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 + 3 yang menghasilkan 𝑓 2 = (2)2 + 3 = 7. Seperti yang dijelaskan pada subbab 1, untuk fungsi kontinyu, bila 𝑥 → 𝑎 maka pastilah 𝑓(𝑥) → 𝑓(𝑎). Meskipun bentuk seperti ini lebih lazim, tapi sayangnya dalam ujian sangat jarang ada soal yang bisa diselesaikan dengan mudah seperti ini. Terdapat kasus-kasus di mana suatu fungsi nampak tidak kontinyu di suatu 0
titik karena substitusi nilai x pada titik itu menghasilkan 𝑓 𝑎 = 0 atau bentuk-bentuk tak tentu lainnya. Sialnya, yang seperti inilah yang sering muncul dalam soal ujian Anda. Oleh karena itu diperlukan suatu metode untuk mengetahui “pola lain” dari fungsi 𝑓(𝑥) dengan metode aritmatika atau manipulasi aljabar agar dapat mengidentifikasikan nilai pasti dari bentuk tak tentu tadi (tentunya ini penting untuk meningkatkan nilai Anda di kelas). Metode yang dimaksudkan di atas adalah metode pemfaktoran. Tentu saja ini kabar buruk bagi yang nilai aljabarnya merah. Oleh karena itu di sini akan diberikan contoh-contoh yang sederhana. Misalkan suatu fungsi 𝑓 𝑥 =
𝑥 2 −4 𝑥−2
. Berapakah nilai 𝑓(2)? Jika kita
lakukan substitusi langsung diperoleh (2)2 − 4 0 𝑓 2 = = (2) − 2 0 0
Ya, sebuah bentuk tak tentu. Karena menghasilkan bentuk tak tentu 0 untuk x = 2, dapat dipastikan bahwa 𝑓(𝑥) sendiri mengandung bentuk tak tentu jika x = 2. Jika kita teliti, penyebut 𝑥 − 2 menghasilkan 0 untuk x = 2, 36
maka kita dapat berasumsi terdapat perkalian nol juga pada pembilangnya. Ternyata benar, jika kita faktorkan, 𝑓 𝑥 =
𝑥2 − 4 𝑥 + 2 (𝑥 − 2) (𝑥 − 2) = = 𝑥+2 × 𝑥−2 (𝑥 − 2) (𝑥 − 2)
Dengan menggunakan bantuan teorema limit diperoleh 𝑥2 − 4 (𝑥 − 2) = lim 𝑥 + 2 × lim 𝑥→2 𝑥 − 2 𝑥→2 𝑥→2 (𝑥 − 2) lim 0
(𝑥−2)
Jadi bentuk 0 yang terkandung dalam 𝑓(𝑥) untuk x = 2 ialah (𝑥−2) yang nilainya pastilah sama dengan satu. Dengan demikian bentuk 𝑥 2 −4
lim𝑥→2
𝑥−2
dapat kita ubah menjadi lim𝑥→2 𝑥 + 2 . Jika disubstitusikan x = 2
diperoleh lim𝑥→2 𝑥 + 2 = 2 + 2 = 4. Jadi intinya adalah bagaimana kita mengubah fungsi itu ke bentuk lain dengan manipulasi aljabar agar hasil fungsi di titik yang dimaksud tidak menghasilkan bentuk tak tentu.
Contoh: 1. Hitunglah lim𝑥→4
𝑥 2 +4 2
!
Jawab: Substitusi secara langsung. lim𝑥→4
𝑥 2 +4 2
=
42 +4 2
= 10
𝑥 2 −8𝑥
2. Hitunglah lim𝑥→0 𝑥 2 +2𝑥 ! Jawab: 0
Jika disubstitusi secara langsung akan menghasilkan bentuk 0, oleh karena itu lakukan pemfaktoran pada pembilang dan penyebutnya. 𝑥 2 −8𝑥
𝑥(𝑥−8)
(𝑥−8)
lim𝑥→0 𝑥 2 +2𝑥 = lim𝑥→0 𝑥(𝑥+2) = lim𝑥→0 (𝑥+2) 0−8
= 0+2 = −4
37
𝑥 3 +8
3. Hitunglah lim𝑥→−2 𝑥 2 −4 ! Jawab: Faktorkan pembilang dan penyebutnya. 𝑥 2 −2𝑥+4 (𝑥+2)
𝑥 3 +8
lim𝑥→−2 𝑥 2 −4 = lim𝑥→−2 =
4. Hitunglah lim𝑥→4
𝑥−2
𝑥+2 (𝑥−2) (−2)2 −2 −2 +4 (−2−2)
= lim𝑥→−2
𝑥 2 −2𝑥+4 (𝑥−2)
−4
= −4 = 1
!
𝑥−4
Jawab: Ingat bentuk aljabar 𝑎 + 𝑏 𝑎 − 𝑏 = 𝑎2 − 𝑏 2 . Faktorkanlah penyebutnya. 𝑥−2
lim𝑥→4
𝑥−4
lim𝑥→4
𝑥−4
𝑥−2
= lim𝑥→4
𝑥−2
=
1
1 𝑥+2
1
4+2
5. Hitunglah lim𝑥→3
= lim𝑥→4
𝑥+2 ( 𝑥−2)
=4
𝑥 2 −𝑥−6 𝑥−3
!
Jawab: Faktorkanlah pembilangnya. lim𝑥→3 lim𝑥→3
𝑥 2 −𝑥−6 𝑥−3 𝑥 2 −𝑥−6 𝑥−3
= lim𝑥→3
𝑥+2 (𝑥−3) 𝑥−3
= lim𝑥→3 𝑥 + 2
=3+2=6
6. Hitunglah lim𝑥→0
4+𝑥− 4−𝑥 𝑥
!
Jawab: Kalikan pembilang dan penyebutnya dengan faktor lawan pembilang. lim𝑥→0
4+𝑥− 4−𝑥 𝑥
= lim𝑥→0
4+𝑥− 4−𝑥 𝑥
4+𝑥 −(4−𝑥)
= lim𝑥→0 𝑥( = lim𝑥→0 (
4+𝑥+ 4−𝑥
×
4+𝑥+ 4−𝑥) 2 4+𝑥+ 4−𝑥)
4+𝑥+ 4−𝑥
= lim𝑥→0 𝑥(
=
38
2 4+ 4
1
=2
2𝑥 4+𝑥+ 4−𝑥)
2.3. Limit fungsi aljabar di tak hingga Telah dibahas di atas mengenai limit fungsi di suatu titik. Yang kita tulis 𝑥 → 𝑎. Nah, bagaimana jika titik yang dimaksud adalah nilai x yang sangat besar, atau yang paling besar yang mungkin ada? Itulah yang dimaksud dengan limit fungsi di tak hingga. Disebut limit karena “titik” tak hingga itu tidak benar-benar terdefinisi, tetapi dapat kita dekati dengan nilai yang teramat besar. Selain untuk meramalkan nilai fungsi pada nilai yang sangat besar (apakah terus naik atau turun ataukah malah konstan), limit fungsi di tak hingga juga penting dalam analisis deret tak hingga. Oke, agar lebih jelas, langsung saja kita tinjau dua contoh berikut. Yang pertama adalah fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 − 2𝑥. Jika kita sustitusi x dengan suatu nilai yang semakin besar diperoleh 𝑓(𝑥) yang semakin besar pula. Jadi kita dapat berasumsi bahwa bila x menuju tak hingga maka 𝑓(𝑥) juga menuju tak hingga. Selain menggunakan substitusi langsung, dapat pula kita amati saja bentuk fungsinya. Untuk nilai yang sangat besar, jelaslah 𝑥 2 − 2𝑥 ≈ 𝑥 2 . Dengan demikian untuk nilai x yang sangat besar (juga untuk bilangan negatif karena [–a]2 = a2) diperoleh pendekatan 𝑓(𝑥) ≈ 𝑥 2 yang jelas bahwa 𝑓(𝑥) naik sebanding dengan x2. Dengan demikian dapat dituliskan lim 𝑥 2 − 2𝑥 = +∞
𝑥→∞
Nah, bagaimana dengan fungsi 𝑓 𝑥 =
2𝑥 2 −2 𝑥2
? Berapa 𝑓 𝑥 untuk
𝑥 → ∞? Untuk memudahkan, fungsi di atas dapat kita ubah bentuknya 2
2
menjadi 𝑓 𝑥 = 2 − 𝑥 2 . Perhatikan untuk 𝑥 ≫ maka 𝑥 2 akan semakin kecil menuju nol. Dengan demikian untuk 𝑥 → ±∞ maka diperoleh 2𝑥 2 − 2 2 = lim 2 − 2 = 2 − 0 = 2 2 𝑥→±∞ 𝑥→±∞ 𝑥 𝑥 lim
39
2 𝑥2
→ 0 sehingga
Berikut grafiknya:
Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 − 2𝑥 dan 𝑓 𝑥 =
Gambar 2.5
2𝑥 2 −2 . 𝑥2
Jadi untuk x menuju tak hingga 𝑓 𝑥 akan menuju 2. Bagaimana, apakah Anda sudah terbayang triknya? Ya, triknya adalah membuat penyebutnya mendekati satu dengan membagi pembilang dan penyebut dengan variabel berpangkat tertinggi dari variabel pembilang. Oke, untuk itu saya berikan satu contoh lagi.
Contoh: 1. Carilah nilai lim𝑥→∞
5𝑥 3 +2𝑥−2 𝑥 3 −𝑥 2 +8
!
Jawab: Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 3, maka bagilah pembilang dan penyebut dengan 𝑥 3 . 5𝑥 3 2𝑥 2 2 2 5+ 2 − 3 5+0−0 3 + 𝑥3 − 𝑥3 𝑥 𝑥 𝑥 lim = lim = =5 1 8 𝑥→∞ 𝑥 3 𝑥→∞ 𝑥2 8 1−0+0 1 − + − + 𝑥 𝑥3 𝑥3 𝑥3 𝑥3 Jadi, lim𝑥→∞
5𝑥 3 +2𝑥−2 𝑥 3 −𝑥 2 +8
= 5.
𝑥 3 −𝑥−6
2. Carilah nilai lim𝑥→∞ 3𝑥 4 −6𝑥 2 ! Jawab: 40
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 4, maka bagilah pembilang dan penyebut dengan 𝑥 4 . 1 1 6 𝑥3 𝑥 6 1 4 − 𝑥4 − 𝑥4 𝑥 − 𝑥3 − 𝑥4 𝑥 𝑥 − 0 − 0 = lim 1 = 0 lim = lim = lim 6 𝑥→∞ 3𝑥 4 𝑥→∞ 𝑥→∞ 𝑥→∞ 3𝑥 6𝑥 2 3−0 3− 2 − 4 4 𝑥 𝑥 𝑥 𝑥 3 −𝑥−6
Jadi, lim𝑥→∞ 3𝑥 4 −6𝑥 2 = 0. 𝑥 3 +𝑥−6
3. Carilah nilai lim𝑥→∞ 𝑥 2 −4𝑥+12! Jawab: Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 2, maka bagilah pembilang dan penyebut dengan 𝑥 2 . 1 6 𝑥+𝑥− 2 𝑥 = lim 𝑥 + 0 − 0 = lim 𝑥 = ∞ lim 4 12 𝑥→∞ 𝑥→∞ 1 − 0 + 0 𝑥→∞ 1−𝑥+ 2 𝑥 𝑥 3 +𝑥−6
Jadi lim𝑥→∞ 𝑥 2 −4𝑥+12 = ∞. 𝑥 3 +𝑥−6
4. Carilah nilai lim𝑥→−∞ 𝑥 2 −4𝑥+12 ! Jawab: Serupa dengan contoh nomor 3, lim 𝑥 = −∞
𝑥→−∞
𝑥 3 +𝑥−6
Jadi lim𝑥→−∞ 𝑥 2 −4𝑥+12 = −∞.
5. Carilah nilai lim𝑥→−∞
2𝑥 2 +3𝑥 𝑥 2 −4
!
Jawab: 3 2+𝑥 2𝑥 2 + 3𝑥 lim = lim =2 4 𝑥→−∞ 𝑥 2 − 4 𝑥→−∞ 1− 2 𝑥 Jadi, lim𝑥→−∞
2𝑥 2 +3𝑥 𝑥 2 −4
= 2,
41
Dari contoh-contoh di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa limit fungsi aljabar yang berbentuk fungsi pembagi di tak hingga dapat memiliki hasil: a. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih besar daripada pangkat tertinggi variabel penyebut, maka lim𝑥→±∞ 𝑓(𝑥) = ∞. b. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil daripada pangkat tertinggi variabel penyebut, maka lim𝑥→±∞ 𝑓(𝑥) = 0. c. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang sama dengan pangkat tertinggi variabel penyebut, maka lim𝑥→∞ 𝑓(𝑥) = 𝑎 dengan 𝑎 ∈ ℝ. 2.4. Sifat Asimtotik Fungsi Asimtot? Nama yang aneh… Apa sih asimtot itu? Untuk merangsang pemikiran Anda, coba perhatikan lagi gambar 2.5, dan gambar di bawah ini.
Gambar 2.6
Asimtot tegak, datar, dan miring dari suatu fungsi merupakan representasi dari limit tak hingga dan limit di tak hingga. 𝑥
Perhatikanlah gambar 2.6.a, terlihat kurva 𝑦 = 𝑥−2 memiliki bentuk nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan datar pada y = 1. Andaikan kita bisa menggambarkan kurva tersebut dengan interval yang besar dan dilihat dari 𝑥
jarak jauh maka akan teramati kurva 𝑦 = 𝑥−2 seperti tanda tambah. Garis x = 2 disebut asimtot tegak dan garis y = 1 disebut asimtot datar pada kurva 𝑥
𝑦 = 𝑥−2.
42
𝑥 3 +8
Sekarang perhatikan gambar 2.6.b, terlihat kurva 𝑦 = 𝑥 2 −4 memiliki bentuk nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan miring pada garis y = x. Garis x = 2 disebut asimtot tegak dan garis y = x disebut asimtot miring pada 𝑥 3 +8
kurva 𝑦 = 𝑥 2 −4. Jika ditilik lebih jauh, maka diperoleh kaitan bahwa asimtot tegak tidak lain adalah manifestasi dari bentuk limit tak hingga yang bukan di tak hingga dan asimtot datar adalah manifestasi dari bentuk limit di tak hingga yang bukan tak hingga pada ketentuan pada bagian 2.3.b dan 2.3.c, yakni bila pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil atau sama daripada pangkat tertinggi variabel penyebut. Adapun bila sesuai dengan ketentuan 2.3.a, dengan syarat pangkat tertinggi variabel pembilang hanya lebih tepat satu dibandingkan pangkat tertinggi variabel penyebut, akan diperoleh asimtot miring. 𝑥
Coba perhatikan fungsi 𝑦 = 𝑥−2, untuk x = 2 diperoleh bentuk limit tak hingga, inilah asimtot tegaknya. Untuk 𝑥 ≫, 𝑥 − 2 ≈ 𝑥1 sehingga untuk x 𝑥
𝑥
menuju tak hingga lim𝑥→∞ 𝑥−2 = 𝑥 = 1, inilah asimtot datarnya. Sekarang 𝑥 3 +8
untuk fungsi 𝑦 = 𝑥 2 −4, bila x = 2, diperoleh bentuk limit tak hingga, inilah asimtot tegaknya. Bila 𝑥 ≫, 𝑥 3 + 8 ≈ 𝑥 3 dan 𝑥 2 − 4 ≈ 𝑥 2 , sehingga untuk 𝑥 3 +8
𝑥3
𝑥 ≫, 𝑥 2 −4 ≈ 𝑥 3 ≈ 𝑥. Nah, garis y = x inilah asimtot miringnya. Patut diingat, kurva akan “bergerak” semakin mendekati asimtot tetapi tidak akan berpotongan dengan asimtotnya.
1
𝑥
Asumsikan x = 109, maka = 1,0000000002 ≈ 1. Jelas untuk x menuju tak hingga maka hasilnya 𝑥−2 akan semakin dekat dengan 1.
43
3. Teorema Limit Dari penjelasan sebelum-sebelumnya dapat disimpulkan beberapa teorema-teorema limit. Berikut adalah beberapa teorema limit yang umum dikenal. 1. Jika 𝑓 𝑥 = 𝑘 (fungsi konstan), maka lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 𝑘 untuk sembarang 𝑎 ∈ ℝ. 2. Jika 𝑓 𝑥 = 𝑥 (fungsi identitas), maka lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 𝑎 untuk sembarang 𝑎 ∈ ℝ. 3. a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 + 𝑔(𝑥) = lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) + lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) Dengan kata lain limit jumlah fungsi-fungsi sama dengan jumlah masingmasing limit fungsi. b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 − 𝑔(𝑥) = lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) − lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) Dengan kata lain limit selisih fungsi-fungsi sama dengan selisih masingmasing limit fungsi. 4. lim𝑥→𝑎 𝑘 ∙ 𝑓 𝑥 = 𝑘 ∙ lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 Limit hasil kali suatu fungsi dengan konstanta sama dengan hasil kali konstanta dengan limit fungsi itu. 5. a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 ∙ 𝑔(𝑥) = lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) ∙ lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) Limit hasil kali fungsi-fungsi sama dengan hasil kali masing-masing limit fungsi. 𝑓 𝑥
b) lim𝑥→𝑎 𝑔
𝑥
lim
𝑓 𝑥
= lim 𝑥 →𝑎 𝑔 𝑥 →𝑎
𝑥
Limit hasil bagi fungsi-fungsi sama dengan hasil bagi masing-masing limit fungsi. 6. a) lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥)
𝑛
= lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥)
𝑛
Limit fungsi pangkat n sama dengan pangkat n dari limit fungsi itu. b) lim𝑥→𝑎
𝑛
𝑓(𝑥) =
𝑛
lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) ; untuk lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) ≥ 0 untuk n genap.
Limit akar pangkat n dari suatu fungsi sama dengan akar pangkat n dari limit fungsi itu, asalkan limit fungsinya tidak negatif untuk n genap.
44
4. Limit Fungsi Trigonometri Pada bagian sebelumnya telah dipelajari cara menyelesaikan problem limit fungsi aljabar. Nah, sekarang saatnya untuk mempelajari limit fungsi trigonometri. Ada tiga bentuk yang sering muncul mengenai limit fungsi trigonometri, yakni lim𝑥→0 sin 𝑥 , lim𝑥→0 cos 𝑥, dan lim𝑥→0 tan 𝑥. 4.1. Limit Fungsi Sinus Sebelumnya ingat kembali definisi dari sinus sudut pada segitiga siku-siku, yakni sisi di depan sudut dibagi dengan sisi miring (hipotenusa). Untuk memudahkan, perhatikan gambar di bawah ini.
Gambar 2.7 Sinus, cosinus, dan tangen dari sudut polar.
Ambillah garis yang menghubungkan pusat lingkaran ke sembarang titik di keliling lingkaran (jari-jari) semisal OD dan OE yang membentuk sudut tertentu terhadap sumbu X (garis OC). Lalu tariklah garis yang tegak lurus OC menuju titik pada keliling lingkaran pada pertemuan garis jari-jari, seperti garis AD dan BE. Untuk garis BE (𝐵𝐸 ), diperoleh 𝐵𝐸 = 𝑟 sin 𝜃 Dan busur CE (𝐶𝐸 ) panjangnya tidak lain adalah 𝐶𝐸 = 𝜃 × 𝑟 dengan 𝜃 dalam satuan radian (untuk 𝜃 dalam derajat, panjang busur lingkaran adalah
𝜃 360°
2𝜋𝑟 ). Perhatikan bahwa jika diambil 𝜃 ≪ hingga 45
menuju nol. Maka panjang garis BE akan makin mendekati panjang busur CE, sehingga untuk 𝜃 ≪ dapat kita dekati 𝐵𝐸 ≈ 𝐶𝐸. 𝑟 sin 𝜃 ≈ 𝜃 𝑟 sin 𝜃 ≈ 𝜃 Dengan demikian untuk limit 𝜃 menuju nol diperoleh lim𝜃→0 sin 𝜃 = 𝜃
(2.3)
Dari hasil ini dapat pula diperoleh lim𝜃→0
sin 𝜃 𝜃
𝜃
𝜃
= lim𝜃→0 sin 𝜃 = 𝜃 = 1
(2.4)
4.2. Limit Fungsi Cosinus Untuk fungsi cosinus, jika 𝜃 ≪ diperoleh panjang garis OB akan mendekati panjang garis OC = OE, yakni r. Dengan demikian untuk 𝜃 ≪ diperoleh: cos 𝜃 =
𝑂𝐵 𝑟 ≈ ≈1 𝑂𝐸 𝑟
Dengan demikian limit cos 𝜃 untuk 𝜃 menuju nol ialah lim𝜃→0 cos 𝜃 = 1
(2.5)
Berdasarkan hasil ini dapat pula diperoleh lim𝜃→0 lim𝜃→0
1−cos 𝜃 𝜃
1
𝜃→0 𝜃
1−cos 𝜃 𝜃
= lim
−
= lim𝜃→0
cos 𝜃 𝜃
= lim
1
𝜃→0 𝜃
cos 𝜃−1 𝜃
1
−𝜃
=0
(2.6)
4.3. Limit Fungsi Tangen Seperti halnya limit fungsi sinus, mengingat definisi dari tangen adalah sisi dekat dibagi dengan sisi miring, maka dangan pemilihan θ << diperoleh 𝐵𝐸 ≈ 𝐶𝐸 dan 𝑂𝐵 akan mendekati panjang jari-jari r. Dengan demikian untuk limit 𝜃 menuju nol berlaku: lim𝜃→0 tan 𝜃 = 𝜃
(2.7)
Dari hasil ini kembali dapat pula diperoleh lim𝜃→0
tan 𝜃 𝜃
𝜃
𝜃
= lim𝜃→0 tan 𝜃 = 𝜃 = 1 46
(2.8)
5. Kontinyuitas Suatu Fungsi Dalam suatu selang tertentu, suatu fungsi dapat saja memiliki nilai untuk setiap masukan nilai riil dalam selang. Namun ada kalanya pada satu atau lebih titik dalam selang yang dipilih, fungsi itu tidak memiliki nilai (tak terdefinisi). Untuk hal-hal semacam itu dikatakanlah ada fungsi yang kontinyu dan ada fungsi yang tidak kontinyu.
5.1. Fungsi kontinyu Sebelum berbicara mengenai fungsi kontinyu, baiknya kita terlebih dahulu menelaah makna dari kontinyu. Kontinyu merupakan kata serapan (adaptasi) yang berasal dari bahasa Inggris yakni continue yang berarti sinambung, menerus. Jadi sesuatu yang kontinyu adalah sesuatu yang sinambung, tidak terputus(diskrit). Dengan begitu dapatlah kita katakan fungsi kontinyu adalah fungsi yang grafiknya terus bersinambung, tidak terputus dalam selang tertentu. Sebenarnya ini adalah implikasi dari semua 𝑥 = 𝑎, 𝑏 ; 𝑥 ∈ ℝ terpetakan oleh 𝑓(𝑥)2 yang berarti 𝑓(𝑥) kontinyu dalam selang 𝑎, 𝑏 . Jika 𝑓(𝑥) kontinyu dalam selang (−∞, ∞) maka dikatakan 𝑓(𝑥) kontinyu di semua “tempat”.
5.2. Fungsi tidak kontinyu (diskontinyu) Kebalikan dengan fungsi yang kontinyu, fungsi dikatakan tidak kontinyu dalam suatu selang 𝑥 = 𝑎, 𝑏 ; 𝑥 ∈ ℝ bila satu atau lebih nilai x tidak terpetakan oleh fungsi 𝑓(𝑥) . Dalam definisi ini jelas bila 𝑓(𝑥) diskontinyu dalam selang 𝑎, 𝑏 maka 𝑓(𝑥) juga tidak kontinyu dalam selang (−∞, ∞) karena [𝑎, 𝑏] ⊂ (−∞, ∞) 3.
2
Di sini digunakan fungsi satu variabel terhadap x, namun pemaknaan sesungguhnya berlaku untuk fungsi terhadap variabel apapun. 3 Notasi 𝐴 ⊂ 𝐵 dibaca A subset dari B, yang artinya semua elemen dari A juga merupakan elemen bagian dari B.
47
5.3. Ketidakkontinyuan yang dapat dihapuskan Apa itu ketidakkontinuan yang dapat dihapuskan? Suatu fungsi 𝑓(𝑥) dikatakan tidak kontinyu jika 𝑓(𝑥) tidak terdefinisi setidaknya pada satu titik dalam selang tertentu, misalkan di x = a dengan 𝑎 ∈ ℝ. 𝑓(𝑎) = ∅ Tetapi bila 𝑓(𝑥) memiliki limit di 𝑥 → 𝑎, dengan kata lain limit kiri sama dengan limit kanannya, maka ketidakkontinyuan fungsi 𝑓(𝑥) di titik 𝑥 = 𝑎 dikatakan dapat dihapuskan. Mengapa dapat dikatakan dihapuskan? Untuk mudahnya perhatikan gambar fungsi diskontinyu dan fungsi diskontinyu yang ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan.
Gambar 2.8 Ketidakkontinyuan fungsi di suatu titik (x = 2) 𝑥
Kurva 𝑓 𝑥 = 𝑥−2 digambarkan dengan warna merah dan kurva 𝑓 𝑥 = tidak
𝑥 2 −4 𝑥−2
digambarkan dengan warna biru. Kedua fungsi sama-sama
kontinyu
di
titik 𝑥 = 2 ,
tetapi
pada
fungsi 𝑓 𝑥 =
𝑥 2 −4 𝑥−2
ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan karena memiliki nilai limit di titik 𝑥 = 2. Perhatikan pula grafik 𝑓 𝑥 =
𝑥 2 −4 𝑥−2
tidak terputus dalam selang yang diberikan. 48
yang secara kasat mata terlihat
Turunan
Bab 3
1. TURUNAN FUNGSI DI SUATU TITIK Dari apa yang terlihat, turunan (derivatif) dapat dianggap sebagai suatu operasi matematis yang menyatakan interpretasi nilai sebuah faktor dari faktor lain yang berdimensi lebih besar (ordenya turun satu). Karena faktor yang berdimensi kecil itu merupakan suatu ‘titik’ pada dimensi yang lebih besar, maka turunan erat hubungannya dengan limit. Namun demikian, pemahaman di atas hanyalah pernyataan berdasarkan hal-hal praktis yang nampak pada operasi turunan. Secara formal, turunan dapat didefinisikan sebagai perubahan nilai fungsi terhadap perubahan nilai input untuk selang yang sangat kecil (menuju nol). Misalkan suatu fungsi 𝑦 = 𝑓(𝑥) yang terdefinisi pada selang tebuka I yang memuat semua bilangan riil. Bila nilai x berubah dari x = x1 ke x = x2, maka nilai fungsi juga akan berubah dari 𝑦1 = 𝑓(𝑥1 ) ke 𝑦2 = 𝑓(𝑥2 ). Dengan demikian perubahan nilai fungsi terhadap perubahan nilai x didefinisikan sebagai: 𝑦2 − 𝑦1 𝑓 𝑥2 − 𝑓(𝑥1 ) = 𝑥2 − 𝑥1 𝑥2 − 𝑥1 Jika dipilih nilai x2 yang mendekati x1, maka secara matematis didefinisikan perbandingan ini ialah 𝑓 𝑥2 − 𝑓(𝑥1 ) 𝑥 2 →𝑥 1 𝑥2 − 𝑥1 lim
Asal limitnya ada. Dengan substitusi 𝑥2 = 𝑥1 + ∆𝑥, yang bila 𝑥2 → 𝑥1 mengakibatkan ∆𝑥 → 0, maka turunan pertama fungsi f di titik 𝑥 = 𝑥1 dapat dituliskan dalam bentuk: ∆𝑦 𝑓 𝑥1 + ∆𝑥 − 𝑓(𝑥1 ) = lim ∆𝑥→0 ∆𝑥 ∆𝑥→0 ∆𝑥
𝑓 ′ 𝑥1 = lim
49
Jika limitnya ada, dikatakan fungsi f mempunyai turunan di 𝑥 = 𝑥1 . Sebaliknya jika limitnya tidak ada, dikatakan f tidak terturunkan di 𝑥 = 𝑥1 , Δ𝑦
dimana Δ𝑥 disebut hasil bagi diferensial. Turunan pertama suatu fungsi 𝑦 = 𝑓 𝑥 dapat dinotasikan dengan notasi dari Newton dan Lagrange yakni f ' ( x) ,
d dy f (x) atau notasi Leibniz yakni . dx dx
Sedangkan nilai turunan di suatu titik tertentu (misalnya di 𝑥 = 𝑥1 ) dinotasikan dengan f ' (c) atau
dy dx
. Notasi d yang berseliweran itu merupakan singkatan x c
dari kata derivative, yang berarti turunan. Adapun teorema turunan, jika fungsi f mempunyai turunan di x a , yaitu f (a) , maka fungsi f kontinu di x a , namun kebalikan teorema ini tidak
berlaku. Penjabaran yang lebih sederhana dari turunan akan diberikan dalam pembahasan selanjutnya.
1.1. Interpretasi Dari Turunan Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.
A. Turunan Sebagai Gradien Garis dalam Selang Titik Masih ingat definisi gradien? Ya, secara sederhana gradien atau trend dapat diterjemahkan sebagai kemiringan. Gradien garis (m) berarti skala kemiringan dari suatu garis dalam selang tertentu (dari 𝑥1 ke 𝑥2 ) yang diberikan dalam: Δ𝑦
𝑦 −𝑦
𝑚 = Δ𝑥 = 𝑥 2 −𝑥 1 2
(3.1)
1
Mengingat 𝑦 = 𝑓(𝑥), dan mendefinisikan 𝑥2 = 𝑥1 + Δ𝑥, persamaan 3.1 dapat kita tulis ulang menjadi
50
𝑚=
𝑓 𝑥1 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥1 ) Δ𝑥
Untuk fungsi linear 𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏, tentunya memiliki gradien yang tetap di semua selang sepanjang garis, karena nisbah
Δ𝑦 Δ𝑥
akan selalu konstan
bagaimana pun pemilihan selang Δ𝑥-nya. Perhatikan gradien garis dari fungsi 𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏 dengan sembarang pemilihan nilai 𝑥, yaitu 𝑥1 dan 𝑥2 . 𝑚=
𝑦2 − 𝑦1 (𝑎𝑥2 + 𝑏) − (𝑎𝑥1 + 𝑏) 𝑎(𝑥2 − 𝑥1 ) = = =𝑎 𝑥2 − 𝑥1 𝑥2 − 𝑥1 𝑥2 − 𝑥1
Lihat? Berapa pun pemilihan nilai 𝑥1 dan 𝑥2 , gradien garis dari fungsi linear selalu sama di setiap selang yang dipilih. Lalu
bagaimana
dengan
fungsi
kuadrat,
fungsi
kubik,
fungsi
trigonometri, dan fungsi-fungsi lainnya yang non-linear? Fungsi-fungsi seperti itu membentuk suatu kurva sehingga jelas gradien (kemiringan) setiap selang di sepanjang kurva tidaklah sama. Untuk itu, dibuatlah selangselang kecil dan dihitung gradien dari selang-selang kecil tersebut. Mengingat gradien dari fungsi non-linear bisa saja berbeda di setiap selang bahkan titik, maka mari kita membuat selang yang kecilnya bukan main, seperti titik. Well, ini memang terdengar ekstrim, tetapi dengan konsep limit pada bab sebelumnya, dapat kita hitung gradien garis untuk selang satu titik Mengingat ukuran dari titik ialah nol, maka Δ𝑥 haruslah menuju nol. Akhirnya, dapat kita tulis persamaan gradien dengan selang Δ𝑥 → 0 yaitu: 𝑚=
Δ𝑦 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) = lim Δ𝑥 Δ𝑥→0 Δ𝑥
Karena telah mereduksi persamaan garis menjadi “persamaan titik”, gradien pada persamaaan 3.1 di atas disebut turunan. Turunan tidak hanya bekerja dari dimensi satu ke dimensi nol, melainkan bekerja untuk sembarang dimensi n menjadi dimensi n – 1. Secara geometri, turunan fungsi f di titik x c , dinotasikan sebagai f ' (c) menyatakan gradien garis singgung m pada kurva y f (x) di titik (c, f (c)) , di mana garis singgung m tidak sejajar sumbu-y.
Gradien garis singgung g di titik c adalah 51
f f (c x) f (c) lim x 0 x x 0 x
m g lim
Dan persamaan garis singgungnya dirumuskan dengan: y f ' (c)( x c) f (c)
Adapun garis normal, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis singgung melewati titik c dapat dicari persamaannya dengan mengingat perkalian gradien garis yang tegak lurus sama dengan -1.
y
1 ( x c ) f (c ) f ' (c )
Contoh: 2 1. Suatu kurva dengan persamaan fungsi f ( x) 2 x 7 , carilah persamaan
garis singgung di titik x 2 ! Jawab: Sebelumnya, periksa terlebih dahulu apakah kurva f (x) kontinu di titik x=2.
f ( x) 2(2) 2 7 15 f ' ( x) (2)2 x 4 x f ' (2) 4(2) 8 , fungsi f memiliki turunan di titik 2, berarti f kontinu di
titik x 2 . Persamaan garis singgungnya adalah: y f ' (c)( x c) f (c) y 8( x 2) 15 y 8x 1
Adapun persamaan garis normalnya adalah:
1 y x 1 8
52
B. Turunan Sebagai Kecepatan Sesaat dan Percepatan Jika s(t ) suatu fungsi waktu dalam t, maka s' (t ) menyatakan kecepatan sesaat dari perubahan s pada saat t, sedangkan s' ' (t ) menyatakan percepatan, yaitu perubahan kecepatan v pada saat t. Jika s(t ) menyatakan jarak yang ditempuh suatu benda pada suatu garis lurus, maka kecepatan saat t dinyatakan dengan
s s(t t ) s(t ) lim t 0 t x 0 t
v(t ) s' (t ) lim
Sedangkan pada percepatan dapat dinyatakan dengan
a(t ) v' (t ) s' ' (t ) lim
t 0
v v(t t ) v(t ) lim x 0 t t
Contoh: 1.
Gerak
sebuah
benda
yang
jatuh
dari
langit
memenuhi
persamaan
s 10t 2 8t 3 , dengan s dan t masing-masing dinyatakan dalam meter dan
detik Tentukanlah persamaan kecepatan benda, kecepatan benda pada saat
t 5 detik dan percepatannya! Jawab: Persamaan kecepatan benda adalah
s s(t t ) s(t ) lim t 0 t x 0 t
v(t ) s' (t ) lim
(10(t t ) 2 8(t t ) 3) (10(t ) 2 8t 3) x 0 t
lim
10t 8
Kecepatan benda saat t 5 detik adalah: v(5) 10(5) 8 58 m/s
Percepatan benda adalah:
v(t t ) v(t ) x 0 t
a(t ) v' (t ) lim
(10(t t ) 8) (10(t ) 8) 10 m/s 2 x 0 t
lim
53
2.
Misalkan sebuah fungsi f ( x) 4 x 16 , carilah f ' (4) ! Jawab:
f ' (3) lim
x 0
lim
x 0
3.
f (4 x) f (4) (4(4 x) 16) (4(4) 16) lim x 0 x x 4x 4 x
2 Suatu fungsi g ( x) 3x 6 x 8 , carilah turunan pertama dan nilai turunan
pertama untuk x 2 Jawab:
f ' (c) lim
x 0
f (c x) f (c) x
(3 (c x) 2 6 (c x) 8) (3c 2 6c 8) lim x 0 x (3 c 2 6cx 3 (x) 2 6c 6x 8) (3c 2 6c 8) lim x 0 x 6cx 3 (x) 2 6x lim x 0 x
lim 6c 3x 6 x 0
6c 6 f ' (2) 6(2) 6 18
4.
2 Misalkan sebuah fungsi f ( x) 3x 5 , carilah f ' (2) dan f ' (c) !
Jawab: a)
f ' (3) lim
x 0
f (3 x) f (3) (3 (2 x) 2 5) (3 (2) 2 5) lim x 0 x x
12x 3x 2 12 x 0 x
lim b)
f ' (c) lim
x 0
f (c x) f (c) x
54
(3(c x) 2 5) (3c 2 5) x 0 x
f ' (c) lim
(3c 2 6cx 3(x) 2 5) (3c 2 5) x 0 x
f ' (c) lim
f ' (c) lim 6c 3x x 0
f ' (c) 6c f ' (2) 6(2) 12 , sama dengan hasil sebelumnya.
5. Carilah turunan fungsi 𝑓 𝑥 = (2𝑥 + 1)2 ! Jawab: 𝑓 ′ (𝑥) = lim
∆𝑥→0
2 𝑥 + ∆𝑥 + 1 2 − (2𝑥 + 1)2 ∆𝑥 2𝑥 + 2∆𝑥 + 1 2 − (2𝑥 + 1)2 ∆𝑥
𝑓 ′ (𝑥) = lim
∆𝑥→0
2𝑥 + 2∆𝑥
𝑓 ′ (𝑥) = lim
∆𝑥→0
2
+ 2 2𝑥 + 2∆𝑥 + 1 − (2𝑥 + 1)2 ∆𝑥
4𝑥 2 + 8𝑥∆𝑥 + 4(∆𝑥)2 + 4𝑥 + 4∆𝑥 + 1 − (4𝑥 2 + 4𝑥 + 1) ∆𝑥
𝑓 ′ (𝑥) = lim
∆𝑥→0
8𝑥∆𝑥 + 4∆𝑥 + 4 ∆𝑥 ∆𝑥→0 ∆𝑥
2
𝑓 ′ 𝑥 = lim
= lim 8𝑥 + 4 + 4∆𝑥 ∆𝑥→0
𝑓 ′ 𝑥 = 8x + 4 Hasil yang sama diperoleh dengan mengubah bentuk 𝑓(𝑥) menjadi 4𝑥 2 + 4𝑥 + 1
𝑓 ′ (𝑥) = lim
(4 𝑥 + ∆𝑥
∆𝑥→0
2
+ 4[𝑥 + ∆𝑥] + 1) − (4𝑥 2 + 4𝑥 + 1) ∆𝑥
(4𝑥 2 + 8𝑥∆𝑥 + 4(∆𝑥)2 + 4𝑥 + 4∆𝑥 + 1) − (4𝑥 2 + 4𝑥 + 1) ∆𝑥→0 ∆𝑥
𝑓 ′ (𝑥) = lim
8𝑥∆𝑥 + 4∆𝑥 + 4(∆𝑥)2 ∆𝑥→0 ∆𝑥
𝑓 ′ (𝑥) = lim
𝑓 ′ 𝑥 = 8x + 4
55
2. TURUNAN FUNGSI ALJABAR 2.1. Turunan Fungsi Berbentuk a xn Fungsi-fungsi aljabar pada dasarnya berbentuk f(x) = axn, dengan a dan n suatu konstanta. Jika n = 0, maka fungsi itu akan tereduksi menjadi f(x) = a, yang disebut sebagai fungsi konstan. Jika dan n = 1, fungsi f(x) akan tereduksi menjadi f(x) = ax, yang disebut fungsi linear, dan fungsi linear dengan a = 1 akan menjadi fungsi identitas, f(x) = x. (Keterangan: untuk fungsi polinom, nilai n yang paling tinggi pada fungsi disebut orde suatu fungsi, misalkan 𝑓 𝑥 = 3𝑥 3 + 8𝑥 − 6 memiliki orde 3. Semua fungsi berorde satu disebut fungsi linear, termasuk fungsi konstan). A. Turunan Fungsi Konstan Diberikan fungsi f(x) = a. Turunan fungsi f(x) ialah 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑥 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥→0 Δ𝑥 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim
𝑓′ 𝑥 = 1
(3.2)
B. Turunan Fungsi Linear Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = ax ialah: 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑎 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑎𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑎𝑥 + 𝑎Δ𝑥 − 𝑎𝑥 𝑎Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥→0 Δ𝑥 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim
𝑓′ 𝑥 = 𝑎
(3.3)
Perhatikan fungsi f(x) = ax dapat kita urai menjadi 𝑓 𝑥 = 𝑎 × 𝑔 𝑥 , di mana 𝑔 𝑥 = 𝑥, yaitu fungsi konstan yang turunannya telah kita ketahui dari pembahasan sebelumnya. Jadi didapatkan turunan dari perkalian suatu skalar dengan suatu fungsi sama dengan perkalian suatu skalar 𝑑
𝑑
dengan turunan suatu fungsi: 𝑑𝑥 𝑎. 𝑔 𝑥 = 𝑎 . 𝑑𝑥 𝑔(𝑥). 56
(3.4)
C. Turunan Fungsi axn Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = axn ialah: 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑎 𝑥 + Δ𝑥 𝑛 − 𝑎𝑥 𝑛 ′ 𝑓 𝑥 = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim
Menggunakan deret binomial Newton 𝑎+𝑏
𝑛
=
𝑎𝑛 + 𝑎𝑛−1 𝑏 +
𝑛(𝑛 − 1) 𝑛−2 2 𝑛 𝑛 − 1 (𝑛 − 2) 𝑛−2 2 𝑎 𝑏 + 𝑎 𝑏 + ⋯ + 𝑛𝑎𝑏𝑛−1 + 𝑏𝑛 2! 3!
Diperoleh: 𝑎 𝑥 𝑛 +𝑛𝑥 𝑛 −1 Δ𝑥 + 𝑓 ′ 𝑥 = lim
Δ𝑥→0
𝑛(𝑛 − 1) 𝑛 −2 𝑥 (Δ𝑥)2 + ⋯ +(Δ𝑥)n − 𝑎𝑥 𝑛 2! Δ𝑥
𝑓′ 𝑥 𝑛(𝑛 − 1) 𝑛 −2 𝑥 Δ𝑥 + ⋯ + 𝑛𝑥(Δ𝑥)n−2 + (Δ𝑥)n−1 2! = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑛(𝑛 − 1) 𝑛 −2 𝑓 ′ 𝑥 = lim 𝑎 𝑛𝑥 𝑛 −1 + 𝑥 Δ𝑥 + ⋯ + 𝑛𝑥(Δ𝑥)n−2 + (Δ𝑥)n−1 Δ𝑥→0 2! 𝑎Δ𝑥 𝑛𝑥 𝑛 −1 +
𝑓 ′ 𝑥 = 𝑎𝑛𝑥 𝑛 −1
(3.5)
2.2. Turunan dari Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian, dan Pembagian Fungsi Suatu fungsi dapat berupa penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dari dua atau lebih fungsi satu suku. Turunan dari fungsi-fungsi itu akan kita temukan dalam penjabaran di bawah ini. A. Turunan Jumlah dan Selisih Fungsi-Fungsi Misalkan fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 + 𝑣(𝑥) 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 + 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 + 𝑣(𝑥) 𝑓 ′ 𝑥 = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑣(𝑥) 𝑓 ′ 𝑥 = lim + lim Δ𝑥→0 Δ𝑥→0 Δ𝑥 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim
57
𝑓 ′ 𝑥 = 𝑢′ 𝑥 + 𝑣 ′ (𝑥) Dengan cara yang sama diperoleh turunan dari selisih fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 − 𝑣(𝑥) ialah 𝑓 ′ 𝑥 = 𝑢′ 𝑥 − 𝑣 ′ (𝑥). Jadi dapat dituliskan 𝑢+𝑣
′
= 𝑢′ + 𝑣′ dan 𝑢 − 𝑣
′
= 𝑢′ − 𝑣′.
(3.6)
B. Turunan Perkalian Fungsi Misalkan fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) 𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 ∙ 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) 𝑓 ′ 𝑥 = lim Δ𝑥→0 Δ𝑥 𝑓 ′ 𝑥 = lim
𝑢 𝑥 + Δ𝑥 ∙ 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) + 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) − 𝑢 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) Δ𝑥→0 Δ𝑥
𝑓 ′ 𝑥 = lim
𝑓 ′ 𝑥 = lim 𝑣 𝑥 Δ𝑥→0
𝑢 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑣(𝑥) + 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 Δ𝑥 Δ𝑥
𝑢 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑢 𝑥 Δ𝑥 𝑣 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑣(𝑥) + lim 𝑢 𝑥 + Δ𝑥 lim Δ𝑥→0 Δ𝑥→0 Δ𝑥
𝑓 ′ 𝑥 = lim 𝑣 𝑥 lim Δ𝑥→0
Δ𝑥→0
𝑓 ′ 𝑥 = 𝑢′ 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥) + 𝑢(𝑥) ∙ 𝑣 ′ (𝑥) Atau biasa dituliskan 𝑢𝑣
′
= 𝑢′ 𝑣 + 𝑢𝑣′.
(3.7)
C. Turunan Pembagian Fungsi Turunan suatu pembagian fungsi dapat kita cari dari hasil yang telah kita dapatkan dalam turunan perkalian fungsi, mangingat pembagian adalah invers dari perkalian. Misalkan suatu fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 = 𝑓 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥), sehingga diperoleh: 𝑢′ 𝑥 = 𝑓 ′ 𝑥 × 𝑣 𝑥 + 𝑓(𝑥) × 𝑣 ′ (𝑥) 𝑓 ′ 𝑥 × 𝑣 𝑥 = 𝑢′ 𝑥 − 𝑓(𝑥) × 𝑣 ′ (𝑥) Dengan mensubstitusi nilai f(x) pada ruas kanan 𝑓 ′ 𝑥 × 𝑣 𝑥 = 𝑢′ 𝑥 −
𝑢(𝑥) × 𝑣 ′ (𝑥) 𝑣(𝑥)
58
𝑢 𝑥 𝑣 𝑥
maka
𝑓′ 𝑥 × 𝑣 𝑥 =
𝑢′ 𝑥 ∙ 𝑣 𝑥 − 𝑢(𝑥) ∙ 𝑣 ′ (𝑥) 𝑣(𝑥)
𝑢′ 𝑥 ∙ 𝑣 𝑥 − 𝑢(𝑥) ∙ 𝑣 ′ (𝑥) 𝑓 𝑥 = 𝑣(𝑥) 2 ′
Atau biasa dituliskan
𝑢 ′ 𝑣
=
(𝑢’𝑣 – 𝑢𝑣’) 𝑣2
.
(3.8)
Berikut diberikan rangkuman rumus-rumus sederhana untuk menghitung turunan fungsi yang mudah dihafal dan digunakan sebagaimana yang telah didapatkan sebelumnya. 1. Turunan fungsi konstan. Jika f ( x) c , c suatu konstanta, maka f ' ( x) 0 ; x 2. Turunan fungsi identitas. Jika f ( x) x , maka f ' ( x) 1 ; x 3. Turunan fungsi pangkat. n 1 n Jika f ( x) x , maka f ' ( x) n.x ; n Z ; x 0
4. Aturan jumlah. Jika
f
dan
g
adalah
fungsi-fungsi
terdiferensialkan,
maka
fungsi-fungsi
terdiferensialkan,
maka
fungsi-fungsi
terdiferensialkan,
maka
( f g )' ( x) f ' ( x) g ' ( x)
5. Aturan selisih. Jika
f
dan
g
adalah
( f g )' ( x) f ' ( x) g ' ( x)
6. Aturan hasil kali Jika
f
dan
g
adalah
( f g )' ( x) f ' ( x) g ( x) f ( x) g ' ( x)
Atau biasa dinyatakan u v
dy u ' v uv' dx
7. Aturan hasil bagi. Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan dengan g ( x) 0 , maka '
f f ' ( x) g ( x) f ( x) g ' ( x) ( x) ( g ( x)) 2 g 59
Atau biasa dinyatakan
u dy u ' v uv' v dx v2
8. Rumus turunan untuk fungsi trigonometri Jika f ( x) sin x , maka f ' ( x) cos x Jika f ( x) cos x , maka f ' ( x) sin x 2 Jika f ( x) tan x , maka f ' ( x) sec x
3. TURUNAN FUNGSI TRIGONOMETRI 3.1. Turunan Fungsi Sinus Misalkan diketahui fungsi 𝑓 𝑥 = sin 𝑥, turunan fungsi 𝑓(𝑥) terhadap x ialah: 𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
𝑓 𝑥+Δ𝑥 −𝑓(𝑥)
𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
sin 𝑥+Δ𝑥 −sin 𝑥
Dengan
Δ𝑥 Δ𝑥
mengingat
kembali
perubahan
bentuk
trigonometri,
sin(𝑎 + 𝑏) = sin 𝑎 cos 𝑏 + cos 𝑎 sin 𝑏, dapat kita lakukan substitusi: 𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0 𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
sin 𝑥 cos Δ𝑥+cos 𝑥 sin Δ𝑥−sin 𝑥 Δ𝑥 sin 𝑥 cos Δ𝑥−1 Δ𝑥
𝑓 ′ 𝑥 = sin 𝑥 ∙ limΔ𝑥→0
+ cos 𝑥
cos Δ𝑥−1 Δ𝑥
sin Δ𝑥 Δ𝑥
+ cos 𝑥 ∙ limΔ𝑥→0
sin Δ𝑥 Δ𝑥
Dari teori limit yang telah diberikan pada bab 2, khususnya pada bagian limit fungsi trigonometri telah dibuktikan limΔ𝑥→0
cos Δ𝑥−1 Δ𝑥
= 0 dan limΔ𝑥→0
sin Δ𝑥 Δ𝑥
=1
Dengan mensubstitusikan nilai di atas, terakhir diperoleh 𝑓 ′ 𝑥 = sin 𝑥 ∙ 0 + cos 𝑥 ∙ 1 Jadi, dapat disimpulkan: 𝑑 𝑑𝑥
sin 𝑥 = cos 𝑥
(3.9)
60
3.2. Turunan Fungsi Cosinus Misalkan diketahui fungsi 𝑓 𝑥 = cos 𝑥, turunan fungsi 𝑓(𝑥) terhadap x ialah: 𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
𝑓 𝑥+Δ𝑥 −𝑓(𝑥)
𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
cos 𝑥+Δ𝑥 −cos 𝑥
Dengan
Δ𝑥 Δ𝑥
mengingat
kembali
perubahan
bentuk
trigonometri,
cos(𝑎 + 𝑏) = cos 𝑎 cos 𝑏 − sin 𝑎 sin 𝑏, dapat kita lakukan substitusi: 𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
cos 𝑥 cos Δ𝑥−sin 𝑥 sin Δ𝑥−cos 𝑥
𝑓 ′ 𝑥 = limΔ𝑥→0
Δ𝑥 cos 𝑥 cos Δ𝑥−1
𝑓 ′ 𝑥 = cos 𝑥 ∙ limΔ𝑥→0
Δ𝑥
− sin 𝑥
cos Δ𝑥−1 Δ𝑥
sin Δ𝑥 Δ𝑥
+ sin 𝑥 ∙ limΔ𝑥→0
sin Δ𝑥 Δ𝑥
𝑓 ′ 𝑥 = cos 𝑥 ∙ 0 − sin 𝑥 ∙ 1 Jadi, dapat disimpulkan: 𝑑 𝑑𝑥
cos 𝑥 = − sin 𝑥
(3.10)
3.3. Turunan Fungsi Tangen Misalkan diketahui fungsi 𝑓 𝑥 = tan 𝑥, turunan fungsi 𝑓(𝑥) terhadap x ialah dengan mudah dicari berdasarkan aturan turunan fungsi pembagi, sin 𝑥
mengingat tan 𝑥 = cos 𝑥 . 𝑓′ 𝑥 = 𝑓′ 𝑥 = 𝑓′ 𝑥 =
𝑢 ′ 𝑥 𝑣(𝑥)−𝑢 𝑥 𝑣 ′ (𝑥) 𝑣(𝑥)2 cos 𝑥 cos 𝑥 − sin 𝑥 − sin 𝑥 cos 2 𝑥 cos 2 𝑥+sin 2 𝑥 cos 2 𝑥 1
𝑓 ′ 𝑥 = cos 2 𝑥 = sec 2 𝑥 Jadi, dapat disimpulkan: 𝑑 𝑑𝑥
tan 𝑥 = sec 2 𝑥
(3.11)
61
4. TURUNAN FUNGSI KOMPOSIT DAN ATURAN RANTAI Misalkan fungsi f terturunkan di x dan fungsi g terturunkan di
f (x)
maka fungsi komposisi ( g f ) dapat diturunkan di x, sehingga Jika y( x) ( g f )( x) , maka y' ( x) ( g f )' ( x) g ( f ( x))' g ' ( f ( x))( f ' ( x))
Rumus di atas disebut aturan rantai yang dapat dituliskan dengan singkat sebagai: 𝑑𝑦 𝑑𝑥
=
𝑑𝑦 𝑑𝑢
(3.12.a)
𝑑𝑢 𝑑𝑥
Pembuktian sederhana untuk teorema ini ialah misalkan fungsi y merupakan fungsi dari u, 𝑦 = 𝑓(𝑢), sedangkan u sendiri merupakan fungsi dari x, 𝑢 = 𝑔(𝑥) yang keduanya terdefinisi dalam interval I demikian sehingga ∆𝑢 = 𝑔 𝑥 + ∆𝑥 − 𝑔(𝑥) ∆𝑦 = 𝑓 𝑢 + ∆𝑢 − 𝑓 𝑢 = 𝑓 𝑔 𝑥 + ∆𝑥
− 𝑓(𝑔 𝑥 )
Jadi dalam bentuk diferensial 𝑑𝑦 𝑑𝑥
∆𝑦
∆𝑦
∆𝑢
= lim∆𝑥→0 ∆𝑥 = lim∆𝑥→0 ∆𝑢 ∙ ∆𝑥
Mengingat 𝑢 = 𝑔(𝑥), maka dengan ∆𝑥 → 0 otomatis ∆𝑢 → 0 sehingga 𝑑𝑦 𝑑𝑥
∆𝑦
∆𝑢
𝑑𝑦 𝑑𝑢
= lim∆𝑢 →0 ∆𝑢 ∙ lim∆𝑥→0 ∆𝑥 = 𝑑𝑢 𝑑𝑥
Atau untuk fungsi komposit yang terdiri dari beberapa sub fungsi, aturan rantai dapat diperpanjang lagi. 𝑑𝑦 𝑑𝑥
𝑑𝑦
𝑑𝑢
𝑑𝑧
= 𝑑𝑢 × 𝑑𝑣 × … × 𝑑𝑥
(3.12.b)
62
Contoh: 1. Tentukan turunan fungsi 𝑦 = (8𝑥 3 − 4𝑥)8 Jawab: Misalkan 8𝑥 3 − 4𝑥 = 𝑢, sehingga 𝑦 = 𝑢8 dan
𝑑𝑢 𝑑𝑥
= 2𝑥 − 4
𝑑 𝑑 8 (8𝑥 3 − 4𝑥)8 = 2𝑥 − 4 𝑢 = 8 2𝑥 − 4 𝑢7 = 8(2𝑥 − 4)(8𝑥 3 − 4𝑥)7 𝑑𝑥 𝑑𝑢 𝑑𝑦 𝑑𝑦 𝑑𝑢 = 𝑑𝑥 𝑑𝑢 𝑑𝑥 𝑑 (8𝑥 3 − 4𝑥)8 = 8(8𝑥 3 − 4𝑥)7 (2𝑥 − 4) 𝑑𝑥 Tips: Untuk fungsi berbentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢(𝑥) 𝑓′ 𝑥 = 𝑛 𝑢 𝑥
𝑛−1
𝑛
maka turunan fungsi 𝑓 𝑥 terhadap x ialah
𝑢′ (𝑥).
2. Tentukan turunan fungsi berikut ini! a.
y 6x 2 9x 3
b. y c.
2x 1 3x 2
y 2 cos x x 3
d. y 6 cos 5 2 x Jawab: a.
y 6 x 2 9 x 3 , maka y' 12 x 9
b. Misalkan u 2 x 1 dan v 3x 2
y'
u ' v uv' v2
y'
2(3x 2) (2 x 1)3 (3x 2) 2
y'
1 (3x 2) 2
63
c.
y 2 cos x x 3 2 sehingga y' 2( sin x) (3) x 2 sin x 3x 2
d. 𝑦 = 6 cos(5 − 2𝑥) Anggap 𝑤 = 5 − 2𝑥, sehingga 𝑦′ =
𝑑𝑤
= −2
𝑑𝑥
𝑑𝑦 𝑑𝑦 𝑑𝑤 = = −6 sin 𝑤 −2 = 12 sin 𝑤 𝑑𝑥 𝑑𝑤 𝑑𝑥
𝑦 ′ = 12 sin(5 − 2𝑥)
3. Tentukanlah turunan dari fungsi lingkaran, 𝑦 = 𝑎2 − 𝑥 2 terhadap 𝑥! Jawab: 𝑑 𝑑𝑥 𝑑 𝑑𝑥
𝑎2 − 𝑥 2
1 2
𝑎2 − 𝑥 2
1 2
𝑑
1
𝑑
1
= 𝑑𝑥 𝑢2 = 2𝑥 𝑑𝑢 𝑢2 1
1
= 2𝑥 − 2 𝑢−2 = − 𝑑𝑦
𝑥 𝑎 2 −𝑥 2
𝑥
Dengan kata lain 𝑑𝑥 = − 𝑦 Jika diambil bagian positifnya saja dan a = 5, grafiknya menggunakan Matlab ialah sebagai berikut:
64
5. TURUNAN TINGKAT TINGGI (ORDE TINGGI) Turunan suatu fungsi, yang juga merupakan suatu fungsi masih dapat diturunkan lagi asalkan memenuhi syarat-syarat turunan, yaitu masih memiliki faktor yang akan diturunkan. Turunan kedua fungsi f didefinisikan sebagai turunan dari fungsi turunan pertama, dan seterusnya. Turunan kedua fungsi f dinotasikan dengan y ' ' ; Atau turunan ke-n fungsi f dinotasikan dengan y ( n ) ;
d2y 2 ; f ' ' ( x) atau D x y . 2 dx
dny n ; f ( n ) ( x) atau D x y .. n dx
Secara umum turunan ke-n didefinisikan sebagai:
f ( n ) ( x) lim h 0
f ( n1) ( x h) f ( n1) ( x) h
4 Misalkan untuk fungsi f ( x) 2 x , maka
f ' ( x) 8 x 3 f ' ' ( x) 24 x 2 f ' ' ' ( x) 48x
f iv ( x) 48 Pada bagian terdahulu telah dibahas mengenai turunan fungsi komposisi, antara lain yang berbentuk perkalian fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 ∙ 𝑣(𝑥). Bila fungsi seperti ini diturunkan sekali, menghasilkan bentuk 𝑓 ′ 𝑥 = (𝑢𝑣)′ = 𝑢′ 𝑣 + 𝑢𝑣′ Jika 𝑓 ′ (𝑥) diturunkan sekali lagi terhadap x, menghasilkan turunan kedua yang berbentuk 𝑓 ′′ (𝑥) = 𝑢′ 𝑣 + 𝑢𝑣 ′
′
= 𝑢′′ 𝑣 + 𝑢′ 𝑣 ′ + 𝑢′ 𝑣 ′ + 𝑢𝑣 ′′
𝑓 ′′ (𝑥) = 𝑢′′ 𝑣 + 2𝑢′ 𝑣 ′ + 𝑢𝑣′′
(3.13)
Jika diteruskan ke turunan ke-tiga, pola yang sama memberikan 𝑓 ′′′ (𝑥) = 𝑢′′ 𝑣 + 2𝑢′ 𝑣 ′ + 𝑢𝑣 ′′ ′ dan diperoleh 𝑓 ′′′ 𝑥 = 𝑢′′′ 𝑣 + 3𝑢′′ 𝑣 + 3𝑢′ 𝑣 ′′ + 𝑢𝑣′′′ Apakah pola ini mengingatkan Anda pada sesuatu? .... 65
(3.14)
Bukan, Anda tidak melupakan cucian Anda, yang saya maksud adalah, ya! Deret binomial Newton! Jika telah lupa, di sini diingatkan sekali lagi deret binomial Newton adalah deret ekspansi dari bentuk (𝑎 + 𝑏)𝑛 . (𝑎 + 𝑏)𝑛 = 𝑎𝑛 + 𝑛𝑎𝑛−1 𝑏 +
𝑛 𝑛 −1 2!
𝑎𝑛 −2 𝑏 2 +
𝑛 𝑛 −1 (𝑛−2) 3!
𝑎𝑛−3 𝑏 3 + ⋯ (3.15)
Jika n bilangan bulat positif, kita dapat mengingat koefisien tiap suku menggunakan segitiga Pascal yang telah diajarkan saat SMP. 1 1 1 1
1 2
3
1
4
1 3
6
1 4
1
... dan seterusnya. Tentu saja karena orde dari turunan selalu bilangan bulat, maka dengan mudah kita dapat mengingat koefisien-koefisiennya dari segitiga Pascal. Metode turunan tingkat tinggi ini disebut aturan Leibniz. 𝑑𝑛 𝑑𝑥 𝑛
𝑢 𝑥 ∙𝑣 𝑥
=
𝑑𝑛 𝑢
𝑑 𝑛 −1 𝑢 𝑑𝑣
𝑑𝑥
𝑑𝑥 𝑛 −1 𝑑𝑥
𝑣+𝑛 𝑛
+
𝑛(𝑛−1) 𝑑 𝑛 −2 𝑢 𝑑 2 𝑣 2!
𝑑𝑥 𝑛 −2 𝑑𝑥 2
+⋯
(3.16)
Misalkan kita disuruh pak guru mencari turunan ke-lima dari fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 sin 𝑥. Jika kita terapkan aturan Leibniz dengan menamakan 𝑢 = sin 𝑥 dan, 𝑣 = 𝑥 2 diperoleh 𝑑9 𝑑𝑥 9
𝑓 𝑥 = 𝑢𝑣 ∙ 𝑣 + 5𝑢𝑖𝑣 ∙ 𝑣 ′ + 10𝑢′′′ ∙ 𝑣 ′′ + 10𝑢′′ ∙ 𝑣 ′′′ + 5𝑢′ ∙ 𝑣 𝑖𝑣 + 𝑢 ∙ 𝑣 𝑣
Ingatlah turunan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya dari 𝑢 = 𝑥 2 adalah nol, dan turunan fungsi sinus dan cosinus akan berulang setiap empat orde (dengan kata lain turunan ke-empat, ke-delapan, dst dari sin 𝑥 ialah sin 𝑥 ), maka didapatkan 𝑑5 𝑑𝑥 5 𝑑5 𝑑𝑥 5
𝑓(𝑥) = (cos 𝑥) 𝑥 2 + 5(sin 𝑥) 2𝑥 + 10 − cos 𝑥 (2) + 0 + 0 + 0 (𝑥 2 sin 𝑥) = 𝑥 2 cos 𝑥 + 10𝑥 sin 𝑥 − 20 cos 𝑥 Catatan: 𝑓 𝑥 → 𝑓 ′ 𝑥 → 𝑓 ′′ 𝑥 → 𝑓′′′(𝑥) → 𝑓 𝑖𝑣 (𝑥) sin 𝑥 → cos 𝑥 → − sin 𝑥 → − cos 𝑥 → sin 𝑥 66
Contoh: 1. Gerak rotasi suatu roda memenuhi persamaan 5t 2 4t 3 , dengan dan t masing-masing dinyatakan dalam radian dan detik. Tentukanlah persamaan kecepatan sudut roda dan percepatan sudutnya! Jawab: Persamaan kecepatan benda adalah
(t t ) (t ) lim t 0 t x 0 t
(t ) s' (t ) lim
(5(t t ) 2 4(t t ) 3) (5(t ) 2 4t 3) x 0 t
lim
5t 4 rad s -1 Percepatan sudut roda adalah:
(t ) ' (t ) lim
(t t ) (t )
x 0
t
(5(t t ) 4) (5(t ) 4) x 0 t
lim
5 rad s -2
2. Tentukan
turunan
pertama,
kedua
dan
ketiga
dari
fungsi
f ( x) 6 x 4 3 x 3 x 8 ! Jawab:
f ( x) 6 x 4 3 x 3 x 8 f ' ( x) 24 x 3 9 x 2 1 f ' ' ( x) 72 x 2 18x f ' ' ' ( x) 144 x 18
3. Tentukan turunan ke-dua, ke-tiga dan ke-empat dari 𝑓 𝑥 = sin 𝑥 dan 𝑓 𝑥 = cos 𝑥! Jawab: a) f(x) = sin x
b) f(x) = cos x 67
f’(x) = cos x
f’(x) = -sin x
f’’(x) = -sin x
f’’(x) = -cos x
f’’’(x) = -cos x
f’’’(x) = sin x
fiv(x) = sin x
fiv(x) = cos x
Dibuktikan bahwa tiap empat orde turunan, fungsi sin x dan cos x akan kembali ke bentuk awalnya.
4. Carilah turunan ke-sembilan dari 𝑓 𝑥 = 3𝑥 cos 𝑥! Jawab: Namakan 𝑢 = cos 𝑥 dan, 𝑣 = 3𝑥. Turunan orde yang lebih tinggi dari satu dari v pastilah nol, sehingga menyisakan: 𝑑9 𝑑𝑥 9 𝑑9 𝑑𝑥 9
3𝑥 cos 𝑥 = sin 𝑥 3𝑥 + 9 cos 𝑥 (3) 3𝑥 cos 𝑥 = 3𝑥 sin 𝑥 + 27 cos 𝑥
Tips: Agar tidak bingung, pilih v(x) yang habis jika terus diturunkan, misal 3x sudah menjadi nol pada turunan ke-dua. Berbeda dengan cos x yang tak bisa habis berapa kali pun diturunkan.
68
6. TURUNAN FUNGSI IMPLISIT Suatu fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y f (x) , maka fungsi ini selalu dapat dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) yakni f ( x) y 0 . Sebaliknya tidak semua fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) dapat diubah ke dalam bentuk y f (x) , misal
4x 2 x y 0 .
Fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y f (x) disebut fungsi eksplisit, sedangkan fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) disebut fungsi implisit. Fungsi eksplisit merupakan bagian dari grafik fungsi implisitnya. Dalam mendiferensialkan fungsi implisit, setiap suku diturunkan terhadap x. Contoh pada persamaan x 2 y 2 9 , turunan pertamanya adalah: d 2 d d (x ) ( y 2 ) (9) dx dx dx
2x 2 y
dy 0 dx
dy x ;y0 dx y
7. TURUNAN FUNGSI PANGKAT RASIONAL Sudah dibuktikan sebelumnya pada uraian yang lalu bahwa untuk n bilangan bulat sembarang berlaku: n n 1 Jika y x , maka y' n.x , dengan n bilangan bulat.
Sekarang akan diperluas untuk n berupa bilangan rasional sembarang. Karena n rasional, maka n dapat dituliskan sebagai p bilangan bulat dan q>0. Jika y x n x implisit diperoleh:
qy q 1
dy px p 1 dx 69
p q
q
, dengan p dan q
q p , maka y x , dan dengan turunan
dy p x p 1 p x p 1 p x p 1 dx q y q 1 q ( x p / q ) q 1 q x p p / q
dy p p 1 p p / q p p / q 1 x x n.x n1 dx q q Dari penurunan rumus diatas didapatkan bahwa n n 1 Jika y x , maka y' n.x , dengan n bilangan real.
Contoh: 1. Suatu fungsi dirumuskan 𝑓 𝑥 = 6𝑥 3/2 + 𝑥1/2 − 3 , tentukanlah turunan pertama fungsi f ! Jawab: 𝑑
Berdasarkan teorema tadi maka dapat digunakan rumus 𝑑𝑥 𝑥 𝑛 = 𝑛. 𝑥 𝑛 −1 . 3 2 1 1−1 6𝑥 2−1 + 𝑥 2 − (0)3 3 2 1 1 1 1 𝑓 ′ 𝑥 = 4𝑥 2 + 𝑥 −2 = 4 𝑥 + 2 2 𝑥
𝑓′ 𝑥 =
8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim Telah dibahas pada subbab 1 bahwa turunan pertama suatu fungsi adalah interpretasi langsung dari gradien fungsi itu. Jika Anda sudah lupa dengan definisi gradien, di sini diingatkan kembali bahwa gradien adalah kemiringan garis dalam suatu selang atau titik tertentu. Pada fungsi konstan dan fungsi linier gradien garisnya konstan di sepanjang garis, sedangkan pada kurva dengan persamaan orde dua atau lebih memiliki gradien yang berubah-ubah pada setiap titik. Jadi jika perubahan gradien terjadi di setiap titik, maka gradien suatu titik sama saja dengan gradien garis singgung garis pada titik tadi. Pada subbab ini akan dijelaskan bagaimana mengetahui sifat-sifat (properties) dari grafik menggunakan turunan. 70
8.1. Nilai Ekstrim dan Titik Belok Analisis langsung dari gradien adalah mengetahui kecenderungan kurva naik atau turun. Jika kurva (atau suatu selang pada kurva) naik, maka jelaslah gradien pada daerah itu positif, sedangkan jika kurva turun maka gradiennya pastilah negatif.
Gambar 3.1. ∆𝑦
Perhatikan gambar di atas (jika tidak keberatan). Mengingat 𝑚 = ∆𝑥 , maka bila ∆𝑦 > 0 (naik) maka 𝑚 > 0. Sebaliknya bila ∆𝑦 < 0 (turun) maka 𝑚 < 0. Pada selang ab diperoleh ∆𝑦 yang menurun (m < 0), pada titik 0 ∆𝑦 = 0 (m = 0), dan pada selang cd diperoleh ∆𝑦 yang menanjak (m > 0). Jadi dengan mengetahui turunan pertama suatu fungsi (yang tidak lain gradien garis) dapat diketahui kemonotonan selang kurva itu naik, turun, atau tidak naik maupun turun (datar). a. Jika 𝑓 ′ 𝑥 > 0 maka 𝑚 > 0 (monoton naik) b. Jika 𝑓 ′ 𝑥 = 0 maka 𝑚 = 0 (tetap/stasioner) c. Jika 𝑓 ′ 𝑥 < 0 maka 𝑚 < 0 (monoton turun) Titik di mana gradien garis singgungnya sama dengan nol disebut titik titik stasioner. Jika titik stasioner ini mempunyai nilai maksimal (dalam daerah lokal), maka titik itu disebut juga titik maksimum. Sebaliknya jika titik stasionernya mempunyai nilai minimal (dalam daerah lokal), maka 71
titik itu disebut juga titik minimum. Jika titik stasioner itu bukan nilai maksimal atau minimal pada daerah lokal, maka titik stasioner itu disebut titik belok. Bagaimana cara membedakan titik maksimum, titik minimum dan titik belok? Caranya adalah dengan mengamati gradien lokal di sebelah kiri dan kanan titik stasioner. Mudahnya adalah dengan memperhatikan gambar berikut:
Gambar 3.2. Titik minimum, titik masimum, dan titik belok.
Jelas bukan? Pada gambar titik stasionernya berada pada x = 0, tapi definisi ini berlaku di mana pun letak titik stasioner. Jika dikalimatkan definisinya kira-kira seperti ini: a. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton turun dan di sebelah kanannya monoton naik, maka titik stasioner itu adalah titik minimum. b. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di sebelah kanannya monoton turun, maka titik stasioner itu adalah titik maksimum. c. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di sebelah kanannya monoton naik, atau daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton turun dan di sebelah kanannya monoton turun maka titik stasioner itu adalah titik belok. Titik maksimum dan titik minimum disebut juga ekstremum atau titik balik karena merupakan titik dengan nilai tertinggi atau terendah pada daerah/selang lokal. Mungkin cukup pusing untuk mengingat istilah istilah 72
di atas, oleh karena itu sebaiknya mengamati definisi-definisi di atas dalam bentuk bagan (chart).
𝑓′ 𝑥 > 0 monoton naik
Turunan pertama di suatu titik.
𝑓′ 𝑥 < 0 monoton turun
𝑓′ 𝑥 = 0 stasioner
Kiri naik kanan turun titik maksimum Kiri turun kanan naik titik minimum
e k s t r e m u m
Kiri turun kanan turun atau kiri naik kanan naik titik belok
8.2. Interval Naik, Interval Turun, dan Kecekungan Pada bagian 8.1. selalu disebutkan “selang lokal” atau “daerah lokal”, apa sih maksudnya? Mengapa harus secara lokal, tidak secara keseluruhan? Pertanyaan di atas akan dijawab pada bagian ini. Pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi semua kurva untuk hanya memiliki satu titik stasioner. Lebih detail, fungsi orde dua (pangkat tertinggi dari variabelnya adalah dua) memiliki satu titik stasioner, fungsi orde tiga memiliki dua titik stasioner, fungsi orde empat memiliki tiga titik stasioner, dan seterusnya. Ya, tentu saja fungsi linear (orde nol dan satu) tidak memiliki titik stasioner. Nah, oleh karena suatu kurva bisa saja memiliki lebih dari satu titik stasioner, makanya dalam penjelasan sebelumnya diberikan embel-embel selang lokal atau daerah lokal.
73
Gambar 3.3. Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 3 − 4𝑥 .
fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 3 − 4𝑥 memiliki
Misalkan
persamaan
gradien
𝑚 = 𝑓′ 𝑥 = 3𝑥 2 − 4. Ingat pada titik stasioner gradiennya adalah nol, dengan demikian dengan mudah kita peroleh absis dari titik stasionernya ialah: 3𝑥 2 − 4 = 0 4
𝑥2 = 3 → 𝑥 = ±
4 3
Jadi titik stasionernya ada dua (karena fungsinya orde tiga), yakni pada 𝑥1 = −
4 3
4
dan 𝑥2 =
3
. Untuk mencari koordinat lengkapnya,
masukkan saja nilai-nilai x itu ke dalam 𝑓 𝑥 , diperoleh: 3
𝑦1 = −
4 3
−4 −
4 3
=−
64 27
+
64 3
=
64 9− 64
Dengan cara yang serupa diperoleh 𝑦2 = −
27 16 27
=
576− 64
3
,−
16 27
4 3
,
16
. Jadi terdapat tiga interval pada kurva fungsi 𝑓 𝑥 yakni: 74
=
16 27
. Dengan demikian
koordinat titik stasioner dari fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 3 − 4𝑥 adalah − 4
27
27
dan
4
a. Selang 𝑥 < − b. Selang −
4 3
c. Selang 𝑥 >
3
atau (∞, − 4/3) , 𝑓 𝑥 monoton naik.
<𝑥< 4 3
4 3
atau (− 4/3, 4/3), 𝑓 𝑥 monoton turun.
atau ( 4/3, ∞), 𝑓 𝑥 monoton naik.
Dengan demikian, jika kita mempertanyakan status titik stasioner di 4
−
, 3
16 27
, maka titik stasioner itu adalah titik balik maksimum, meskipun
di sebelah kanan titik 𝑥 = − 4
titik 𝑥 =
3
4 3
tidak monoton turun, melainkan naik lagi di
, tetapi turunnya gradien pada daerah lokal (− 4/3, 4/3)
sudah cukup untuk menjadikan titik
−
4
, 3
16 27
sebagai titik balik
maksimum dalam selang (−∞, 4/3). Hal yang serupa berlaku pada titik 4
,− 3
16 27
yang
merupakan
titik
balik
minimum
dalam
selang
(− 4/3, ∞). Nah, sekarang kita akan membahas kecekungan kurva. Kurva yang berbentuk parabola dan sejenisnya tentunya memiliki bentuk cekung. Berikut definisi kecekungan kurva secara formal. a. Jika 𝑚 = 𝑓 ′ (𝑥) naik dalam selang I, maka grafik fungsi 𝑓(𝑥) dikatakan cekung ke atas dalam selang I. b. Jika 𝑚 = 𝑓 ′ (𝑥) turun dalam selang I, maka grafik fungsi 𝑓(𝑥) dikatakan cekung ke bawah dalam selang I. Oke, sebenarnya pemahamannya cukup sederhana, jika grafik 𝑓(𝑥) melengkung ke atas pada selang tertentu, maka ia cekung ke atas. Sebaliknya jika 𝑓(𝑥) melengkung ke bawah, maka ia cekung ke bawah. Perhatikan lagi gambar 3.2, pada gambar (a) kurva monoton (dari selang 𝑥 = (−∞, ∞)) cekung ke atas, sedangkan pada gambar (b) cekung ke bawah. Terlihat jelas untuk kurva yang monoton cekung ke atas 75
parabolanya menghadap ke atas, sedangkan kurva yang monoton cekung ke bawah parabolanya menghadap ke bawah. Untuk kurva yang memiliki lebih dari satu titik stasioner tentu saja memungkinkan memiliki kecekungan yang berubah-ubah pada selang tertentu. Misalkan untuk fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 3 − 4𝑥 (lihat gambar 3.3), kurvanya cekung ke bawah dalam selang (−∞, 0) dan cekung ke atas dalam selang (0, ∞). Nah, jika dikaitkan dengan diferensial mengingat kecekungan adalah perubahan kemiringan, maka kecekungan dapat dinyatakan dalam kecekungan =
∆𝑚 ∆𝑥
=
𝑑𝑚
(3.17.a)
𝑑𝑥
Padahal kemiringan/gradien, m, adalah perubahan ketinggian 𝑑𝑦
𝑚 = 𝑑𝑥
Berarti kecekungan adalah turunan ke-dua dari fungsi 𝑦 = 𝑓(𝑥). kecekungan =
𝑑2𝑦 𝑑𝑥 2
= 𝑓 ′′ (𝑥)
(3.17.b)
Jadi jika 𝑓 ′′ (𝑥) bernilai positif, maka 𝑓(𝑥) cekung ke atas, jika 𝑓 ′′ (𝑥) bernilai negatif, maka 𝑓(𝑥) cekung ke bawah, sedangkan jika 𝑓 ′′ 𝑥 = 0, maka 𝑓(𝑥) linear. Satu hal lagi yang melibatkan kecekungan suatu grafik fungsi, yaitu untuk menganalisis titik stasioner yang merupakan titik balik (ekstremum) dan yang merupakan titik belok. Misalkan titik stasioner suatu fungsi 𝑓(𝑥) berada pada 𝑥 = 𝑎. Ternyata diperoleh hubungan sebagai berikut. a. Jika kecekungan fungsi 𝑓(𝑥) di 𝑥 < 𝑎 tidak berubah di 𝑥 > 𝑎 (tetap cekung ke atas, [+]), maka titik stasioner a adalah titik balik minimum. b. Jika kecekungan fungsi 𝑓(𝑥) di 𝑥 < 𝑎 tidak berubah di 𝑥 > 𝑎 (tetap cekung ke bawah, [-]), maka titik stasioner a adalah titik balik maksimum. c. Jika kecekungan fungsi 𝑓(𝑥) di 𝑥 < 𝑎 mengalami perubahan (dari cekung ke atas menjadi cekung ke bawah atau sebaliknya) di 𝑥 > 𝑎, maka titik stasioner a adalah titik belok. Cobalah Anda selidiki bahwa bila 𝑓(𝑥) memiliki titik stasioner di 𝑥 = 𝑎, maka 𝑓 ′′ 𝑎 = 0. 76
Analisis Analisis Grafik Fungsi f dan Grafik Fungsi Turunannya Berikut ini adalah contoh grafik intensitas spesifik dari radiasi benda hitam pada suhu tertentu berdasarkan model Planck yakni 2𝜋𝑐 2 1 𝑓 𝑥 = 𝐼(𝜆) = 𝜆5 exp(𝑐/𝜆𝑘𝑇) − 1 Sumbu X merupakan panjang gelombang dan sumbu Y menyatakan intensitas spesifik tiap-tiap panjang gelombang.
Sedangkan di bawah ini merupakan grafik dari fungsi 𝑓′(𝑥).
Analisislah hubungan antara grafik suatu fungsi dan grafik turunannya serta turunkanlah persamaan gradiennya.
77
Integral
Bab 4
1. INTEGRAL SEBAGAI ANTI-TURUNAN Jika 𝑓′(𝑥) merupakan turunan dari dari 𝑓(𝑥), maka 𝑓(𝑥) merupakan integral dari 𝑓′(𝑥). Misalkan fungsi 𝑓 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 − 10, turunan dari 𝑓(𝑥) ialah 𝑓 ′ 𝑥 = 12𝑥 2 + 6𝑥 − 8 Jika kita gunakan algoritma untuk mencari turunan dari suatu fungsi polinom (xn): a.
Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diturunkan dikalikan dengan konstantanya.
b.
Untuk setiap suku, pangkat dari variabel dikurangi satu. Jadi, untuk mengintegralkan suatu fungsi polinom, kita harus membalik
algoritmanya menjadi: a.
Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diintegralkan ditambah satu.
b.
Untuk setiap suku, pangkat dari variabel (yang telah ditambah satu) menjadi pembagi dari konstantanya. Ingatlah untuk suatu proses balik (invers), urutan algoritma juga dibalik.
Dengan menerapkan algoritma ke-2 pada 𝑓 ′ (𝑥) semestinya diperoleh 𝑓(𝑥). Kita coba: 12
6
8
Integral f’(x) terhadap x = 2+1 𝑥 2+1 + 1+1 𝑥1+1 − 0+1 𝑥 0+1 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥. Ternyata diperoleh hasil yang sedikit berbeda, suku terakhir 𝑓(𝑥), yakni -10, tidak muncul pada integral dari 𝑓 ′ (𝑥). Mengapa? Perhatikan lagi saat 𝑓(𝑥) diturunkan terhadap x, suku ke-empat yang merupakan konstanta (tidak memiliki variabel x) terturunkan menjadi nol, dengan demikian, saat 𝑓 ′ (𝑥) 78
diintegralkan suku ke-empat tidak muncul kembali. Coba perhatikan beberapa fungsi polinom di bawah ini! 𝑔 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 − 14 5
𝑢 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 + 3 Jika ketiga fungsi di atas diturunkan, hasilnya akan sama dengan turunan dari fungsi 𝑓 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 − 10, yakni 𝑓 ′ 𝑥 = 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥. Untuk mengetahui fungsi mana yang dimaksud sebagai fungsi yang terturun sebagai 𝑓′(𝑥) perlu diketahui suatu nilai dan hasil pemetaan nilai itu dari fungsi 𝑓(𝑥). Jika tidak, maka kita tak dapat mengetahui fungsi yang menurunkan 𝑓′(𝑥) karena kita tak dapat mengetahui konstanta apa yang terturunkan menjadi nol. Jadi kita tulis saja integral dari 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 − 10 terhadap x ialah 4𝑥 3 + 3𝑥 2 − 8𝑥 + 𝐶, di mana C merupakan suatu konstanta riil. Integral seperti ini disebut integral tak tentu. Jadi, bentuk seperti ∫ 1 𝑑𝑢 = ∫ 𝑑𝑢 sekalipun hasilnya belum tentu sama dengan u, jadi kita tuliskan ∫ 𝑑𝑢 = 𝑢 + 𝐶.
2. NOTASI INTEGRAL Integral merupakan lawan (invers) dari turunan, sehingga notasinya pun dibuat sedemikian sehingga menjadi lawan dari notasi integral. Jika pada turunan diberikan notasi berbentuk pembagi, semisal d/dx, maka notasi integral berbentuk pengali, semisal dx. 𝑑
Notasi turunan fungsi x:
𝑓(𝑥) 𝑑𝑥
atau
Notasi integral fungsi x:
∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥
atau
𝑑𝑦 𝑑𝑥
∫ 𝑦 𝑑𝑥
Ya, Anda akan melihat notasi khusus pada operasi integral berupa simbol S (dari kata sum, penjumlahan) yang digayakan seperti halnya penambahan simbol “d” pada operasi turunan. Itu adalah notasi baku dari integral, meskipun
79
hanya dengan menuliskan 𝑓 𝑥 𝑑𝑥 sudah cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa yang dimaksud ialah integral dari 𝑓 𝑥 terhadap x. Keuntungan matematis dari penulisan notasi turunan dan integral seperti itu dapat Anda saksikan pada contoh dibawah ini: “Integral terhadap x dari turunan terhadap x dari fungsi 𝑓 𝑥 ialah fungsi 𝑓 𝑥 itu sendiri”. 𝑑 𝑓 𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝑥 =
𝑑(𝑓(𝑥)) = 𝑓 𝑥
Lihat? Anda cukup mengalikan notasi dx dengan notasi 1/dx sehingga menjadi 1. Perhatikan lagi contoh yang kedua. 𝑢=
3 2 𝑑𝑢 𝑥 ; = 3𝑥 2 𝑑𝑥 𝑑𝑢 = 3𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝑢 =
3𝑥 𝑑𝑥 ; 𝑢 =
3 2 𝑥 +𝐶 2
Jadi notasi turunan dan integral seperti itu memudahkan pemahaman dan penulisan persamaan. Untuk keperluan praktis, integral dari fungsi 𝑓 𝑥 juga lazim dituliskan 𝐹 𝑥 , namun penulisan ini sebaiknya dihindari kecuali memang diberikan keterangan untuk itu. Tidak hanya untuk fungsi polinom, untuk semua fungsi matematis juga berlaku hal yang sama, sesuai dengan teorema fundamental kalkulus. Jika suatu fungsi 𝑓 𝑥 terintegralkan di suatu titik menjadi 𝐹 𝑥 , maka turunan dari 𝐹 𝑥 ialah 𝑓 𝑥 . Misalkan turunan dari fungsi sin 𝑥 ialah cos 𝑥, dengan demikian cos 𝑥 𝑑𝑥 = sin 𝑥 + 𝐶 Turunan dari fungsi cos 𝑥 ialah – sin(𝑥), dengan demikian sin 𝑥 𝑑𝑥 = − cos 𝑥 + 𝐶
80
Contoh: 1.
Carilah ∫ 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 𝑑𝑥! Jawab: Dengan menggunakan algoritma pada bab 4 bagian 1, diperoleh: ∫ 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 𝑑𝑥 = 4
1 3
𝑥 3 + 12
1 2
𝑥 2 + 9𝑥 + 𝐶
4
∫ 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 𝑑𝑥 = 3 𝑥 3 + 6𝑥 2 + 9𝑥 + 𝐶 2.
Carilah ∫ 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 𝑑(2𝑥 + 3)! Jawab: Perhatikan bahwa nilai pengintegrasi(integran)-nya ialah 2𝑥 + 3, jadi kita harus mengintegralkan fungsi 𝑓 𝑥 = 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 terhadap 2𝑥 + 3, bukan terhadap 𝑥 atau yang lain. ∫ 4𝑥 2 + 12𝑥 + 9 𝑑 2𝑥 + 3 = ∫ 2𝑥 + 3
2
1
𝑑 2𝑥 + 3 = 3 2𝑥 + 3
3
+𝐶
3. Carilah ∫ 𝑥 2 + 𝑎𝑥 + 𝑎2 𝑑𝑎! Jawab: Perhatikan integrannya ialah a, karena x saling bebas dengan a (x bukan fungsi dari a dan sebaliknya a bukan fungsi dari x) maka x dapat dianggap sebagai konstanta. 1
1
∫ 𝑥 2 + 𝑎𝑥 + 𝑎2 𝑑𝑎 = 𝑎𝑥 2 + 2 𝑎2 𝑥 + 3 𝑎3 + 𝐶
3. INTEGRAL SEBAGAI LUAS DAERAH DI BAWAH KURVA Masih ingat tentang operator sumasi sigma (Σ)? Ya, sumasi sigma dipergunakan untuk menghitung jumlah diskret dari hasil suatu fungsi. Misalkan 5 𝑛=1 2𝑥 ,
merupakan jumlah dari hasil pemetaan fungsi 𝑓 𝑥 = 2𝑥 untuk daerah
asal dari n = 0 hingga n = 5. Penting untuk diingat daerah asal dari sumasi sigma hanyalah bilangan bulat.
81
5
2𝑥 = 2 1 + 2 2 + +2 3 + +2 4 + +2 5 = 30 𝑛=0
Perhatikan lagi bahwa sumasi sigma dari fungsi 𝑓 𝑥 merupakan jumlah dari segmen-segmen segi empat dengan lebar satu satuan dan panjang sama dengan hasil fungsi dari nilai tengah segmen segi empat itu. Perhatikan gambar di bawah ini untuk lebih jelasnya.
Gambar 4.1. Grafik 𝑓 𝑥 = 2𝑥
Jadi operator sumasi sigma dapat digunakan untuk menghitung luas di bawah kurva 𝑓 𝑥 dengan batas-batas yang ditentukan. Tentu saja untuk fungsi non-linear, hasil luasan yang diperoleh hanyalah pendekatan. Bagaimana agar luasan yang diperoleh bisa sedekat mungkin dengan aslinya? Jawabannya ialah dengan memperkecil lebar segmen-segmen yang dibuat (kita sebut Δ𝑥). Misalkan luas daerah di bawah kurva 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 + 1 dari x = 1 hingga x = 3. Kita akan ambil Δ𝑥 = 0,5, sehingga diperoleh empat segmen-segmen segi empat sebagai berikut:
82
Derah x
Nilai tengah x (xi)
Hasil fungsi nilai
Luas segmen ke-I
tengah x (yi)
(Δ𝑥 × 𝑦𝑖 )
0,75 – 1,25
1,00
2,00
1,00
1,25 – 1,75
1,50
3,25
1,625
1,75 – 2,25
2,00
5,00
2,50
2,25 – 2,75
2,50
7,25
3,625
2,75 – 3,25
3,00
10,0
5,00
Jumlah
13,75
Jadi diperoleh luas daerah di bawah kurva 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 + 1 dengan Δ𝑥 = 0,5 ialah 13,75 satuan luas. Metode penghitungan luas dengan segmensegmen segi empat seperti ini disebut penjumlahan Riemann. Bandingkan jika diambil Δ𝑥 = 1, diperoleh 3
𝑥 2 + 1 = 12 + 1 + 22 + 1 + (32 + 1) = 17 𝑛=1
Ternyata hasilnya berbeda cukup jauh, tentulah hasil yang diperoleh dengan Δ𝑥 = 0,5 lebih akurat, tapi itupun masih berupa pendekatan. Bagaimana cara untuk memperoleh hasil yang eksak? Untuk memperoleh hasil yang eksak Δ𝑥 sekecil mungkin hingga mendekati nol. Ternyata hal ini bersesuaian dengan definisi integral tentu. 𝑏
𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = 𝐹(𝑥)
𝑏 𝑎
= 𝐹(𝑥)
𝑥=𝑏
− 𝐹(𝑥)
𝑥=𝑎
= 𝐹 𝑏 − 𝐹(𝑎)
𝑎
Dengan 𝐹 𝑥 = ∫ 𝑓 𝑥 𝑑𝑥. Jadi integral tentu 𝑓 𝑥 terhadap 𝑥 dari 𝑎 hingga 𝑏 merupakan jumlah dari luas segmen-segmen segi empat dengan lebar segmen Δ𝑥 → 0 dan tinggi hasil fungsi dari 𝑥 nilai tengah lebarnya dari 𝑥 = 𝑎 hingga 𝑥 = 𝑏. Dengan bahasa komputasi, dapat dibuat algoritma integral tentu seperti di bawah ini: a. Deklarasikan rentang x dan inkremen (Δ𝑥) Misal: 𝑥 = (1: 0,0001: 3) 83
Maksudnya 𝑥 ialah matriks baris (barisan bilangan) dengan batas bawah = 1, inkremen = 0,0001, dan batas atas = 3. b. Deklarasikan fungsi 𝑦 = 𝑓(𝑥) 𝑦 = 𝑥. ^2 + 1 Maksudnya y adalah matriks baris (barisan bilangan) yang nilainya yi = xi2 + 1. c. Hitung luas segmen dengan rumus 𝐿𝑖 = Δ𝑥 × 𝑦𝑖 𝐿 = 0,0001.∗ 𝑦 d. Jumlahkan semua Li. Luas = sum(L) Hmmm… kira-kira seperti itu. Inkremen dapat diperkecil hingga menuju nol. Nah, sekarang kita coba menghitung luas daerah dibawah kurva dengan metode analitik yakni dengan menggunakan rumus yang telah diperoleh. 3
𝑥3 𝑥 + 1 𝑑𝑥 = +𝑥+𝐶 3
3
2
Luas = 1
= 1
33 1 3 1 + 3 + 𝐶 − + 1 + 𝐶 = 12 − = 10 3 2 2 2
Perhatikan bahwa konstanta C menjadi lenyap, itulah yang menyebabkan integral ini disebut integral tentu. Diperoleh juga luas daerah dibawah kurva 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 + 1 dari x = 1 hingga x = 3. Ini adalah hasil yang eksak, bukan sekedar pendekatan.
Penting! Jangan melanjutkan mengerjakan soal-soal integral sebelum memahami definisi dan makna matematis dari konsep integral dengan baik..
Hal penting lainnya dari kemiripan konsep antara sumasi sigma dan integral (sebagai luas daerah di bawah kurva) ialah kita dapat persamaan diskret (operasi sumasi) ke persamaan kontinyu (operasi integral) dan sebaliknya. Tentu saja pengubahan ini hanya menghasilkan suatu pendekatan, namun biasanya sangat baik untuk sekedar perkiraan. 84
Coba perhatikan lagi gambar 4.1 yang menggambarkan grafik dan 𝑛
diagram/histogram dari fungsi 𝑓 𝑥 = 2𝑥. Nilai ∫1 2𝑥 𝑑𝑥 merupakan luas daerah di bawah kurva dari 𝑥 = 0 hingga 𝑥 = 5 , sedangkan jika kita jumlah menggunakan sumasi sigma, maka batasnya adalah dari 𝑥 = −0,5 hingga 𝑥 = 5,5, ada tambahan setengah segi empat paling kiri dan setengah segi empat paling kanan. Jadi, agar dapat menyetarakannya dengan integral, kita harus membuang bagian-bagian itu yang besarnya (0,5 × 1) dikali dengan ketinggian segi empat, yakni 𝑓(0) dan 𝑓(5) sehingga bersisa 5 𝑥=0 𝑓(𝑥)
−
𝑓 0 2
−
𝑓 5 2
Dengan demikian kita dapat menyetarakan operasi integral dan sumasi sigma dalam pendekatan 𝑏
𝑏 𝑥=𝑎
∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 ≅
𝑓(𝑥) −
𝑓 𝑎 2
−
𝑓 𝑏 2
(4.1.a)
atau 𝑏 𝑥=𝑎
𝑏
𝑓(𝑥) ≅ ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 +
𝑓 𝑎 2
+
𝑓 𝑏 2
(4.1.b)
Patut untuk diingat relasi ini hanyalah suatu pendekatan (aproksimasi) saja, namun untuk persamaan linear, nilainya memang benar-benar sama. Silakan pembaca membuktikan bahwa relasi di atas benar-benar sama hanya untuk persamaan yang linear.
4. BEBERAPA BENTUK INTEGRAL Berikut ini beberapa bentuk integral yang lazim disertai penjabarannya, silakan disimak.
4.1. Integral Fungsi Polinom Seperti yang sudah disinggung pada bagian sebelumya, integral fungsi polinom dapat didefinisikan sebagai berikut: 𝑎
∫ 𝑎𝑥 𝑛 𝑑𝑥 = 𝑛 +1 𝑥 𝑛 +1 + 𝐶
(4.2)
Operasi integral juga memenuhi sifat-sifat sebagai berikut 85
1. Sifat komutatif ∫ 𝑓 𝑥 + 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 + ∫ 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 2. Sifat asosiatif terhadap perkalian skalar ∫ 𝑘𝑓 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑘 ∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 ; dengan k suatu skalar Sedangkan yang perlu diperhatikan, ∫𝑓
1 𝑥
𝑑𝑥 ≠
1 ∫ 𝑓 𝑥 𝑑𝑥
4.2. Integral Bentuk ex dan 1/x Dari definisi bilangan natural, 1 𝑛
𝑒 = lim𝑛→∞ 1 + 𝑛
(4.3)
Dapat kita ekspansikan dengan deret binomial Newton 𝑥+𝑎 𝑛 𝑘=0
𝑛
= 𝑥𝑛 +
𝑛 𝑘
𝑥 𝑘 𝑎𝑛−𝑘
𝑛 𝑛−1 𝑥 𝑎 1!
+
𝑛 𝑛−1 2!
𝑥 𝑛−2 𝑎2 +
𝑛 𝑛−1 (𝑛−2) 𝑛−3 3 𝑥 𝑎 3!
+⋯=
(4.4)
diperoleh 1 𝑛𝑥
𝑒 𝑥 = lim𝑛→∞ 1 + 𝑛
𝑛𝑥
= 1 + 1!𝑛 +
𝑛𝑥 𝑛𝑥 −1 2! 𝑛 2
+
𝑛𝑥 𝑛𝑥 −1 (𝑛𝑥 −2) 3! 𝑛 3
+⋯
(4.5)
dengan menjamin n>> (menuju tak hingga), 1 𝑛
1+𝑛
𝑛𝑥
= 1 + 1!𝑛 +
(𝑛𝑥 )2 −𝑛𝑥 2! 𝑛 2
+
(𝑛𝑥 )3 −3(𝑛𝑥 )2 +2𝑛𝑥 3! 𝑛 3
+⋯
(4.6)
Karena n>>, maka (nx)2 – nx dapat dianggap sama dengan (nx)2, begitu pula (nx)3 – 3(nx)2 + 2nx ≈ (nx)3. Akhirnya didapatkan bentuk 1 𝑛𝑥
𝑒 𝑥 = lim𝑛 →∞ 1 + 𝑛
𝑥
= 1 + 1! +
𝑥2 2!
+
𝑥3 3!
+
𝑥4 4!
+⋯
(4.7)
Dengan bentuk deret di atas, dengan mudah dapat kita tentukan turunan dari ex yakni: 𝑑
𝑥
𝑒 𝑥 𝑑𝑥 = 0 + 1 + 1! +
𝑥2 2!
+
𝑥3 3!
+⋯
(4.8)
Whoiila, ternyata diperoleh turunan dari ex adalah ex juga. Dengan demikian diperoleh ∫ 𝑒 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑒 𝑥 + 𝐶
(4.9)
86
Misalkan kita pilih persamaan awal y = ex, sehingga dy/dx = ex. Jadi diperoleh persamaan diferensial 𝑑𝑦 𝑑𝑥
=𝑦
(4.10)
1
∫ 𝑦 𝑑𝑦 = ∫ 𝑑𝑥
(4.11.a)
1
∫ 𝑦 𝑑𝑦 = 𝑥
(4.11.b)
Lihat kembali persamaan awal kita y = ex, dengan demikian x = ln y. Substitusi nilai x ini ke dalam persamaan (4.11.b) menghasilkan 1
∫ 𝑦 𝑑𝑦 = ln 𝑦
(4.12)
4.3. Bentuk-bentuk Integral Baku Dalam berbagai problem matematis, biasanya terdapat berbagai bentuk integral fungsi. Berikut beberapa di antaranya. ∫ 𝑘 𝑑𝑢 = 𝑘𝑢 + 𝐶
(4.13)
1
∫ 𝑢𝑛 𝑑𝑢 = 𝑛+1 𝑢𝑛+1 + 𝐶 ; 𝑛 ≠ −1 1
(4.14)
∫ 𝑢 𝑑𝑢 = ln 𝑢 + 𝐶 ; 𝑛 ≠ −1
(4.15)
∫ 𝑒 𝑢 𝑑𝑢 = 𝑒 𝑛 + 𝐶
(4.16)
𝑎𝑛
∫ 𝑎𝑢 𝑑𝑢 = ln 𝑎 + 𝐶
(4.17)
∫ sin 𝑢 𝑑𝑢 = cos 𝑢 + 𝐶
(4.18)
∫ cos 𝑢 𝑑𝑢 = − sin 𝑢 + 𝐶
(4.19)
∫ sec 2 𝑢 𝑑𝑢 = tan 𝑢 + 𝐶
(4.20)
∫ sec 𝑢 tan 𝑢 𝑑𝑢 = sec 𝑢 + 𝐶
(4.21)
∫ csc 2 𝑢 𝑑𝑢 = − cot 𝑢 + 𝐶
(4.22)
∫ csc 𝑢 cot 𝑢 𝑑𝑢 = − csc 𝑢 + 𝐶
(4.23)
∫ tan 𝑢 𝑑𝑢 = −ln|cos 𝑢| + 𝐶
(4.24)
∫ cot 𝑢 𝑑𝑢 = ln|sin 𝑢| + 𝐶
(4.25)
∫ sec 𝑢 𝑑𝑢 = ln | sec 𝑢 + tan 𝑢 | + 𝐶
(4.26)
∫ csc 𝑢 𝑑𝑢 = − ln | csc 𝑢 + cot 𝑢 | + 𝐶
(4.27)
87
∫ ∫𝑢
1 𝑎 2 −𝑢 2
𝑑𝑢 = sin−1
1
𝑢 𝑎
1
𝑢 2 −𝑎 2
𝑑𝑢 = a sec −1
1
1
+𝐶 |𝑢|
𝑢
∫ 𝑎 2 +𝑢 2 𝑑𝑢 = 𝑎 tan−1
𝑎
(4.28) +𝐶
𝑎
(4.29)
+𝐶
(4.30)
Beberapa pembuktian dan/atau pembahasan tentang bentuk-bentuk di atas akan diberikan pada bagian-bagian selanjutnya.
5. METODE SUBSTITUSI Untuk memudahkan pekerjaan integral-mengintegralkan, kita dapat melakukan metode substitusi. Tercermin dari namanya, metode substitusi ialah metode dengan menukar suatu suku/bagian dengan suku lain dan setelah itu dilakukan substitusi balik. Berikut beberapa metode substitusi yang dikenal.
5.1. Substitusi Suku yang Diintegralkan Misalkan suatu fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑔( 𝑥 ), maka integral dari fungsi 𝑓(𝑥) 𝑔
∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫ ′ (𝑥) 𝑑
(4.31)
Contohnya ∫ 𝑥(𝑥 2 + 5)10 𝑑𝑥 dapat kita substitusi nilai 𝑥 2 + 5 = 𝑢 sehingga integral tadi menjadi berbentuk ∫ 𝑥𝑢10 𝑑𝑥 . Ingat 𝑢 = 𝑥 2 + 5 𝑑𝑢
1
sehingga 𝑑𝑥 = 2𝑥 atau 𝑑𝑢 = 2𝑥𝑑𝑥 atau 𝑑𝑥 = 2𝑥 𝑑𝑢. Substitusikan nilai dx dalam integral sehingga fungsi u dapat diintegralkan. ∫ 𝑥𝑢10 𝑑𝑥 = ∫ 𝑥𝑢10
1 2𝑥
1
𝑑𝑢 = 2 ∫ 𝑢10 𝑑𝑢
1 1
= 2 11 𝑢11 + 𝐶 Substitusi balik nilai 𝑢 = 𝑥 2 + 5 menjadi 1
∫ 𝑥(𝑥 2 + 5)10 𝑑𝑥 = 22 𝑥 2 + 5
11
+𝐶
Jika kita hanya melihat susunan seperti pada aturan 4.31 di atas, tentukan terlebih dahulu 𝑓 𝑥 = 𝑥(𝑥 2 + 5)10 𝑥 = 𝑥2 + 5 88
𝑔 = 𝑥10 Diperoleh ′ 𝑥 = 2𝑥 sehingga: 𝑔
∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫ ′
𝑥
𝑑 + 𝐶 = ∫
𝑥 10 2𝑥
1 1
𝑑 = 2 11 11 + 𝐶
Dengan substitusi balik fungsi h(x), didapatkan 1
∫ 𝑥(𝑥 2 + 5)10 𝑑𝑥 = 22 𝑥 2 + 5
11
+𝐶
Contoh 1
1. Carilah ∫ 7𝑥+9 𝑑𝑥
Tips: 1
Untuk semua bentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢
Jawab: Misalkan 𝑢 = 7𝑥 + 9, 𝑑𝑢 = 7 𝑑𝑥 atau 𝑑𝑥 = 1
1 𝑑𝑢
∫ 7𝑥+9 𝑑𝑥 = ∫ 𝑢
7
𝑑𝑢
dengan 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏, hasil
7
integralnya pastilah berbentuk
1
= 7 ln 𝑢 + 𝐶
1
𝑓 𝑥 = 𝑢 ′ 𝑙𝑛 |𝑢| + 𝐶. Nilai u’ ini
Substitusi kembali nilai u, 1
biasa disebut turunan dalam.
1
∫ 7𝑥+9 𝑑𝑥 = 7 ln |7𝑥 + 9| + 𝐶 2. Carilah ∫(4𝑥 − 11)𝑛 𝑑𝑥 Jawab: Misalkan 𝑢 = 4𝑥 − 11, 𝑑𝑢 = 4 𝑑𝑥 atau 𝑑𝑥 = ∫(4𝑥 − 11)𝑛 𝑑𝑥 = ∫ 𝑢𝑛
𝑑𝑢 4
𝑑𝑢 4
𝑢 𝑛 +1
= 4(𝑛+1) + 𝐶
Tips: Untuk fungsi berbentuk seperti di atas dengan polinom dalam kurung berderajat satu, integralnya dapat dilakukan dengan cara biasa (pangkat di tambah satu lalu koefisien dibagi dengan pangkat di tambah satu) kemudian menmambahkan turunan dalamnya sebagai pembagi.
𝑥
3. Carilah ∫ cos 2 𝑥 2 𝑑𝑥! Jawab: 89
1
Perhatikan bahwa cos 2 𝑥 2 = sec 2 𝑥 2 . Ingat bentuk baku∫ sec 2 𝑢 𝑑𝑢 = tan 𝑢 + 𝐶. Misalkan u = x2, du = 2x dx, sehingga 1
1
1
∫ 𝑥 sec 2 𝑥 2 𝑑𝑥 = ∫ 2𝑥 𝑥 sec 2 𝑢 𝑑𝑢 = 2 tan 𝑢 + 𝐶 = 2 tan 𝑥 2 + 𝐶 4. Carilah ∫ 𝑥(4𝑥 2 − 11)𝑛 𝑑𝑥 Jawab: Misalkan 𝑢 = 4𝑥 − 11, 𝑑𝑢 = 8𝑥 𝑑𝑥 atau 𝑑𝑥 = ∫ 𝑥(4𝑥 2 − 11)𝑛 𝑑𝑥 = ∫ 𝑥𝑢𝑛
𝑑𝑢 8𝑥
𝑢 𝑛 +1
= 8(𝑛+1) + 𝐶 =
𝑑𝑢 8𝑥 (4𝑥−11)𝑛 +1 8(𝑛+1)
+𝐶
Bagaimana jika ∫ 𝑥(4𝑥 3 − 11)𝑛 𝑑𝑥? Bisakah diselesaikan dengan substitusi? 2𝑥−4
5. Carilah ∫ 𝑥 2 −4𝑥+8 𝑑𝑥! Jawab: 𝑑𝑢
Misalkan 𝑢 = 𝑥 2 − 4𝑥 + 8, 𝑑𝑢 = 2𝑥 − 4 𝑑𝑥 atau 𝑑𝑥 = 2𝑥−4 ∫
2𝑥−4 𝑢
𝑑𝑥 = ∫
2𝑥−4 𝑑𝑢 𝑢
2𝑥−4
=∫
𝑑𝑢 𝑢
= ln |𝑢| + 𝐶 = ln |𝑥 2 − 4𝑥 + 8| + 𝐶
𝑎𝑥
6. Buktikanlah bahwa ∫ 𝑎 𝑥 𝑑𝑥 = ln 𝑎 + 𝐶! Jawab: Pilih suatu nilai k sehingga a = ek, dimana e bilangan natural sehingga bentuk integral menjadi: ∫ 𝑒 𝑘𝑥 𝑑𝑥 Substitusi u = kx, du = k dx atau dx = du/k. ∫ 𝑒𝑢
𝑑𝑢 𝑘
=
𝑒𝑢 𝑘
+𝐶
Ingatlah kembali a = ek, dengan demikian k = ln a. Substitusikan nilai k dan substitusi balik nilai u sehingga diperoleh hasil akhir 𝑒 𝑘𝑥
𝑎𝑥
∫ 𝑒 𝑘𝑥 𝑑𝑥 = ln 𝑎 + 𝐶 = ln 𝑎 + 𝐶
90
5.2. Substitusi Integran Substitusi variabel pengintegrasi (integran) dapat digunakan untuk mempermudah mencari hasil integral dari suatu fungsi. Agar lebih jelas, baiknya kita memulai dengan contoh, misalnya ∫ sin3 𝑥 𝑑𝑥. ∫ sin3 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ sin2 𝑥 ∙ sin 𝑥 𝑑𝑥 Mengingat sin2 𝑥 + cos 2 𝑥 = 1, ∫ sin3 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ 1 − cos 2 𝑥 ∙ sin 𝑥 𝑑𝑥 ∫ sin3 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ sin 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ cos 2 𝑥 ∙ sin 𝑥 𝑑𝑥 Di sini kita substitusi variabel pengintegrasinya, yakni sin 𝑥 𝑑𝑥 menjadi −𝑑 cos 𝑥 , mengingat∫ sin 𝑥 𝑑𝑥 = − cos 𝑥 + 𝐶. Atau secara lebih detail Catatan:
𝑑
cos 𝑥 = − sin 𝑥 ⟹ −𝑑 cos 𝑥 = sin 𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥
Anggap cos 𝑥 = 𝑢,
Oke? Mari kita lanjutkan!
maka
3
2
∫ sin 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ sin 𝑥 𝑑𝑥 − ∫ cos 𝑥 𝑑(cos 𝑥) 1
∫ sin3 𝑥 𝑑𝑥 = cos 𝑥 − 3 cos 3 𝑥 + 𝐶
∫ cos2 𝑥 𝑑 cos 𝑥 = 1
∫ 𝑢2 𝑑𝑢 = 3 𝑢3 + 𝐶
Jadi lebih mudah kan? Penting untuk dicatat metode ini sebaiknya tidak digunakan jika hasil pemecahan menghasilkan suku dengan pangkat yang sama (misal ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = − ∫ sin 𝑥 𝑑(cos 𝑥)). Jelasnya akan dibahas pada bagian contoh.
5.3. Substitusi dengan Bantuan Trigonometri Terkadang, suatu fungsi teramat sulit bahkan mustahil dikerjakan dengan cara-cara substitusi yang telah diberikan sebelumnya. Eits… jangan menyerah dulu, kemungkinan fungsi itu dapat diintegralkan dengan bantuan trigonometri. Fungsi yang dapat diintegralkan dengan substitusi trigonometri biasanya ialah fungsi-fungsi yang mengandung persamaan lingkaran, contohnya ∫ 𝑥 2 + 𝑦 2
3 2
−
91
𝑑𝑦.
Pertama-tama, ingatlah relasi antara x dan y dalam dalil Pythagoras dan trigonometri yakni 𝑦 = 𝑥 tan 𝜃 dan 𝑟 =
𝑥 2 + 𝑦 2 . Nah, sekarang
mulailah substitusi, 𝑦 = 𝑥 tan 𝜃 sehingga 𝑑𝑦 = 𝑥 sec 2 𝜃 𝑑𝜃. ∫ 𝑥2 + 𝑦2
3 2
−
𝑑𝑦 = ∫
𝑥 sec 2 𝜃𝑑𝜃 3
𝑥 2 +𝑥 2 tan 2 𝜃 2
Ingatlah bahwa sin2 𝛼 + cos 2 𝛼 = 1. Jika kedua ruas dibagi dengan 1
cos2 𝛼 menghasilkan tan2 𝛼 + 1 = sec 2 𝛼 (Ingat lagi bahwa cos 𝛼 = sec 𝛼). Dengan demikian 𝑥 2 tan2 𝜃 + 𝑥 2 = 𝑥 2 sec 2 𝜃 sehingga: 𝑥∫
sec 2 𝜃𝑑𝜃 𝑥 2 sec 2 𝜃
sec 2 𝜃𝑑𝜃
3 2
1
= 𝑥 ∫ 𝑥 3 sec 3 𝜃 = 𝑥 2 ∫ cos 𝜃 𝑑𝜃
Selanjutnya diperoleh ∫ 𝑥2 + 𝑦2
3 2
−
1
𝑑𝑦 = 𝑥 2 sin 𝜃 + 𝐶
Lakukan substitusi balik sin 𝜃 = ∫ 𝑥2 + 𝑦2
3 2
−
1
𝑦
𝑑𝑦 = 𝑥 2
𝑥 2 +𝑦 2
𝑦 𝑟
=
𝑦 𝑥 2 +𝑦 2
, akhirnya diperoleh:
+𝐶
Bagaimana? Cukup mudah kan? Yang penting di sini ialah jika kita melakukan substitusi dengan menggunakan trigonometri dan dalil Pythagoras, maka kita harus melakukan substitusi balik dengan perangkat dan ketentuan yang sama. Bagaimana jika yang ditanya ialah ∫ 𝑥 2 + 𝑦 2
3 2
−
𝑑𝑥? Melihat kesesuaian
dengan hasil sebelumnya, dapat dipastikan hasilnya ialah
1 𝑦2
𝑥 𝑥 2 +𝑦 2
+ 𝐶.
Cobalah Anda mencari langkah-langkah matematisnya sebagai latihan. Beberapa bentuk integral dengan substitusi trigonometri yang sudah baku antara lain sebagai berikut. A. Bentuk arcus sinus dan arcus cosinus Bentuk integral yang memuat arcus sinus dan arcus cosinus adalah yang berbentuk sebagai berikut: ∫ ∫
1 𝑎 2 −𝑢 2 1 𝑎 2 −𝑢 2
𝑑𝑢 = sin−1
𝑢 𝑎
𝑑𝑢 = −cos−1
+𝐶 𝑢 𝑎
(4.32)
+𝐶 92
(4.33)
Oke, kita akan membuktikannya di sini. Untuk memudahkan pemahaman, ganti nama variabelnya menjadi ∫
1 𝑎 2 −𝑥 2
𝑑𝑥 = ∫ 𝑎2 − 𝑥 2
1 2
−
𝑑𝑥
Ingatlah hubungan trigonometri pada segitiga siku-siku, untuk bentuk arcus
cosinus,
lakukan
substitusi 𝑥 = 𝑎 cos 𝜃 ,
sehingga 𝑑𝑥 =
−𝑎 sin 𝜃 𝑑𝜃. 1 2
−
∫ 𝑎2 − 𝑎2 cos 2 𝜃
−𝑎 sin 𝜃 𝑑𝜃 = ∫ 𝑎2 1 − cos 2 𝜃
1 2
−
−𝑎 sin 𝜃 𝑑𝜃
Mengingat relasi trigonometri sin2 𝜃 + cos 2 𝜃 = 1, maka − ∫ 𝑎2 sin2 𝜃
1 2
𝑎 sin 𝜃
−
𝑎 sin 𝜃 𝑑𝜃 = − ∫ 𝑎 sin 𝜃 𝑑𝜃 = −𝜃 + 𝐶
Substitusi balik 𝑥 = 𝑎 cos 𝜃 sehingga diperoleh ∫
1 𝑎 2 −𝑥 2
𝑥
𝑑𝑥 = −cos −1
𝑎
+𝐶
Untuk pembuktian arcus sinus, untuk memudahkan pemahaman ganti variabelnya menjadi ∫
1 𝑎 2 −𝑦 2
𝑑𝑦 dan lakukan substitusi 𝑦 = 𝑎 sin 𝜃 .
Langkah selanjutnya ditinggalkan sebagai latihan.
B. Bentuk arcus tangen Bentuk integral yang memuat arcus tangen adalah yang berbentuk sebagai berikut: 1
1
∫ 𝑎 2 +𝑢 2 𝑑𝑢 = 𝑎 tan−1
𝑢 𝑎
+𝐶
(4.34)
Untuk membuktikannya, lakukan substitusi 𝑢 = 𝑎 tan 𝜃 , sehingga 𝑑𝑢 = 𝑎 sec 2 𝜃 𝑑𝜃. 𝑎 sec 2 𝜃
1
∫ 𝑎 2 +𝑢 2 𝑑𝑢 = ∫ 𝑎 2 +𝑎 2 tan 2 𝜃 𝑑𝜃 = ∫ 𝑎 2
𝑎 sec 2 𝜃 1+tan 2 𝜃
𝑑𝜃
Mengingat relasi trigonometri tan2 𝜃 + 1 = sec 2 𝜃 𝑎 sec 2 𝜃
1
1
𝜃
∫ 𝑎 2 +𝑢 2 𝑑𝑢 = ∫ 𝑎 2 sec 2 𝜃 𝑑𝜃 = 𝑎 ∫ 𝑑𝜃 = 𝑎 + 𝐶 Lakukan substitusi balik 𝜃 = tan−1 1
1
∫ 𝑎 2 +𝑢 2 𝑑𝑢 = 𝑎 tan−1
𝑢 𝑎
+𝐶
93
𝑢 𝑎
.
Contoh 𝑎 2 sin 𝜃
1. Carilah ∫
𝑎 2 +𝑏 2 −2𝑎𝑏 cos 𝜃
𝑑𝜃!
Jawab: Bentuk integral di atas terlihat rumit, namun jika kita merubah integrannya akan menjadi sangat mudah. Seperti penjelasan sebelumnya sin 𝜃 𝑑𝜃 dapat kita ubah menjadi −𝑑(cos 𝜃). Karena a dan b independen (saling bebas) terhadap variabel integran, a dan b dapat kita keluarkan dari operasi integral. 1 2
−
−𝑎2 ∫ 𝑎2 + 𝑏 2 − 2𝑎𝑏 cos 𝜃 Substitusi
𝑑(cos 𝜃)
𝑢 = 𝑎2 + 𝑏 2 − 2𝑎𝑏 cos 𝜃 ,
sehingga
𝑑𝑢 = −2𝑎𝑏 𝑑(cos 𝜃)
atau
𝑑𝑢
𝑑 cos 𝜃 = − 2𝑎𝑏 . 1
1
𝑎2
1
𝑎2 ∫ 𝑢−2 2𝑎𝑏 𝑑𝑢 = 2𝑎𝑏 2𝑢2 + 𝐶 Jadi, ∫
𝑎 2 sin 𝜃 𝑎 2 +𝑏 2 −2𝑎𝑏
2. Carilah ∫
1 9−𝑥 2
𝑎
cos 𝜃
𝑑𝜃 = 𝑏 𝑎2 + 𝑏 2 − 2𝑎𝑏 cos 𝜃 + 𝐶
𝑑𝑥 dalam bentuk arcus sinus dan arcus cosinus!
Jawab: Perhatikan bentuk integralnya, diperoleh 𝑎 = 9 = 3 , sehingga 1 𝑥 𝑑𝑥 = sin−1 +𝐶 3 92 − 𝑥 2 1 𝑥 𝑑𝑥 = − cos −1 +𝐶 3 92 − 𝑥 2 1
3. Carilah ∫ 25+9𝑥 2 𝑑𝑥! Jawab: Suku x2 memiliki koefisien 9, sehingga kita ubah bentuk fungsinya terlebih dahulu. 1 1 1 𝑑𝑥 = 𝑑𝑥 2 25 + 9𝑥 9 25/9 + 𝑥 2 akhirnya diperoleh 𝑎 =
25 9
5
= 3 sehingga:
1 3 3𝑥 𝑑𝑥 = tan +𝐶 25 + 9𝑥 2 45 5
94
6. INTEGRAL PARSIAL Beberapa bentuk integral tak dapat diselesaikan dengan metode substitusi biasa. Untuk itu dapat digunakan metode substitusi ganda atau yang lebih dikenal sebagai pengintegralan parsial. Ingat kembali bentuk turunan dari perkalian fungsi: 𝑑 𝑑𝑥
𝑑𝑢
𝑑𝑣
𝑢𝑣 = 𝑣 𝑑𝑥 + 𝑢 𝑑𝑥
Lakukan pengintegralan terhadap x di kedua ruas. 𝑑𝑢
𝑑𝑣
𝑢𝑣 = ∫ 𝑣 𝑑𝑥 𝑑𝑥 + ∫ 𝑢 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑢𝑣 = ∫ 𝑣 𝑑𝑢 + ∫ 𝑢 𝑑𝑣 Akhirnya diperoleh ∫ 𝑢 𝑑𝑣 = 𝑢𝑣 − ∫ 𝑣 𝑑𝑢
(4.35)
Dan untuk integral tentu 𝑏
∫𝑎 𝑢 𝑑𝑣 = 𝑢𝑣
𝑏 𝑎
𝑏
− ∫𝑎 𝑣 𝑑𝑢
(4.36)
Jadi pengintegralan parsial membolehkan kita menukar masalah ∫ 𝑢 𝑑𝑣 menjadi ∫ 𝑣 𝑑𝑢. Keberhasilan metode ini tergantung pada pemilihan u dan dv yang tepat. Jadi jika dengan satu pemilihan tidak berhasil, cobalah menukar nilai u dan dv, atau mencoba kombinasi lainnya.
Contoh: 1. Carilah integral dari sin2 x terhadap x! Jawab: ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ sin 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥 dapat kita pecah dalam bentuk u dv dimana u = sin x dan dv = sin x dx. Dengan demikian diperoleh du = cos x dx dan v = -cos x. ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = sin 𝑥 − cos 𝑥 − ∫ − cos 𝑥 cos 𝑥 𝑑𝑥 ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = −sin 𝑥 cos 𝑥 + ∫ cos 2 𝑥 𝑑𝑥 Tambahkan kedua ruas dengan ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 sehingga menjadi: ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = −sin 𝑥 cos 𝑥 + ∫ cos2 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥
95
Mengingat sifat integral yang distributif terhadap penjumlahan, ∫ 𝑓(𝑥) + 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 + ∫ 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 dan sifat trigonometri sin2 x + cos2 x = 1, diperoleh 2 ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = −sin 𝑥 cos 𝑥 + ∫ sin2 𝑥 + cos 2 𝑥 𝑑𝑥 1
∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = 2 −sin 𝑥 cos 𝑥 + ∫ 1 𝑑𝑥 1
∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = 2 𝑥 − sin 𝑥 cos 𝑥 + 𝐶 Petunjuk: 𝑑𝑢
Ingatlah jika 𝑢 = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐, maka 𝑑𝑥 = 2𝑎 + 𝑏 atau 𝑑𝑢 = 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥. Jika 𝑑𝑢 = 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥, maka ∫ 𝑑𝑢 = ∫ 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥 atau 𝑢 = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝐶. Anda perlu berlatih melakukannya dengan cepat. Sekarang coba kita gunakan substitusi integran. ∫ sin2 𝑥 𝑑𝑥 = − ∫ sin 𝑥 𝑑 cos 𝑥 = − sin 𝑥 cos 𝑥 + 𝐶 Wah, ternyata hasilnya berbeda. Jadi sebaiknya kita tidak menggunakan substitusi integran jika dihasilkan bentuk trigonometri dengan pangkat yang sama.
2. Hitunglah nilai ∫ ln 𝑥 𝑑𝑥! Jawab: 1
Pilih 𝑢 = ln 𝑥 dan 𝑑𝑣 = 𝑑𝑥, sehingga 𝑑𝑢 = 𝑥 𝑑𝑥 dan 𝑣 = 𝑥. ∫ 𝑢 𝑑𝑣 = 𝑢𝑣 − ∫ 𝑣 𝑑𝑢 1
∫ ln 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑥 ln 𝑥 − ∫ 𝑥 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑥 ln 𝑥 − 𝑥 + 𝐶 3. Carilah ∫ csc 𝑥 𝑑𝑥 Jawab: Untuk mengintegralkan bentuk ini, diperlukan sedikit manipulasi aljabar sebagai berikut: csc 𝑥+tan 𝑥
∫ csc 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ csc 𝑥 csc 𝑥+tan 𝑥 𝑑𝑥 96
∫ csc 𝑥 𝑑𝑥 = ∫
csc 2 𝑥+csc 𝑥 tan 𝑥 csc 𝑥+tan 𝑥
𝑑𝑥
Pilih 𝑢 = csc 𝑥 + tan 𝑥 sehingga 𝑑𝑢 = − csc 𝑥 cot 𝑥 + csc 2 𝑥 𝑑𝑥 , lalu lakukan substitusi ∫ csc 𝑥 𝑑𝑥 = − ∫
𝑑𝑢 𝑢
= − ln 𝑢 + 𝐶
Substitusi balik nilai u, ∫ csc 𝑥 𝑑𝑥 = − ln csc 𝑥 + tan 𝑥 + 𝐶 4. Selesaikanlah ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥! Jawab: ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 = ∫ sec 𝑥 sec 2 𝑥 𝑑𝑥 Pilih 𝑢 = sec 𝑥 sehingga 𝑑𝑢 = sec 𝑥 tan 𝑥 𝑑𝑥 dan 𝑑𝑣 = sec x 𝑥 𝑑𝑥 sehingga 𝑣 = ∫ sec x 𝑥 𝑑𝑥 = tan 𝑥. Diperoleh ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ tan2 𝑥 sec 𝑥 𝑑𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 2 𝑥 − 1 sec 𝑥 𝑑𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ sec 𝑥 𝑑𝑥 sec 𝑥+tan 𝑥
= sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ sec 𝑥 𝑑𝑥 sec 𝑥+tan 𝑥 sec 𝑥+tan 𝑥
= sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 + ∫ sec 𝑥 𝑑𝑥 sec 𝑥+tan 𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 + ∫
sec 𝑥 tan 𝑥+sec 2 𝑥 sec 𝑥+tan 𝑥
𝑑𝑥
Gunakan substitusi integran, diperoleh sec 𝑥 tan 𝑥 + sec 2 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑑(sec 𝑥 + tan 𝑥), sehingga: ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 − ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 + ln sec 𝑥 + tan 𝑥 + 𝐶 2 ∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 = sec 𝑥 tan 𝑥 + ln sec 𝑥 + tan 𝑥 + 𝐶 1
1
∫ sec 3 𝑥 𝑑𝑥 = 2 sec 𝑥 tan 𝑥 + 2 ln sec 𝑥 + tan 𝑥 + 𝐶 5. Hitunglah nilai ∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥! Jawab: Pilih 𝑢 = sin 𝑥 dan 𝑑𝑣 = 𝑒 𝑥 𝑑𝑥, sehingga 𝑑𝑢 = cos 𝑥 𝑑𝑥 dan 𝑣 = 𝑒 𝑥 . ∫ 𝑢 𝑑𝑣 = 𝑢𝑣 − ∫ 𝑣 𝑑𝑢 97
∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑒 𝑥 sin 𝑥 − ∫ 𝑒 𝑥 cos 𝑥 𝑑𝑥
(i)
Eh, ternyata masih tidak bisa diselesaikan. Coba parsialkan lagi suku kedua ruas kanan. Pilih 𝑢 = cos 𝑥 dan 𝑑𝑣 = 𝑒 𝑥 𝑑𝑥, sehingga 𝑑𝑢 = − sin 𝑥 𝑑𝑥 dan 𝑣 = 𝑒 𝑥 . ∫ 𝑒 𝑥 cos 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑒 𝑥 cos 𝑥 + ∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥
(ii)
substitusi (ii) ke (i) ∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑒 𝑥 sin 𝑥 − 𝑒 𝑥 cos 𝑥 − ∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥 1
∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥 = 2 𝑒 𝑥 sin 𝑥 − cos 𝑥 + 𝐶 6. Sudah dari dulu Acok ingin menyatakan cintanya kepada Rina. Suatu ketika ia membulatkan tekadnya menembak Rina, Rina malah memberikan soal dan mengatakan jika Acok berhasil menjawabnya dengan benar maka ia akan menerima Acok sebagai kekasihnya. Berikut soal yang diberikan Rina kepada Acok: 𝑑𝑥 𝑥2 4 − 𝑥2 Cobalah untuk memecahkan soal di atas dan beritahukanlah jawabannya pada Acok agar dia bisa diterima. Jawab: Substitusi 𝑥 = 2 sin 𝜃 sehingga 𝑑𝑥 = 2 cos 𝜃 𝑑𝜃 ∫ 𝑥2
𝑑𝑥 4−𝑥 2
=∫ =∫
2 cos 𝜃 𝑑𝜃 4 sin 2 𝜃 4−4 sin 2 𝜃 2 cos 𝜃 𝑑𝜃 4 sin 2 𝜃
4(1−sin 2 𝜃)
2 cos 𝜃 𝑑𝜃
= ∫ 4 sin 2 𝜃 ∙ 2 cos 𝜃 𝑑𝜃
1
= ∫ 4 sin 2 𝜃 = 4 ∫ csc 2 𝜃 𝑑𝜃 1
= − 4 cot 𝜃 + 𝐶 𝑥
mengingat sin 𝜃 = 2 , maka cos 𝜃 = 1 − sin2 𝜃 sehingga cot 𝜃 = Lakukan substitusi balik diperoleh 𝑑𝑥 𝑥2 4 − 𝑥2
=−
98
1 − 𝑥 2 /4 +𝐶 2𝑥
cos 𝜃 sin 𝜃
=
1−𝑥 2 /4 𝑥/2
.
Jadi kita telah menyelesaikan soalnya. Satu-satunya permasalahan yang tersisa adalah bagaimana cara memberitahukan jawabannya kepada Acok.
7. Dalam pemrograman, pemodelan populasi, dan fisika statistik sering muncul persamaan yang memuat bentuk faktorial. Permasalahannya faktorial dari suatu bilangan (𝑛) sangatlah besar, lebih besar daripada
𝑛𝑛 /2 . Oleh karenanya,
biasanya nilai-nilai itu dinyatakan dalam logaritmanya. Dengan menggunakan bantuan relasi sumasi sigma dan integral pada bagian sebelumnya, carilah pendekatan nilai ln 𝑛! yang tidak memuat operasi faktorial. Jawab: Berdasarkan
aturan
logaritma, ln 𝑎 × 𝑏 × 𝑐 × … = ln 𝑎 × ln 𝑏 × ln 𝑐 × … .
Mengingat definisi faktorial 𝑥! = 𝑥 × 𝑥 − 1 × 𝑥 − 2 × … × 1, maka diperoleh 𝑛
ln 𝑛! = ln 𝑛 × ln(𝑛 − 1) × ln(𝑛 − 2) × … × ln 1 =
ln 𝑖 𝑖=1
Jika digambarkan dalam grafik, diperoleh hasil sebagai berikut:
Kita gunakan relasi sumasi dan integral, diperoleh 𝑛 𝑥=1 ln 𝑥
𝑛
≈ ∫1 ln 𝑥 𝑑𝑥 +
ln 1 2
+
ln 𝑛 2
Dengan menggunakan integral parsial, diperoleh ∫ ln 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑥 ln 𝑥 − 𝑥 + 𝐶, sehingga: 𝑛 𝑥=1 ln 𝑥 𝑛 𝑥=1 ln 𝑥
≈ 𝑛 ln 𝑛 − 𝑛 − ln 1 − 1 + ≈ 𝑛 ln 𝑛 − 𝑛 + 1 +
ln 𝑛 2
ln 1 2
+ 1
ln 𝑛 2
= 𝑛 + 2 ln 𝑛 − 𝑛 + 1 99
Akhirnya diperoleh ln 𝑛! ≈ 𝑛 +
1 ln 𝑛 − 𝑛 + 1 2
Contoh soal nomor 4 dan 5 menunjukkan beberapa bentuk fungsi tidak selesai diintegralkan jika diparsialkan sekali. Dalam kasus ∫ 𝑒 𝑥 sin 𝑥 𝑑𝑥, butuh dua tahap. Nah, bagaimana jika fungsi tadi memerlukan lebih dari dua tahap? Apakah ada cara yang lebih mudah daripada mengintegralkannya secara parsial? Sepengetahuan saya ada beberapa cara lain, seperti ekspansi deret, namun kita belum akan membahas integral dengan ekspansi deret. Jadi untuk sementara, kita tetap akan mengerjakan integral dari fungsi-fungsi yang "bandel" itu dengan metode parsial. Meskipun demikian, ada model penyelesaian yang lebih praktis untuk fungsi yang membutuhkan tahap pengintegralan parsial lebih dari sekali. ∫ 𝑢𝑣 𝑑𝑥 = 𝑢𝑣1 − 𝑢′𝑣1 + 𝑢′′𝑣2 − ⋯
(4.37)
Di mana u dan v merupakan fungsi dari x dengan u' turunan pertama dari u, u'' turunan kedua dari u, dan seterusnya serta 𝑣1 = 𝑣 𝑑𝑥, 𝑣2 = 𝑣1 𝑑𝑥 dan seterusnya. Misalkan ∫ 2𝑥 2 cos 2𝑥 𝑑𝑥, ambil 𝑢 = 2𝑥 2 dan 𝑣 = cos 2𝑥, diperoleh. 1
𝑢 = 2𝑥 2
→
𝑣1 = 2 sin 2𝑥
𝑢′ = 4𝑥
→
𝑣2 = − 4 cos 2𝑥
𝑢′′ = 4
→
𝑣3 = − 8 sin 2𝑥
𝑢′′′ = 0
→
𝑣4 = 16 cos 2𝑥
1 1
1
1
Jadi, ∫ 2𝑥 2 cos 2𝑥 𝑑𝑥 = 𝑥 2 sin 2𝑥 − −𝑥 cos 2𝑥 + − 2 sin 2𝑥 + 𝐶 Bagaimana? Meskipun
sebenarnya
tidak mempermudah operasi
matematisnya, tetapi proses pengintegralan menjadi singkat, praktis, dan tidak membuat kita menjadi bingung.
100
7. INTEGRAL FUNGSI RASIONAL Fungsi rasional ialah fungsi yang merupakan hasil bagi dua fungsi polinom. Adapun fungsi rasional sejati ialah fungsi rasional yang derajat pembilangnya lebih kecil daripada derajat penyebutnya. Semua fungsi rasional sejati dapat diintegralkan, dan untuk fungsi rasional yang lebih kompleks akan lebih mudah jika dipecah menjadi sejumlah pecahan-pecahan yang lebih sederhana. Pemecahan ini biasa disebut dekomposisi.
7.1.
Kasus untuk Faktor Linear yang Berlainan 3𝑥−1
Contoh, menentukan ∫ 2 𝑑𝑥. Mula-mula kita faktorkan terlebih 𝑥 −𝑥−6 dahulu fungsinya menjadi: 3𝑥 − 1 3𝑥 − 1 = 𝑥2 − 𝑥 − 6 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) Perhatikan penyebutnya merupakan dua faktor yang berbeda. Untuk faktor linear yang berlainan kita dekomposisikan dalam bentuk 3𝑥 − 1 𝐴 𝐵 = + 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) 𝑥 + 2 𝑥 − 3 Nah, permasalahannya ialah mencari nilai A dan B yang sesuai. Dengan mengalikan kedua ruas dengan 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) diperoleh 3𝑥 − 1 = 𝐴 𝑥 − 3 + 𝐵(𝑥 + 2) 3𝑥 − 1 = 𝐴𝑥 − 3𝐴 + 𝐵𝑥 + 2𝐵 3𝑥 − 1 = 𝐴 + 𝐵 𝑥 + (2𝐵 − 3𝐴) Perhatikan ruas kiri dan kanan yang mengandung variabel x dan yang tidak, lalu persamakan. Diperoleh 𝐴 + 𝐵 𝑥 = 3𝑥 ; 𝐴 + 𝐵 = 3 ; 𝐴 = 3 − 𝐵 2𝐵 − 3𝐴 = −1 Cari nilai A dan B 8
2𝐵 − 3 3 − 𝐵 = −1 ; 𝐵 = 5 7
𝐴 =3−𝐵; 𝐴 =5 Akhirnya diperoleh bentuk lengkap dekomposisi 101
3𝑥 − 1 7/5 8/5 = + 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) 𝑥 + 2 𝑥 − 3 Dengan mudah dapat kita integralkan 3𝑥 − 1 7 𝑑𝑥 = 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) 5
1 8 𝑑𝑥 + 𝑥+2 5
1 𝑑𝑥 𝑥−3
3𝑥 − 1 7 8 𝑑𝑥 = ln |𝑥 + 2| + ln |𝑥 − 3| + 𝐶 𝑥 + 2 (𝑥 − 3) 5 5
7.2.
Kasus untuk Faktor Linear yang Berulang 𝑥
Kasus untuk faktor linear yang berulang, misalnya 𝑓 𝑥 = 𝑥 2 −6𝑥+9, jika difaktorkan akan menjadi 𝑓 𝑥 =
𝑥 𝑥 −3 (𝑥−3)
yang memiliki faktor
berulang. Dekomposisi dari fungsi rasional seperti itu berbentuk 𝑥 𝐴 𝐵 = + (𝑥 − 3)2 (𝑥 − 3) (𝑥 − 3)2 Setelah kedua ruas dikalikan (𝑥 − 3)2 diperoleh 𝑥 =𝐴 𝑥−3 +𝐵 Misalkan kita mensubstitusi nilai x = 3, diperoleh B = 3. Dan jika mensubstitusi x = 0 diperoleh 0 = -3A + B atau A = 1. Dengan demikian fungsi 𝑓 𝑥 berubah bentuk menjadi 𝑓(𝑥) =
1 3 + (𝑥 − 3) (𝑥 − 3)2
Sehingga 𝑥 𝑑𝑥 = (𝑥 − 3)2
1 𝑑𝑥 + (𝑥 − 3)
3 𝑑𝑥 (𝑥 − 3)2
𝑥 3 𝑑𝑥 = ln |𝑥 − 3| − +𝐶 (𝑥 − 3)2 𝑥−3
102
Contoh: 3𝑥 2 −8𝑥+13
Carilah ∫
𝑥+3 (𝑥−1)2
𝑑𝑥!
Jawab: Bentuk fungsi di atas mengandung tiga faktor penyebut, satu berbeda sedangkan yang kedua dan yang ketiga identik (faktor berulang). Dengan demikian, bentuk dekomposisinya dapat kita gabungkan antara bentuk faktor linear tunggal dan faktor linear berulang yaitu: 3𝑥 2 −8𝑥+13 𝑥+3 (𝑥−1)2
𝐴
=
𝑥 +3
+
𝐵 (𝑥−1)
+
𝐶 (𝑥−1)2
Setelah bentuk pecahannya dihilangkan diperoleh 3𝑥 2 − 8𝑥 + 13 = 𝐴(𝑥 − 1)2 + 𝐵 𝑥 + 3 (𝑥 − 1) + 𝐶 𝑥 + 3 Jika kita substitusikan nilai x = 1, x = -3, dan x = 0 didapatkan 8 = 4C, sehingga C = 2. 64 = 16A, sehingga A = 4 13 = A – 3B + 3C, sehingga B = -1 ∫ ∫
3𝑥 2 −8𝑥+13 𝑥+3 (𝑥−1)2 3𝑥 2 −8𝑥+13 𝑥+3
7.3.
𝑑𝑥 = ∫
4 𝑥+3
1
2
𝑑𝑥 − ∫ (𝑥−1) 𝑑𝑥 + ∫ (𝑥−1)2 𝑑𝑥 2
(𝑥−1)2
𝑑𝑥 = 4 ln |𝑥 + 3| − ln | 𝑥 − 1| + 𝑥−1 + 𝐶
Kasus untuk Faktor Kuadrat Tunggal Kasus untuk faktor kuadrat tunggal, misalnya 𝑓 𝑥 =
6𝑥 2 −3𝑥+1 4𝑥+1 (𝑥 2 +1)
Perhatikan faktor kuadrat 𝑥 2 + 1. Dekomposisi fungsi ini berbentuk 6𝑥 2 −3𝑥+1 4𝑥+1 (𝑥 2 +1)
=
𝐴 4𝑥+1
+
𝐵𝑥 +𝐶 𝑥 2 +1
Setelah pecahannya dihilangkan akan berbentuk 6𝑥 2 − 3𝑥 + 1 = 𝐴(𝑥 2 + 1) + (𝐵𝑥 + 𝐶)(4𝑥 + 1) Jika kita substitusikan nilai x = -¼, x = 0, dan x = 1 menghasilkan 6 16
3
17
+ 4 + 1 = 16 𝐴, sehingga A = 2
1 = 2 + 𝐶, sehingga C = -1 103
.
4 = 4 + 𝐵 − 1 5, sehingga B = 1 Akhirnya dapat kita peroleh integralnya ∫
6𝑥 2 −3𝑥+1 4𝑥+1
2
(𝑥 2 +1)
𝑥−1
𝑑𝑥 = ∫ 4𝑥+1 𝑑𝑥 + ∫ 𝑥 2 +1 𝑑𝑥
2
𝑥
1
= ∫ 4𝑥+1 𝑑𝑥 + ∫ 𝑥 2 +1 𝑑𝑥 − ∫ 𝑥 2 +1 𝑑𝑥 1
1
= 2 ln 4𝑥 + 1 + 2 ln |𝑥 2 + 1| − tan−1 𝑥 + 𝐶 7.4.
Kasus untuk Faktor Kuadrat yang Berulang Kasus untuk faktor kuadrat berulang, misalnya 𝑓 𝑥 =
6𝑥 2 −15𝑥+22 𝑥+3 (𝑥 2 +2)2
.
Perhatikan ada faktor kuadrat yang berulang di situ, yakni (𝑥 2 + 2)(𝑥 2 + 2). Dekomposisi yang cocok ialah 6𝑥 2 −15𝑥+22 𝑥+3 (𝑥 2 +2)2
𝐴
𝐵𝑥 +𝐶
𝐷𝑥 +𝐸
= 𝑥+3 + 𝑥 2 +2 + (𝑥 2 +2)2
Jika dicari dengan benar, akan didapatkan nilai A = 1, B = -1, C = 3, D = -5 dan E = 0. Integralnya ialah: ∫
6𝑥 2 −15𝑥+22 𝑥+3 (𝑥 2 +2)2
1
−𝑥+3
−5𝑥
𝑑𝑥 = ∫ 𝑥+3 𝑑𝑥 + ∫ 𝑥 2 +2 𝑑𝑥 + ∫ (𝑥 2 +2)2 𝑑𝑥
1
𝑥
1
𝑥
= ∫ 𝑥+3 𝑑𝑥 − ∫ 𝑥 2 +2 𝑑𝑥 + 3 ∫ 𝑥 2 +2 𝑑𝑥 − 5 ∫ (𝑥 2 +2)2 𝑑𝑥 1
= ln |𝑥 + 3| − 2 ln |𝑥 2 + 2| +
3 2
tan−1
𝑥 2
5
1
+ 2 (𝑥 2 +2)2 + 𝐶
8. INTEGRAL TENTU Sebelumnya, kita telah membahas mengenai integrasi fungsi matematis yang hasilnya memberikan suatu konstanta tidak diketahui. Telah disinggung juga konstanta itu hanya dapat diketahui, atau dieliminir jika daerah asal fungsi diketahui, semisal 𝑎, 𝑏 . Beberapa definisi dan teorema dalam integral tentu ialah sebagai berikut. 1. Jika suatu fungsi 𝑓 terdefinisi pada 𝑎, 𝑏 maka lim 𝑃 →0
𝑛 𝑖=1 𝑓(𝑤𝑖 ) Δ𝑥𝑖
= 𝐿 jika
dan hanya jika untuk setiap bilangan positif 𝜀 terdapat bilangan positif 𝛿
104
sehingga untuk setiap partisi 𝑃 = 𝑥0 , 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 𝑛 𝑖=1 𝑓(𝑤𝑖 ) Δ𝑥𝑖
𝑃 < 𝛿, berlaku
pada 𝑎, 𝑏 dengan
− 𝐿 < 𝜀.
2. Jika 𝑓 fungsi yang terdefinisi pada 𝑎, 𝑏 dan lim 𝑃 →0
𝑛 𝑖=1 𝑓(𝑤𝑖 ) Δ𝑥𝑖
ada, maka
limit tersebut dinamakan integral tentu (integral Riemann) fungsi 𝑓 pada 𝑎, 𝑏 . Selanjutnya 𝑓 dikatakan integrable pada 𝑎, 𝑏 dan integralnya ditulis 𝑏
𝑏
∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥. Jadi ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = lim
𝑃 →0
𝑛 𝑖=1 𝑓(𝑤𝑖 ) Δ𝑥𝑖 . 𝑏
3. Jika 𝑓 integrable pada 𝑎, 𝑏 , maka dipenuhi hubungan ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = 𝑎
𝑏
𝑎
− ∫𝑏 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥. Dan jika 𝑎 = 𝑏 maka ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = 0. Perlu diketahui juga teorema fundamental kalkulus yaitu: Jika 𝑓 integrable pada 𝑎, 𝑏 dan 𝐹 suatu anti-turunan dari 𝑓 pada 𝑎, 𝑏 (𝐹 ′ 𝑥 = 𝑓(𝑥) untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑎, 𝑏 ), maka 𝑏
∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = 𝐹 𝑏 − 𝐹(𝑎)
(4.38)
Beberapa aplikasi integral tentu antara lain untuk menghitung panjang kuva, luas daerah di bawah kurva, dan volum benda putar.
8.1.
Luas Daerah yang dibatasi Kurva Pada definisi integral sebelumnya telah disinggung integral tentu 𝑏
∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 sebagai luas daerah yang dibatasi oleh kurva 𝑓 𝑥 , sumbu X, garis 𝑥 = 𝑎 dan 𝑥 = 𝑏. Oleh karena itu pada subbab 8.1. ini hanya akan diperinci untuk daerah yang dibatasi dua kurva dan luas daerah untuk fungsi 𝑥 = 𝑓(𝑦). Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini.
Gambar 4.2. Luas daerah yang dibatasi dua kurva (yang diraster) dapat ditentukan dengan integral.
105
Luas daerah yang dibatasi kurva 𝑓(𝑥), 𝑔(𝑥), garis 𝑥 = 𝑎, dan 𝑥 = 𝑏 (daerah yang diraster) jelas adalah luas daerah dibawah kurva 𝑓(𝑥) pada selang 𝑎, 𝑏 dikurangi luas daerah dibawah kurva 𝑔(𝑥) pada selang 𝑎, 𝑏 , sehingga: 𝑏
𝑏
𝑏
Luas = 𝐴 = ∫𝑎 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 − ∫𝑎 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 = ∫𝑎 𝑓 𝑥 − 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥
(4.39)
Bagaimana dengan luas daerah yang dibatasi kurva 𝑥 = 𝑓(𝑦) dan 𝑥 = 𝑔(𝑦) dalam selang 𝑐, 𝑑 ? Prinsipnya sama saja, bedanya Cuma mempertukarkan variabel bebas dan variabel terikat pada fungsi dan integrannya sehingga 𝑑
𝑑
𝑑
Luas = 𝐴 = ∫𝑐 𝑓(𝑦) 𝑑𝑦 − ∫𝑐 𝑔(𝑦) 𝑑𝑦 = ∫𝑐 𝑓 𝑦 − 𝑔(𝑦) 𝑑𝑦
(4.40)
Mudah bukan?
Contoh 1. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva 𝑓 𝑥 = 3𝑥 2 + 10𝑥 dan 𝑔(𝑥) = 𝑥 2 − 8! Jawab: Mula-mula
tentukan
dulu
titik
antara 𝑓(𝑥) = 3𝑥 2 + 10𝑥 dan
potong
𝑔(𝑥) = 𝑥 2 − 8, yaitu titik yang termuat dalam 𝑓 𝑥 maupun 𝑔(𝑥). 𝑓 𝑥 = 𝑔 𝑥 → 3𝑥 2 + 10𝑥 = 𝑥 2 − 8 Diperoleh persamaan 2𝑥 2 + 10𝑥 + 8 = 0 atau bila disederhanakan menjadi 𝑥 2 + 5𝑥 + 4 = 0, yang akar-akarnya 𝑥 = 1 dan 𝑥 = 4. Dengan demikian, batas integrasinya ialah 𝑥 = 1 dan 𝑥 = 4. 4
𝐴= 1 4
4
3𝑥 2 + 10𝑥 − 𝑥 2 − 8 𝑑𝑥
𝑓 𝑥 − 𝑔(𝑥) 𝑑𝑥 = 1
𝑥 3 5𝑥 2 𝑥 + 5𝑥 + 4 𝑑𝑥 = + + 4𝑥 3 2
4
2
𝐴= 1
= 1
464 41 141 − = satuan 6 6 2
2. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva 𝑦 2 = 4𝑥 dan 4𝑥 − 3𝑦 = 4! Jawab: Gambar dari kurvanya ialah sebagai berikut:
106
Perhatikan bentuk daerahnya, ada yang di atas garis x = 0 dan ada yang di bawah garis x = 0. Dengan demikian, kita tidak bisa menghitung luas dengan mengintegralkannya terhadap x, tetapi harus diintegralkan terhadap y. Kita ubah fungsi-fungsi di atas menjadi fungsi x terhadap y, 𝑥 = 𝑓(𝑦) menghasilkan 𝑥1 = 3𝑦 + 4 dan 𝑥2 =
𝑦2 4
.
Cari titik potong: 3𝑦 + 4 𝑦 2 = → 𝑦 2 − 3𝑦 − 4 = 0 4 4 Akar-akar persamaan di atas ialah 𝑦 = −1 dan 𝑦 = 4. Luas daerahnya ialah 4
𝐴= −1
3𝑦 + 4 𝑦 2 1 3𝑦 2 𝑦3 − 𝑑𝑦 = + 4𝑦 − 4 4 4 2 3
4
= −1
125 satuan 24
3. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva 𝑦 = sin 𝑥 dan sumbu-X dalam selang [0,2𝜋]! Jawab: Luas daerah yang dibatasi kurva: 2𝜋
𝐴=
sin 𝑥 𝑑𝑥 = − cos 𝑥
2𝜋 0
0
Jika kita langsung mensubstitusikan batas-batasnya diperoleh: 𝐴 = − cos 2𝜋 − − cos 0 = −1 + 1 = 0 Lho, masa sih luasnya nol? Nah, ini dia perkara dalam menghitung hasil integral fungsi trigonometri (carilah penjelasannya!). Untuk itu perlu diakali dengan mengingat sifat linear dari integral 2𝜋
𝜋/2
∫0 sin 𝑥 𝑑𝑥 = ∫0
𝜋
3𝜋/2
sin 𝑥 𝑑𝑥 + ∫𝜋/2 sin 𝑥 𝑑𝑥 + ∫𝜋
2𝜋
sin 𝑥 𝑑𝑥 + ∫3𝜋/2 sin 𝑥 𝑑𝑥
Diperoleh hasil − cos 𝑥
𝜋/2 0
+ − cos 𝑥
𝜋 𝜋/2
+ − cos 𝑥
3𝜋/2 𝜋
+ − cos 𝑥
2𝜋 3𝜋/2
=1+1+1+1=4
Jadi, luas area yang dibatasi kurva 𝑦 = sin 𝑥 dan sumbu-X dalam selang [0,2𝜋] = 4.
107
8.2.
Volume Benda Putar Integral dapat juga digunakan untuk menghitung volum dari benda putar seperti kerucut, tabung, dan bangun lain yang lebih rumit, selama masih berupakan benda putar. Prinsipnya ialah dengan membagi benda putar tadi menjadi segmen-segmen kecil lalu dijumlahkan. Berdasarkan bentuk segmennya, terdapat dua metode untuk menghitung volume benda putar yaitu metode irisan tabung (pembelahan secara melintang, sering juga disebut metode cincin) dan metode kulit tabung (pembelahan secara radial). Pertama kita akan membahas metode cincin, untuk itu perhatikan gambar berikut.
Gambar 4.3. Menentukan volume benta putar dengan metode cincin.
Jika kurva 𝑦 = 𝑓(𝑥) diputar terhadap sumbu X akan menghasilkan suatu bangun ruang menyerupai tabung. Dengan membagi selang 𝑎, 𝑏 menjadi n segmen yang berjarak sama, yakni ∆𝑥, diperoleh irisan-irisan tabung dengan ketebalan ∆𝑥 dan jejari lingkaran alas 𝑓 𝑤𝑖 , dengan 𝑤𝑖 =
𝑥 𝑖−1 +𝑥 𝑖 2
. Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin kecil pula nilai ∆𝑥
sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati tabung (jejari alas dan tutupnya sama). 108
Menggunakan definisi volum tabung ialah luas lingkaran dikali dengan tingginya diperoleh elemen volum tiap segmen ∆𝑉𝑖 = 𝜋 𝑓 𝑤𝑖
2
∆𝑥
Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah 𝑛 𝑖=1 ∆𝑉𝑖
=
𝑛 𝑖=1 𝜋
𝑓 𝑤𝑖
2
∆𝑥
Jika ∆𝑥 → 0, maka volum bangun itu ialah 𝑉 = 𝜋 lim∆𝑥→0 𝑏
𝑉 = 𝜋 ∫𝑎 𝑓 𝑥
𝑛 𝑖=1 2
𝑓 𝑤𝑖
2
∆𝑥
𝑑𝑥
(4.41)
Dengan cara yang sama, jika kurva diputar terhadap sumbu Y, maka volum benda putar yang terbentuk ialah 𝑏
𝑉 = 𝜋 ∫𝑎 𝑓 𝑦
2
𝑑𝑦
(4.42)
Berikutnya ialah metode kulit tabung. Prinsipnya ialah bangun dibelah secara radial sehingga terbentuk pipa-pipa dengan ketebalan ∆𝑥, jejari 𝑥, dan tinggi = 𝑓(𝑥). Perhatikan gambar pipa di bawah ini.
Gambar 4.4. Menentukan volume benta putar dengan metode kulit tabung.
Volum pipa ialah 𝑉 = 𝜋𝑟22 − 𝜋𝑟12 = 𝜋 𝑟22 − 𝑟12 𝑉 = 𝜋 𝑟2 + 𝑟1 𝑟2 − 𝑟1
109
𝑉 = 2𝜋
𝑟2 +𝑟1 2
𝑟2 − 𝑟1
Rumusan ini dapat ditulis menjadi 𝑉 = 2𝜋𝑟 ∆𝑟
(4.43)
dengan 𝑟 = jejari rata − rata =
𝑟2 +𝑟1 2
dan ∆𝑟 = 𝑟2 − 𝑟1 .
Dengan membagi selang 𝑎, 𝑏 menjadi n segmen yang berjarak sama, yakni ∆𝑥, diperoleh pipa-pipa dengan ketebalan ∆𝑥 dan jejari ratarata 𝑓 𝑤𝑖 , dengan 𝑤𝑖 =
𝑥 𝑖−1 +𝑥 𝑖 2
. Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin
kecil pula nilai ∆𝑥 sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati pipa (ketinggian pada bagian dalam dan luarnya sama). Menggunakan definisi volum pipa seperti pada persamaan 4.43 diperoleh volum tiap segmen ∆𝑉𝑖 = 2𝜋𝑤𝑖 𝑓 𝑤𝑖 ∆𝑥 Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah 𝑛 𝑖=1 ∆𝑉𝑖
=
𝑛 𝑖=1 2𝜋𝑤𝑖 𝑓
𝑤𝑖 ∆𝑥
Jika ∆𝑥 → 0, maka volum bangun itu ialah 𝑉 = 2𝜋 lim∆𝑥→0
𝑛 𝑖=1 𝑤𝑖 𝑓
𝑤𝑖 ∆𝑥
𝑏
𝑉 = 2𝜋 ∫𝑎 𝑥 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥
(4.44)
Untuk pemutaran terhadap sumbu Y juga serupa, akhirnya akan diperoleh 𝑏
𝑉 = 2𝜋 ∫𝑎 𝑦 𝑓(𝑦) 𝑑𝑦 8.3.
(4.45)
Panjang Kurva Bagaimana cara menghitung panjang kurva? Caranya didasari dengan teorema yang sangat klasik, teorema Pythagoras. Dalam “ruang” dua dimensi, rumus Pythagoras mendefinisikan panjang garis lurus yang menghubungkan dua titik. 𝑟2 = 𝑥2 + 𝑦2
(5.46)
di mana r ialah panjang garis lurus, x panjang selisih komponen sumbu X, dan y panjang selisih komponen sumbu Y. Jika garisnya garis lurus, tentu 110
saja nilai yang diperoleh dengan persamaan 5.46 merupakan nilai yang eksak, tapi bagaimana jika kurvanya tidak lurus, melainkan melengkung kesana-kemari? Seperti biasa, kita akan memotong kurva dalam segmensegmen kecil sehingga teorema Pythagoras bisa diterapkan pada segmensegmen tadi karena dalam selang yang sangat kecil, segmen kurva dapat dipandang sebagai garis lurus.
Δs Δy
Δr
Δx
Δx
Gambar 4.5. Panjang kurva dihitung menggunakan dalil Pythagoras.
Panjang setiap segmen ialah ∆𝑠𝑖
2
2
≅ ∆𝑟𝑖
= ∆𝑥𝑖
2
+ ∆𝑦𝑖
2
(4.47)
Makin kecil segmen, maka ∆𝑠𝑖 akan makin mendekati ∆𝑟𝑖 . Jika diambil 𝑦 = 𝑓(𝑥) dan ∆𝑥 seragam, maka ∆𝑦𝑖 = 𝑦𝑖+1 − 𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥 + ∆𝑥 − 𝑓(𝑥). Bila disubstitusikan dalam persamaan 4.47 menghasilkan ∆𝑟𝑖 ∆𝑟𝑖 ∆𝑥
2 2 2
= ∆𝑥
2
+ 𝑓 𝑥 + ∆𝑥 − 𝑓(𝑥)
2
∆𝑥 = ∆𝑥
𝑓 𝑥 + ∆𝑥 − 𝑓(𝑥) + 2 ∆𝑥
2 2
Jika dilakukan pembelahan hingga ∆𝑥 → 0, akan menghasilkan limit yang menjadikan suku ke-dua ruas kanan sebagai turunan 𝑓 𝑥 terhadap 𝑥. ∆𝑟𝑖 lim ∆𝑥→0 ∆𝑥
2 2
∆𝑥 = lim ∆𝑥→0 ∆𝑥
2
𝑓 𝑥 + ∆𝑥 − 𝑓(𝑥) + lim 2 ∆𝑥→0 ∆𝑥
∆𝑟
∆𝑠
2
Akibat dari limit ini, nilai ∆𝑥 menjadi sama dengan ∆𝑥 sehingga 𝑑𝑠 𝑑𝑥
2
𝑑 =1+ 𝑓 𝑥 𝑑𝑥
111
2
Akhirnya diperoleh panjang kurva 𝑦 = 𝑓(𝑥) dengan batas 𝑎, 𝑏 ialah 𝑏
𝑠= 𝑎
𝑑𝑦 1+ 𝑑𝑥
2
𝑑𝑥
Dari persamaan 4,47 dapat diturunkan bentuk diferensialnya yakni: 𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑥 2 + 𝑑𝑦 2
(4.48)
Persamaan 4.48 disebut juga kuadrat elemen garis. Dalam bentuk lain persamaan 4.48 dapat ditulis sebagai 𝑑𝑠 2
=
𝑑𝑡
𝑏
𝑠 = ∫𝑎
𝑑𝑥 2
+
𝑑𝑡 𝑑𝑥 2 𝑑𝑡
+
𝑑𝑦 2 𝑑𝑡 𝑑𝑦 2 𝑑𝑡
𝑑𝑡
(4.49)
Jika persamaan kurvanya adalah 𝑦 = 𝑓(𝑥) dengan batas 𝑎, 𝑏 , suku 𝑑𝑡 𝑑𝑥
di ruas kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan 𝑑𝑥 𝑏
𝑠 = ∫𝑎
𝑏
𝑠 = ∫𝑎
𝑑𝑡 2
𝑑𝑥 2
𝑑𝑥
𝑑𝑡
1+
𝑑𝑦 2 𝑑𝑥
+
𝑑𝑦 2 𝑑𝑡
𝑑𝑡
, diperoleh
𝑑𝑥
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑑𝑥
(4.50)
Diperoleh hasil yang sama dengan sebelumnya. Sebaliknya, jika persamaan kurvanya adalah 𝑥 = 𝑓(𝑦) dengan batas 𝑐, 𝑑 , suku di ruas 𝑑𝑡 𝑑𝑦
kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan 𝑑𝑦 𝑑
𝑠 = ∫𝑐
8.4.
1+
𝑑𝑥 2 𝑑𝑦
𝑑𝑡
𝑑𝑦
, diperoleh (4.51)
Luas Selimut Benda Putar Kita telah mengenal benda putar dan juga mengetahui cara menghitung panjang kurva. Berbekal rumus-rumus yang telah diperoleh, dapat dihitung luas selimut dari benda putar. Pertama-tama bayangkanlah Anda mengiris-iris benda putar tegak lurus sumbu putar (Misalkan benda putar berdasarkan sumbu X) dengan ketebalan yang seragam, yakni ∆𝑥. Dengan demikian, diperoleh tabungtabung pipih dengan tinggi ∆𝑥, lebar ∆𝑟𝑖 dan jejari sekitar 𝑦𝑖 = 𝑓(𝑥𝑖 ). 112
Tentunya untuk kurva yang meliuk-liuk jejari tabungnya tidak seragam, tetapi dengan memilih ∆𝑥 yang sangat kecil maka kesalahan juga dapat dibuat sangat kecil. Dengan menggunakan analogi luas selimut tabung, diperoleh: luas segmen = 2𝜋 × jari − jari × (lebar segmen) luas segmen = 2𝜋 × ∆𝑟𝑖 × 𝑦𝑖 Dimana ∆𝑟𝑖 =
∆𝑥 2 + ∆𝑦𝑖 2 (ingat ∆𝑥 seragam). Dengan mengingat
pembahasan pada bagian 8.3 mengenai panjang kurva, maka diperoleh luas selimut tiap segmen adalah 2𝜋 × ∆𝑥𝑖 2 + ∆𝑦𝑖 2 × 𝑦𝑖 = 2𝜋 × 𝑦𝑖 1 +
∆𝑦𝑖 2 ∆𝑥 ∆𝑥 2
Dengan demikian sehingga luas total selimut benda putar untuk 𝑥 = 𝑎 hingga 𝑥 = 𝑏 adalah 𝑏
𝐴 = 2𝜋 ∫𝑎 𝑦 1 +
𝑑𝑦 2 𝑑𝑥
𝑑𝑥
(4.52)
Problem: Menghitung Luas Permukaan dan Volume Kerucut Terpancung Carilah luas permukaan dan volume dari kerucut terpancung seperti gambar di bawah ini.
Tinggi benda 𝑡 = 8 cm, jari-jari lingkaran alas 𝑅1 = 10 cm dan jari jari lingkaran tutup 𝑅2 = 6 cm.
113
Problem: Toricelli’s Trumpet dan Painter’s Paradox Toricelli’s Trumpet atau Gabriel’s Horn adalah bentuk geometri yang dibentuk dengan memutar kurva y = 1/x dengan batas x = 1 hingga x menuju tak hingga. 1 𝑦 = ; 𝑥 = [1, ∞) 𝑥 Hasil pemutaran itu akan membentuk permukaan dua dimensi dalam dimensi tiga. Dengan menggunakan kalkulus, dapat diperoleh volume dan luas permukaan dari terompet Toricelli. 𝑏
𝑦 2 𝑑𝑥
𝑉=𝜋 𝑎 𝑏
1 1 𝑑𝑥 = 𝜋 − 2 𝑥 𝑥
𝑉=𝜋 1
𝑏
𝐴 = 2𝜋
𝑦 1+ 𝑎 𝑏
1+
1 𝑥4
𝑑𝑦 𝑑𝑥
𝑏
=𝜋 1− 1
1 𝑏
2
𝑑𝑥 𝑏
1 𝑑𝑥 = 2𝜋 ln 𝑏 𝑥 1 1 𝑥 Nah, jika diambil nilai b ∞, diperoleh volume dan luas permukaan dari Terompet Toricelli 1 𝑉 = lim 𝜋 1 − = 𝜋 1−0 =𝜋 𝑏→∞ 𝑏 𝐴 > lim 2𝜋 ln 𝑏 = ∞ 𝐴 = 2𝜋
𝑑𝑥 > 2𝜋
𝑏→∞
Ternyata diperoleh volume dari Terompet Toricelli berhingga, yakni π, tetapi luas permukaannya tak hingga. Lho, kok bisa? Painter’s Paradox Seandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh — mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga. Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya? Cobalah menjelaskannya!
114
Bab 5
Turunan Parsial dan Turunan Berarah
1. Fungsi n Variabel Sebelumnya kita telah mempelajari turunan dan integral dari fungsi satu variabel, yakni 𝑦 = 𝑓(𝑥), 𝑥 = 𝑓(𝑦), dan sebagainya. Nyatanya, dalam kehidupan banyak pula permasalahan tidak hanya melibatkan satu variabel, melainkan lebih. Fungsi yang melibatkan dua variabel disebut fungsi dua variabel, fungsi yang melibatkan tiga variabel disebut fungsi tiga variabel, dan seterusnya. Biasanya fungsi yang memuat lebih dari dua variabel sudah dapat dikatakan fungsi banyak variabel. Seperti halnya fungsi satu variabel, penulisan fungsi dapat diperjelas dengan menuliskan variabel-variabelnya dalam kurung, misal V merupakan fungsi dari x, y, dan z, dapat dituliskan 𝑉 = 𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) atau 𝑉(𝑥, 𝑦, 𝑧). Secara umum dapat dituliskan fungsi n variabel sebagai 𝑢 = 𝑓(𝑥1 , 𝑥2 … , 𝑥𝑛 )
(5.1)
Contoh fungsi banyak variabel misalnya fungsi gelombang yakni 𝑦 𝑥, 𝑡 = 𝐴 sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) Atau misalkan tabung yang direbahkan di bidang datar lalu diisi air, maka fungsi volum terhadap jejari tabung (r), panjang tabung (l), dan ketinggian air (t) ialah 𝑉(𝑟, 𝑙, 𝑡) = 𝑙 ×
2𝜋 − 2 cos −1 2𝜋
𝑡−𝑟 𝑟 𝜋𝑟 2 + (𝑡 − 𝑟)𝑟 sin cos −1 𝑡 − 𝑟 𝑟
Dan beragam fungsi lainnya lagi. Jika digambarkan dalam grafik, fungsi satu variabel dapat digambarkan dalam dua dimensi, yakni satu sumbu untuk variabel dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Untuk fungsi dua variabel butuh ruang tiga dimensi untuk menggambarkannya, yakni dua sumbu untuk variabel dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Demikian seterusnya fungsi n variabel hanya 115
dapat digambarkan dalam n + 1 dimensi. Namun demikian gambar grafik tiga dimensi dapat diproyeksikan agar dapat digambarkan di atas kertas.
Contoh: 1. Gambarkan grafik fungsi 𝑧 = 𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝑥 − 2𝑦 + 3! Jawab: Jika x = 0 dan z = 0, 𝑦 = 1,5 Jika y = 0 dan z = 0, 𝑥 = −3 Jika x = 0 dan y = 0, 𝑧 = 3 Grafiknya dalam proyeksi
2. Gambarkanlah grafik dari fungsi 𝑧 =
4 − 𝑥2 − 𝑦2
Jawab: Fungsi 𝑧 =
4 − 𝑥 2 − 𝑦 2 tidak lain adalah persamaan [permukaan] bola
berjejari 2, 𝑥 2 + 𝑦 2 + 𝑧 2 = 4, sehingga grafiknya seperti berikut ini. 2
2
2
Y
X
116
2. Turunan Parsial 2.1. Definisi Turunan Parsial Dari pembahasan pada subbab 1, diketahui fungsi dua variabel, misalkan 𝑓(𝑥, 𝑦) memiliki dua variabel. Lalu apa makna dari turunannya? bagaimana cara kita menurunkannya? Tentunya karena memiliki dua variabel, ada dua kemungkinan turunannya yakni terhadap x dan terhadap y. Turunan parsial fungsi f terhadap x di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan 𝐷𝑥 didefinisikan sebagai: 𝐷𝑥 𝑓 𝑥, 𝑦 = lim∆𝑥→0
𝑓 𝑥+∆𝑥,𝑦 −𝑓(𝑥,𝑦)
(5.2)
∆𝑥
Apabila limitnya ada. Dengan cara yang sama turunan parsial fungsi f terhadap y di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan 𝐷𝑦 didefinisikan sebagai: 𝐷𝑦 𝑓 𝑥, 𝑦 = lim∆𝑦→0
𝑓 𝑥,𝑦+∆𝑦 −𝑓(𝑥,𝑦)
(5.3)
∆𝑦
Apabila limitnya ada. Selain notasi di atas, beberapa notasi yang sering digunakan untuk menyatakan turunan parsial misal untuk 𝑧 = 𝑓(𝑥, 𝑦) antara lain 𝜕𝑓 𝜕𝑧 = 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑓 𝜕𝑧 𝐷𝑦 𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝜕𝑦 𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝑓,𝑦 𝑥, 𝑦 = = 𝜕𝑦 𝜕𝑦 𝐷𝑥 𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝜕𝑥 𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝑓,𝑥 𝑥, 𝑦 =
Dalam ilmu matematika biasanya lebih banyak digunakan notasi 𝐷𝑥 𝑓 𝑥, 𝑦 dan 𝑓,𝑥 𝑥, 𝑦 yang lebih ringkas, sedangkan dalam fisika dan ilmu terapan lain lebih banyak digunakan notasi Leibniz
𝜕𝑓 𝜕𝑥
atau
𝜕𝑧 𝜕𝑥
yang
penulisannya lebih ribet (sebaiknya tidak digunakan jika tinta pulpen hampir habis) tetapi maknanya lebih kentara apalagi jika sudah berkaitan dengan persamaan diferensial yang rumitnya bikin pusing.
2.2. Turunan Parsial n Variabel Telah diberikan penjelasan pada bagian 2.1. mengenai turunan parsial pada fungsi dua variabel. Tentunya untuk fungsi lebih dari dua variabel (n
117
variabel) dapat dikenakan hal yang sama. Andaikan diberikan fungsi n variabel dari x1, x2, x3, …, xn dengan persamaan 𝑢 = 𝑓(𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , … , 𝑥𝑛 ) Bila turunan-turunan parsialnya ada, turunan-turunan parsialnya diberikan oleh 𝜕𝑢 𝜕𝑥 1
𝜕𝑢
𝜕𝑢
𝜕𝑢
= 𝑓,𝑥1 , 𝜕𝑥 = 𝑓,𝑥2 , 𝜕𝑥 = 𝑓,𝑥3 , … , 𝜕𝑥 = 𝑓,𝑥𝑛 2
3
𝑛
(5.4)
Jadi, untuk fungsi tiga variabel dari x, y, z, yang persamaan fungsinya diberikan oleh 𝑢 = 𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) Maka turunan-turunan parsialnya adalah 𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑢 = 𝑓,𝑥 , = 𝑓,𝑦 , = 𝑓,𝑧 𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑧 Untuk menghitung fungsi turunan parsialnya dapat digunakan metode yang telah dibahas pada bagian 2.1. Misalkan turunan parsial terhadap x yakni 𝑓,𝑥 , maka variabel y dan z dianggap sebagai konstanta. Demikian pula 𝑓,𝑦 dan 𝑓,𝑧 dapat diperoleh dengan cara serupa.
2.3. Turunan Parsial Orde Tinggi Seperti halnya turunan fungsi satu variabel, turunan parsial fungsi n variabel juga dapat diturunkan beberapa kali (turunan orde tinggi). Misalkan fungsi 𝑢 = 𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) dapat diturunkan parsial terhadap x, y, dan z, maka 𝑓,𝑥 , 𝑓,𝑦 dan 𝑓,𝑧 merupakan turunan parsial orde pertama. Bila 𝑓,𝑥 , 𝑓,𝑦 dan 𝑓,𝑧 masih dapat diturunkan lagi (terhadap variabel yang sama atau berbeda), semisal 𝑓,𝑥𝑥 atau 𝑓,𝑦𝑧 , maka 𝑓,𝑥𝑥 dan 𝑓,𝑦𝑧 disebut turunan parsial orde dua. 𝑢,𝑥𝑥 = 𝑓,𝑥𝑥
𝜕 𝜕𝑢 𝜕2𝑢 = = 2 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥
𝑢,𝑦𝑧 = 𝑓,𝑦𝑧 =
118
𝜕 𝜕𝑢 𝜕2𝑢 = 𝜕𝑧 𝜕𝑦 𝜕𝑦𝜕𝑧
𝑢,𝑥𝑦𝑧 = 𝑓,𝑥𝑦𝑧
𝜕 𝜕 𝜕𝑢 = 𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝜕𝑦
𝜕3𝑢 = 𝜕𝑥𝜕𝑦𝜕𝑧
dan seterusnya… Proses demikian tidak lain merupakan proses menurunkan fungsi secara parsial berturut-turut terhadap variabel-variabel yang dimaksud.
3. Aturan Rantai Fungsi Implisit 3.1. Aturan Rantai I Kita telah membahas aturan rantai pada bab 3, yakni pada bagian turunan fungsi komposisi satu variabel. Jika fungsi z merupakan fungsi dua 𝜕𝑧
𝜕𝑧
variabel, 𝑧 = 𝑓(𝑥, 𝑦) yang mempunyai turunan parsial 𝜕𝑥 dan 𝜕𝑥 , di mana x dan y sendiri dapat dinyatakan sebagai fungsi satu variabel 𝑥 = 𝑥(𝑡) dan 𝑦 = 𝑦(𝑡) maka 𝑧 = 𝐹(𝑡) dapat didiferensialkan terhadap t, yang diberikan oleh 𝑑𝑧 𝑑𝑡
𝜕𝑧 𝑑𝑥
= 𝜕𝑥
𝑑𝑡
𝜕𝑧 𝑑𝑦
+ 𝜕𝑦
(5.5)
𝑑𝑡
Mengingat x dan y sama-sama merupakan fungsi dari t, maka biasanya aturan rantai ini dapat dituliskan menjadi 𝜕𝑧
𝜕𝑧
𝑑𝑧 = 𝜕𝑥 𝑑𝑥 + 𝜕𝑦 𝑑𝑦
(5.6)
Aturan rantai jenis pertama ini berlaku pula untuk z fungsi lebih dari dua variabel.
3.2. Aturan Rantai II Pada bagian 3.1. telah dielaskan aturan rantai bila sub-fungsi dari fungsi n-variabel (dalam kasus sebelumnya ialah fungsi x(t) dan y(t)) merupakan fungsi satu variabel. Bagaimana bila sub-fungsinya juga memiliki lebih dari satu variabel? Andaikan fungsi fungsi z merupakan 𝜕𝑧
𝜕𝑧
fungsi dua variabel, 𝑧 = 𝑓(𝑥, 𝑦) mempunyai turunan parsial 𝜕𝑥 dan 𝜕𝑥 , di mana x dan y sendiri merupakan fungsi dua variabel 𝑥 = 𝑥(𝑟, 𝑡) dan 119
𝑦 = 𝑦(𝑟, 𝑡) yang juga memiliki turunan parsial pertama di (r,t), maka 𝑧 = 𝐹(𝑟, 𝑡) dapat didiferensialkan secara parsial terhadap r dan t yang diberikan oleh 𝜕𝑧 𝜕𝑟 𝜕𝑧 𝜕𝑡
𝜕𝑧 𝜕𝑥
𝜕𝑧 𝜕𝑦
= 𝜕𝑥 𝜕𝑟 + 𝜕𝑦 𝜕𝑧 𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
𝜕𝑡
(5.7)
𝜕𝑟
𝜕𝑧 𝜕𝑦
+ 𝜕𝑦
(5.8)
𝜕𝑡
Rumus aturan rantai ke-dua di atas juga dapat dikembangkan untuk fungsi n variabel, di mana masing-masing variabel bebasnya (sub-fungsi) juga merupakan fungsi m variabel.
3.3. Aturan Rantai pada Fungsi Implisit Telah dibahas pada bab 3, fungsi implisit merupakan fungsi yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk 𝑦 = 𝑓(𝑥) dan di sini akan diperjelas. Dari bentuknya, fungsi implisit satu variabel (misal y fungsi dari x) dapat dipandang sebagai fungsi dua variabel dalam bentuk 𝐹 𝑥, 𝑦 = 0. Ambillah fungsi implisit 𝑥𝑦 3 + 𝑥 2 = 4𝑦 , dapat kita bentuk 𝐹 𝑥, 𝑦 = 0 sebagai 𝑥𝑦 3 + 𝑥 2 − 4𝑦 = 0. Dengan demikian dapat digunakan aturan rantai jenis pertama 𝜕𝐹 𝑑𝑥 𝜕𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝐹 𝑑𝑦
+ 𝜕𝑦 𝑑𝑥 =
𝑑 0
(5.9)
𝑑𝑥
𝑑𝑥
Mengingat 𝑑𝑥 = 1, maka dihasilkan rumus: 𝑑𝑦 𝑑𝑥
𝜕𝐹 /𝜕𝑥
= − 𝜕𝐹 /𝜕𝑦
(5.10)
Atau bila dianggap x fungsi dari y dihasilkan rumus: 𝑑𝑥 𝑑𝑦
𝜕𝐹 /𝜕𝑦
= − 𝜕𝐹 /𝜕𝑥
(5.11)
Contoh: 1. Diketahui 𝑢 = 𝑥 2 𝑦 + 𝑦 2 𝑧 − 𝑧 2 𝑥, dengan 𝑥 = 𝑡, 𝑦 = 𝑡 2 , dan 𝑧 = 𝑡 3 . Tentukanlah 𝑑𝑢 𝑑𝑡
sebagai fungsi t!
Jawab: Setelah dicari, diperoleh: 120
𝜕𝑢 𝜕𝑟 𝑑𝑥 𝑑𝑡
𝜕𝑢
𝜕𝑢
= 2𝑥𝑦 − 𝑧 2 , 𝜕𝑦 = 𝑥 2 + 2𝑦𝑧, 𝜕𝑧 = 𝑦 2 + 2𝑥𝑧 𝑑𝑦
𝑑𝑧
= 1, 𝑑𝑡 = 2𝑡, 𝑑𝑡 = 3𝑡 2
Dengan menerapkan aturan rantai pertama dihasilkan 𝑑𝑢 𝑑𝑡
𝜕𝑢 𝑑𝑥
= 𝜕𝑥
𝑑𝑡
𝜕𝑢 𝑑𝑦
+ 𝜕𝑦
𝑑𝑡
𝜕𝑢 𝑑𝑧
+ 𝜕𝑧
= 2 𝑡 𝑡2 − 𝑡3
𝑑𝑡
2
1 + 𝑡2 + 2 𝑡2 𝑡3
2𝑡 + (𝑡 2 )2 + 2 𝑡 𝑡 3
3𝑡
2
= 2𝑡 3 − 𝑡 6 + 2𝑡 3 + 4𝑡 6 + 3𝑡 6 − 6𝑡 6 = 4𝑡 3 2. Jarak antara dua titik di bidang datar 2 dimensi (𝑅 2 ) diberikan oleh rumus Pythagoras, 𝑟 2 = 𝑥 2 + 𝑦 2 , sehingga elemen garis dalam koordinat kartesian mengambil bentuk 𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑥 2 + 𝑑𝑦 2 . Carilah persamaan elemen garis dalam koordinat polar! Jawab: Jika dilakukan transformasi koordinat kartesian (x,y) ke dalam koordinat polar (r,θ), diperoleh kaitan: 𝑥 = 𝑟 cos 𝜃 𝑦 = 𝑟 sin 𝜃 Dengan menggunakan aturan rantai I 2
2
2
𝜕𝑥 𝜕𝑟
2
𝑑𝑠 = 𝑑𝑥 + 𝑑𝑦 = 𝑑𝑠 =
2
𝜕𝑦 + 𝜕𝑟
𝜕𝑥 𝜕𝑟
2
2
𝜕𝑥 𝑑𝑟 + 𝜕𝜃 2
2 2
𝑑𝑟 +
𝜕𝑥 𝜕𝜃
Dengan mudah didapatkan nilai
2
𝑑𝜃
2
𝜕𝑦 + 𝜕𝜃
𝜕𝑥 𝜕𝑟
+
𝜕𝑦 𝜕𝑟
2
𝜕𝑦 𝑑𝑟 + 𝜕𝜃 2
2
𝑑𝜃 2
2
= cos 𝜃 ,
𝑑𝜃 2 𝜕𝑥 𝜕𝜃
= −𝑟 sin 𝜃 ,
𝜕𝑦 𝜕𝑟
= sin 𝜃 ,
𝜕𝑥 𝜕𝜃
=
𝑟 cos 𝜃. Bila disubstitusi pada persamaan di atas diperoleh 𝑑𝑠 2 = cos2 𝜃 + sin2 𝜃 𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 sin2 𝜃 + 𝑟 2 cos 2 𝜃 𝑑𝜃 2 Mengingat relasi trigonometri cos2 𝜃 + sin2 𝜃 = 1, maka elemen garis dalam koordinat polar dua dimensi ialah 𝑑𝑠 2 = 𝑑𝑟 2 + 𝑟 2 𝑑𝜃 2
121
𝜕𝑢
𝜕𝑢
3. Diketahui 𝑢 = ln 𝑥 2 + 𝑦 2 , dengan 𝑥 = 𝑟𝑒 𝑡 dan 𝑦 = 𝑟𝑒 −𝑡 . Tentukanlah 𝜕𝑟 dan 𝜕𝑡 ! Jawab: 𝜕𝑢
𝑥
𝜕𝑢
𝑦
Diperoleh 𝜕𝑥 = 𝑥 2 +𝑦 2 dan 𝜕𝑦 = 𝑥 2 +𝑦 2 , serta 𝜕𝑥 𝜕𝑟
𝜕𝑥
𝜕𝑦
𝜕𝑥
= 𝑒 𝑡 , 𝜕𝑡 = 𝑟𝑒 𝑡 , 𝜕𝑟 = 𝑒 −𝑡 , dan 𝜕𝑡 = −𝑟𝑒 −𝑡
Mengingat aturan rantai II 𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑥 𝜕𝑢 𝜕𝑦 = + 𝜕𝑟 𝜕𝑥 𝜕𝑟 𝜕𝑦 𝜕𝑟 𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑥 𝜕𝑢 𝜕𝑦 = + 𝜕𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑡 𝜕𝑦 𝜕𝑡 diperoleh: 𝜕𝑢 𝑥 𝑦 𝑥𝑒 𝑡 + 𝑦𝑒 −𝑡 𝑡 𝑡 −𝑡 = 2 𝑒 + 𝑒 = 𝑒 𝜕𝑟 𝑥 + 𝑦 2 𝑥2 + 𝑦2 𝑥2 + 𝑦2 𝜕𝑢 𝑥 𝑦 𝑟 𝑥𝑒 𝑡 − 𝑦𝑒 −𝑡 𝑡 𝑡 −𝑡 = 𝑟𝑒 + 2 (−𝑟𝑒 ) = 𝑒 𝜕𝑡 𝑥 2 + 𝑦 2 𝑥 + 𝑦2 𝑥2 + 𝑦2 4. Misalkan fungsi 𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = 𝑥 2 𝑒 𝑦 +𝑧 − 𝑦 cos(𝑥 − 𝑧) = 0 mendefinisikan z secara 𝜕𝑧
𝜕𝑧
implisit sebagai fungsi x dan y. Tentukanlah 𝜕𝑥 dan 𝜕𝑦 ! Jawab: Pandang 𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 sebagai 𝐹(𝑥, 𝑦). 𝜕𝑧 𝜕𝐹/𝜕𝑥 2𝑥𝑒 𝑦+𝑧 + 𝑦 sin(𝑥 − 𝑧) =− = 𝜕𝑥 𝜕𝐹/𝜕𝑧 𝑥 2 𝑒 𝑦 +𝑧 − 𝑦 sin(𝑥 − 𝑧) 𝜕𝑧 𝜕𝐹/𝜕𝑦 𝑥 2 𝑒 𝑦 +𝑧 − cos(𝑥 − 𝑧) =− = 2 𝑦+𝑧 𝜕𝑦 𝜕𝐹/𝜕𝑧 𝑥 𝑒 − 𝑦 sin(𝑥 − 𝑧)
122
Kasus: Mencari Lokasi Harta Karun Pada suatu hari, Ambo menemukan amplop berisi kertas tua di lemari peninggalan kakeknya. Ternyata kertas itu berisikan petunjuk mengenai harta karun! Tetapi pada kertas itu hanya tertera deretan angka sebagai berikut.
Setelah meneliti sejenak, Ambo menemukan di bagian dalam amplop tertulis simbol-simbol aneh bin nggak jelas seperti berikut: 𝑢 = 𝜕𝑥 𝑦 3 + 2𝑥 ;
𝑢 𝑑𝑥 ⟹ 2 = 7
Tolong bantulah Ambo memecahkan misteri ini untuk menemukan lokasi harta karun. Ia mungkin akan membagi hartanya denganmu!
4. Diferensial Total dan Hampiran Andaikan 𝑢 = 𝑓(𝑥, 𝑦) adalah fungsi yang dapat dideferensialkan di (𝑥, 𝑦), dan andaikan pula dx dan dy adalah variabel yang menyatakan perubahan nilai variabel bebas x dan y. Diferensial total dari variabel terikat u ditulis du didefinisikan sebagai 𝜕𝑢
𝜕𝑢
𝑑𝑢 = 𝜕𝑥 𝑑𝑥 + 𝜕𝑦 𝑑𝑦
(5.12)
Sekarang kita akan berbicara tentang perubahan nilai fungsi (misal untuk fungsi dua peubah) bila variabel x dan y mengalami perubahan masing-masing sebesar ∆𝑥 dan ∆𝑦. Dengan demikian, perubahan nilai u yang bersesuaian dengan perubahan nilai ∆𝑥 dan ∆𝑦 tadi ialah ∆𝑢 = ∆𝑓(𝑥0 , 𝑦0 ) = 𝑓 𝑥0 + ∆𝑥, 𝑦0 + ∆𝑦 − 𝑓 𝑥0 , 𝑦0
(5.13)
Nah, di sini akan ditunjukkan hubungan antara perubahan nilai fungsi dengan diferensial total fungsi itu. Bila ∆𝑥 dan ∆𝑦 cukup kecil, maka dipenuhi hubungan 𝑢 𝑥 + ∆𝑥, 𝑦 + 𝑢 𝑥, 𝑦 + ∆𝑦 ≅ 𝑢 𝑥 + ∆𝑥, 𝑦 + ∆𝑦 + 𝑢 𝑥, 𝑦 123
(5.14.a)
Hal ini dengan mudah dibuktikan kebenarannya bila kita menggunakan fungsi polinomial, semisal 𝑢 = 𝑎𝑥 𝑚 + 𝑏𝑦 𝑛 . Mengingat untuk 𝛼 ≪, (𝛼 + 𝛽)𝑚 ≈ 𝛼 𝑚 + 𝛽 𝑚 . Persamaan 5.14.a di atas dapat kita ubah bentuknya menjadi 𝑢 𝑥 + ∆𝑥, 𝑦 + ∆𝑦 − 𝑢 𝑥, 𝑦 ≅ 𝑢 𝑥 + ∆𝑥, 𝑦 − 𝑢 𝑥, 𝑦 + 𝑢 𝑥, 𝑦 + ∆𝑦 − 𝑢 𝑥, 𝑦 ∆𝑢 ≅
𝑢 𝑥 +∆𝑥,𝑦 −𝑢 𝑥,𝑦 ∆𝑥 𝜕𝑢
∆𝑥 +
𝑢 𝑥,𝑦+∆𝑦 −𝑢 𝑥,𝑦 ∆𝑦
∆𝑦
𝜕𝑢
∆𝑢 ≅ 𝜕𝑥 ∆𝑥 + 𝜕𝑦 ∆𝑦
(5.14.b)
Dapat disaksikan bahwa perubahan nilai fungsi ∆𝑢 bisa didekati menggunakan diferensial total selama perubahan nilai variabel-variabel bebasnya (dalam hal ini ∆𝑥 dan ∆𝑦) cukup kecil, sehingga dapat didekati dengan dx dan dy (Ingatlah kembali definisi turunan, yaitu perubahan nilai fungsi dalam selang ∆𝑥, ∆𝑦 → 0). 𝑑𝑢 ≈ ∆𝑓(𝑥0 , 𝑦0 ) ≈
𝜕𝑓(𝑥0 , 𝑦0 ) 𝜕𝑓(𝑥0 , 𝑦0 ) ∆𝑥 + ∆𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑦
Seandainya ∆𝑥 dan ∆𝑦 cukup kecil, maka nilai ini dapat menggantikan 𝑑𝑥 dan 𝑑𝑦 dengan hasil yang cukup mendekati. Untuk memahami diferensial total sebagai hampiran lebih jauh, mari perhatikan contoh berikut. Misalkan 𝑧 = 𝑓 𝑥, 𝑦 = 2𝑥 3 − 𝑥𝑦 2 + 3𝑦. Hitunglah ∆𝑧 dan dz bila 𝑥, 𝑦 berubah dari (2,3) ke (2,01, 3,02). ∆𝑧 = 𝑓 𝑥0 + ∆𝑥, 𝑦0 + ∆𝑦 − 𝑓 𝑥0 , 𝑦0 = 𝑓 2,01, 3,02 − 𝑓 2, 3 3
= 2 2,01
− 2,01 3,02
2
+ 3(3,02) − 2 2
3
− 2 3
2
+ 3(3)
= −0,030802 Jika kita turunkan z secara parsial diperoleh 𝜕𝑧 𝜕𝑦
𝜕𝑧 𝜕𝑥
= 6𝑥 2 − 𝑦 2 dan
= −2𝑥𝑦 + 3, sehingga 𝜕𝑧
𝜕𝑧
𝑑𝑧 ≈ 𝜕𝑥 ∆𝑥 + 𝜕𝑦 ∆𝑦 = 6 2
2
− 3
2
(0,01) + −2 2 3 + 3 (0,02)
≈ −0,03 Diperoleh bahwa 𝑑𝑧 merupakan hampiran yang cukup baik untuk ∆𝑧. Camkanlah sekali lagi perhitungan hampiran ini hanya berguna untuk perubahan nilai yang kecil. Semakin besar perubahannya, semakin besar pula galat yang diperoleh. 124
Contoh: 1. Seandainya Anda perlu mengetahui nilai
4,5 dan 26, tetapi Anda lupa
membawa kalkulator (atau mungkin tidak tahu cara menggunakan kalkulator ilmiah). Bagaimanakah cara untuk mendapatkan hampiran nilai 4,5 dan 26? Jawab: 1
Kita dapat menuliskan persamaannya sebagai 𝑦 = 𝑥 = 𝑥 2 . Bila dipandang x berubah dari 4 ke 4,5 (dx = 0,5) maka y berubah dari 4 ke 4 + 𝑑𝑦 (4 dan 25 kita pilih sebagai x0 karena telah diketahui dengan pasti akarnya). 𝑑𝑦 𝑑𝑥
1
1
= 2 𝑥 −2 atau 𝑑𝑦 = 2
𝑑𝑦 = 2
1
1 𝑥
𝑑𝑥.
1
0,5 = 8
4
Jadi 4,5 ≈ 4 + 𝑑𝑦 = 2,125 Dengan cara yang serupa diperoleh 26 ≈ 25 + 2
1 25
1 = 5,1
Jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari kalkulator, 4,5 = 2,1213 … dan 26 = 5,0990 … . Perhatikan rumus hampiran 𝑥 + 2
1 𝑥
∆𝑥 merupakan dua suku pertama dari
ekspansi binomial 𝑥 + ∆𝑥. 𝑥 + ∆𝑥
1 2
1 2
1
1 2
−
= 𝑥 + 2 𝑥 ∆𝑥 +
1 2
1 2
− 2!
3
𝑥 −2 ∆𝑥
2
+⋯
Well, banyak jalan menuju Roma…
2. Acok ditugaskan oleh guru matematikanya membuat balok dari karton dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm. Jika penggaris yang digunakan Acok untuk mengukur memiliki nilai skala terkecil 1 mm, hitunglah volume balok yang dibuat Acok dan kesalahan terbesar yang mungkin. Jangan lupa laporkan pada pak satpam penulisan ilmiah dari hasil pengukuran Anda. Jawab:
125
Volume balok dapat dinyatakan dalam fungsi tiga variabel 𝑉 = 𝑥𝑦𝑧. Dengan demikian, volume balok (tanpa galat) adalah 𝑉 = 20 15 10 = 3000 cm3 . Kesalahan pengukuran volume terjadi karena kesalahan pengukuran panjang, lebar, dan tinggi, yakni lebih kurang setengah dari nilai skala terkecil ∆𝑥 , ∆𝑦 , ∆𝑧 ≤ 0,5 mm. Kesalahan pengukuran maksimumnya ialah: 𝜕𝑉
𝜕𝑉
𝜕𝑉
𝑑𝑢 ≈ 𝜕𝑥 ∆𝑥 + 𝜕𝑦 ∆𝑦 + 𝜕𝑧 ∆𝑧 = 𝑦𝑧 ∆𝑥 + 𝑥𝑧 ∆𝑦 + 𝑥𝑦 ∆𝑧 𝑑𝑢 ≈ 15 10 0,05 + 20 10 0,05 + 20 15 0,05 = 32,5 cm3 32,5
Kesalahan relatifnya ialah ± 3000 = ±1,08% . Dengan demikian, dapat kita laporkan pada pak satpam volume balok tadi ialah 𝑉 = 3000 ± 32,5 cm3 .
Problem: Ketidakpastian pengukuran Hitung ketidakpastian maksimum hambatan total dari dua resistor yang disusun paralel, di mana 𝑅1 = 100 Ω dan 𝑅1 = 200 Ω, dengan toleransi kedua resistor masing-masing 5%. Petunjuk: Rumus hambatan total untuk rangkaian resistor yang disusun paralel adalah 1 1 1 1 = + + ⋯ + 𝑅 𝑅 𝑅 𝑅 1
2
𝑛
5. Gradien dan Turunan Berarah 5.1. Gradien Misalkan 𝑓(𝑥, 𝑦) adalah fungsi dua variabel 𝑥 dan 𝑦, dan mempunyai turunan-turunan parsial 𝑓,𝑥 (𝑥, 𝑦) dan 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦) , maka gradien 𝑓
yang
dinyatakan dengan ∇𝑓(𝑥, 𝑦) = grad 𝑓 (baca: del 𝑓) didefinisikan sebagai berikut ∇𝑓 𝑥, 𝑦 = 𝑓𝑥 𝑥, 𝑦 𝐢 + 𝑓𝑦 𝑥, 𝑦 𝐣 Dimana 𝐢 = <1,0> dan 𝐣 = <0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan yang searah sumbu 𝑥 dan sumbu 𝑦. 126
Demikian pula dengan fungsi tiga variabel, misalkan 𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) adalah fungsi tiga variabel dari 𝑥, 𝑦, dan 𝑧, dan mempunyai turunan-turunan parsial 𝑓,𝑥 (𝑥, 𝑦, 𝑧) , 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦, 𝑧) , dan 𝑓,𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧) , maka gradien 𝑓
yang
dinyatakan dengan ∇𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) = grad 𝑓 didefinisikan sebagai berikut ∇𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = 𝑓𝑥 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝐢 + 𝑓𝑦 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝐣 + 𝑓𝑧 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝐤 Dimana 𝐢 = <1,0,0>, 𝐣 = <0,1,0>, dan 𝐤 = <0,0,1> masing-masing menyatakan vektor satuan yang searah sumbu 𝑥, sumbu 𝑦, dan sumbu 𝑧. Dengan notasi diferensial 𝜕
𝜕
𝜕
∇= 𝜕𝑥 𝐢 + 𝜕𝑦 𝐣 + 𝜕𝑧 𝐤 Gradien 𝑓 menjadi ∇𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = ∇ • 𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝜕𝑓
𝜕𝑓
𝜕𝑓
∇𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = 𝜕𝑥 𝐢 + 𝜕𝑦 𝐣 + 𝜕𝑧 𝐤
(5.15)
Contoh: 1. Jika 𝑓 𝑥, 𝑦 = 3𝑥 2 𝑦 + 2𝑥𝑦 3 , hitunglah gradien 𝑓 di titik (-1,2) Jawab: Dari 𝑓 𝑥, 𝑦 = 3𝑥 2 𝑦 + 2𝑥𝑦 3 , diperoleh: 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦) = 3𝑥2 + 4𝑥𝑦2
𝑓,𝑥 (𝑥, 𝑦) = 6𝑥𝑦 + 6𝑦2
Menurut definisi gradien 𝑓 di sembarang titik diberikan oleh ∇𝑓 𝑥, 𝑦 = 6𝑥𝑦 + 6𝑦 2 𝐢 + 3𝑥 2 + 4𝑥𝑦 2 𝐣 Sehingga gradien 𝑓 di titik (-1,2) diberikan oleh ∇𝑓 −1,2 = 6 −1 2 + 6(2)2 𝐢 + 3(−1)2 + 4(−1)(2)2 𝐣 = 12𝐢 − 13𝐣
5.2. Turunan Berarah Misalkan 𝑥 dan 𝑦 adalah fungsi dua variabel dari 𝑥 dan 𝑦 , dan mempunyai turunan parsial 𝑓,𝑥 (𝑥, 𝑦) dan 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦). Misalkan pula 𝑃(𝑥, 𝑦) titik di 𝑅 2 , dan 𝒖 = 𝑢1 𝐢 + 𝑢2 𝐣 adalah sebuah vektor satuan. Maka turunan berarah 𝑓 di
titik 𝑃(𝑥, 𝑦) dalam
didefinisikan oleh 127
arah
vektor 𝒖 ditulis 𝐷𝑢 𝑓(𝑥, 𝑦)
𝐷𝑢 𝑓(𝑥, 𝑦) = 𝒖 • ∇𝑓 𝑥, 𝑦 = (𝑢1 𝐢 + 𝑢2 𝐣) • (𝑓,𝑥 𝑥, 𝑦 𝐢 + 𝑓,𝑦 𝑥, 𝑦 𝐣 = 𝑢1 𝑓,𝑥 𝑥, 𝑦 + 𝑢2 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦) Misalkan 𝑥, 𝑦 dan 𝑧 adalah fungsi tiga variabel dari 𝑥, 𝑦 dan 𝑧, dan mempunyai turunan parsial 𝑓,𝑥 (𝑥, 𝑦, 𝑧), 𝑓,𝑦 (𝑥, 𝑦, 𝑧) dan𝑓,𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧). Misalkan pula 𝑃(𝑥, 𝑦, 𝑧) titik di 𝑅3 , dan 𝒖 = 𝑢1 𝐢 + 𝑢2 𝐣 + 𝑢3 𝐤 adalah sebuah vektor satuan. Maka turunan berarah 𝑓 di titik 𝑃(𝑥, 𝑦, 𝑧) dalam arah vektor 𝒖 ditulis 𝐷𝑢 𝑓(𝑥, 𝑦, 𝑧) didefinisikan oleh 𝐷𝑢 𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = 𝒖 • ∇𝑓 𝑥, 𝑦, 𝑧 = (𝑢1 𝐢 + 𝑢2 𝐣 + 𝑢3 𝐤) • (𝑓,𝑥 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝐢 + 𝑓,𝑦 𝑥, 𝑦, 𝑧 𝐣 + 𝑓,𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧)𝐤) = 𝑢1 𝑓𝑥 𝑥, 𝑦, 𝑧 + 𝑢2 𝑓𝑦 𝑥, 𝑦, 𝑧 + 𝑢3 𝑓𝑧 (𝑥, 𝑦, 𝑧)
128
Bab 6
Aplikasi Turunan dan Integral
1. Aplikasi Turunan Beberapa contoh aplikasi turunan ialah untuk menghitung kecepatan dan percepatan sesaat, limit fungsi yang menghasilkan bentuk tak tentu, masalahmasalah ekstremum dan lain-lain.
1.1. Kecepatan dan Percepatan Sesaat Misalkan bahwa benda 𝑃 bergerak sepanjang lintasan yang berbentuk garis lurus. Gerak benda demikian disebut sebagai gerak lurus. Ketika 𝑡 detik, benda 𝑃 menempuh panjang lintasan (juga disebut jarak) 𝑠 meter terhadap titik asal 𝑶. Panjang lintasan 𝑠 dapat dinyatakan dalam fungsi waktu 𝑡 sebagai 𝑠 = 𝑓(𝑡), seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini. 𝑠 = 𝑓(𝑡)
𝑶 Titik acuan
𝑡 detik
𝑡=0
Gambar 6.1.
Penting untuk diketahui bahwa meskipun benda bergerak sepanjang lintasan garis lurus tetapi 𝑠 = 𝑓(𝑡) tidaklah harus berbentuk linear. Misalkan pada waktu t detik, benda P berada pada 𝑓(𝑡). Setelah ∆𝑡 detik kemudian, yaitu pada (𝑡 + ∆𝑡) detik, benda P berada pada 𝑓(𝑡 + ∆𝑡). Dengan adanya pertambahan waktu sebesar ∆𝑡 akan mengakibatkan pertambahan panjang lintasan sebesar ∆𝑠, dan pertambahan panjang 129
lintasan itu ditentukan oleh ∆𝑠 = 𝑓(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑓(𝑡) . Masalah ini dapat divisualisasikan melalui gambar berikut ini. Pertambahan panjang lintasan ∆𝑠 = 𝑓(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑓(𝑡)
Pertambahan waktu ∆𝑡 𝑡
(𝑡 + ∆𝑡)
Gambar 6.2.
Kecepatan Kecepatan rata-rata gerak benda P dalam interval waktu ∆𝑡 detik ditentukan oleh Δ𝑠 𝑓(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑓(𝑡) = Δ𝑡 ∆𝑡 Kecepatan sesaat gerak benda P pada waktu t detik diperoleh dari proses pelimitan kecepatan rata-rata ketika ∆𝑡 mendekati nilai nol. Dengan demikian, kecepatan sesaat itu ditentukan dengan proses limit sebagai Δ𝑠 𝑓(𝑡 + ∆𝑡) − 𝑓(𝑡) 𝑑𝑠 𝑑𝑓 = lim = = ∆𝑡→0 Δ𝑡 ∆𝑡→0 ∆𝑡 𝑑𝑡 𝑑𝑡 lim
Kecepatan gerak dari suatu benda biasanya dilambangkan dengan 𝑣(𝑡) dalam satuan m/detik, sehingga hubungan antara panjang lintasan dan kecepatan dapat dituliskan sebagai berikut.
𝒗 𝑡 =
𝑑𝑠
(6.1)
𝑑𝑡
Hubungan di atas menunjukkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah benda merupakan turunan pertama dari panjang lintasan 𝒔 terhadap waktu 𝒕. Dengan perkataan lain, kecepatan sesaat adalah laju perubahan panjang lintasan 𝑠 terhadap waktu 𝑡. Besar atau nilai skalar dari kecepatan
130
pada waktu t detik disebut laju dan laju dideefinisikan sebagai nilai mutlak kecepatan. Jadi, Laju pada waktu 𝑡 = 𝑣(𝑡) =
𝑑𝑠 𝑑𝑡
Berdasarkan teorema fungsi naik, fungsi turun, dan fungsi stasioner, tingkah laku lintasan 𝑠 (bertambah, berkurang, atau tetap) dapat diamati dengan memeriksa tanda-tanda dari 𝑣(𝑡) (positif, negatif, atau nol) dalam suatu interval waktu tertentu. Hubungan tingkah laku s dengan 𝑣(𝑡) dapat diungkapkan sebagai berikut. Misalkan panjang lintasan 𝑠 sebagai fungsi waktu 𝑡 ditentukan oleh 𝑑𝑠
𝑠 = 𝑓(𝑡) dalam interval waktu t dan 𝑣 𝑡 = 𝑑𝑡 ada untuk setiap nilai 𝑡 dalam interval itu. 𝑑𝑠
1. Jika 𝑣 𝑡 = 𝑑𝑡 > 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑠 naik pada interval 𝑻 Arti fisis dari 𝑠 naik adalah benda bergerak dengan bergerak dengan nilai panjang lintasan s yang semakin bertambah. 𝑑𝑠
2. Jika 𝑣 𝑡 = 𝑑𝑡 < 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑠 turun pada interval 𝑻 Arti fisis dari 𝑠 turun adalah benda bergerak dengan bergerak dengan nilai panjang lintasan s yang semakin berkurang. 𝑑𝑠
3. Jika 𝑣 𝑡 = 𝑑𝑡 = 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑠 stasioner pada interval 𝑻 Arti fisis dari 𝑠 stasioner adalah benda tidak bergerak atau diam sesaat.
Percepatan Misalkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah benda juga merupakan fungsi waktu atau 𝑣(𝑡) berubah terhadap 𝑡. Laju perubahan kecepatan terhadap waktu disebut percepatan dari gerak benda tersebut. Percepatan pada waktu 𝑡 detik biasanya dilambangkan dengan 𝑎(𝑡) dengan satuan m/detik2. Dengan demikian, hubungan antara percepatan dengan kecepatan dan percepatan dengan panjang lintasan dapat ditentukan sebagai berikut.
131
𝑎=
𝑑𝑣 𝑑𝑡
=
𝑑
𝑑𝑠
𝑑𝑡
𝑑𝑡
=
𝑑 2𝑠
(6.2)
𝑑𝑡 2
Hubungan di atas menunjukkan bahwa percepatan gerak benda merupakan turunan pertama dari kecepatan 𝒗 terhadap waktu 𝒕 atau turunan kedua dari panjang lintasan 𝒔 terhadap waktu t. Dengan menggunakan pemikiran yang sama seperti halnya dalam hubungan tingkah laku 𝑠 dengan 𝑣(𝑡), hubungan tingkah laku kecepatan 𝑣 dengan percepatan 𝑎(𝑡) dapat diungkapkan sebagai berikut. Misalkan kecepatan 𝑣 sebagai fungsi waktu 𝑡 ditentukan oleh 𝑣 = 𝑣(𝑡) dalam interval waktu 𝑇 dan 𝑎 𝑡 =
𝑑𝑣 𝑑𝑡
ada untuk setiap nilai 𝑡 dalam
interval itu. 1. Jika 𝑎 𝑡 =
𝑑𝑣 𝑑𝑡
> 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑣 naik dalam interval 𝑻
Arti fisis 𝑣 naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan 𝑣 yang semakin bertambah atau benda bergerak dipercepat. 2. Jika 𝑎 𝑡 =
𝑑𝑣 𝑑𝑡
< 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑣 turun dalam interval 𝑻
Arti fisis 𝑣 naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan 𝑣 yang semakin berkurang atau benda bergerak diperlambat. 3. Jika 𝑎 𝑡 =
𝑑𝑣 𝑑𝑡
− 0 untuk 𝑡 ∈ 𝑇, maka 𝑣 stasioner dalam interval 𝑻
Arti fisis 𝑣 naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan 𝑣 yang tetap atau benda bergerak tidak dipercepat maupun diperlambat. Selanjutnya, tingkah laku laju benda 𝑣 dapat ditentukan dengan mengamati tanda-tanda dari 𝑣 dan 𝑎 secara bersamaan sebagai berikut. 1. Jika 𝑣 dan 𝑎 bertanda sama (𝑣 < 0 dan 𝑎 < 0 atau 𝑣 > 0 dan𝑎 > 0), maka laju benda 𝑣 naik atau bertambah. 2. Jika 𝑣 dan 𝑎 berlainan tanda (𝑣 < 0 dan 𝑎 > 0 atau 𝑣 > 0 dan𝑎 < 0), maka laju benda 𝑣 turun atau berkurang.
132
1.2. Aturan l’Hopital Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal. Di dalam kajian tentang limit, berlaku sebuah teorema yang mengatakan sebagai berikut. 𝑓(𝑥)
Jika lim 𝑥 →𝑎 𝑓(𝑥) lim 𝑥→𝑎 𝑔(𝑥)
lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐴 dan lim𝑥→𝑎 𝑔 𝑥 = 𝐵 , maka lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 𝐴
=𝐵
Dengan catatan bahwa lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 𝐵 ≠ 0 Teorema tersebut menjadi tidak berlaku apabila lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 0 dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 0 atau lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = ±∞ dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = ± ∞ Jika lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 0 dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 0 , maka bentuk
lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥)
𝟎
disebut bentuk tak-tentu 𝟎 pada 𝑥 = 𝑎. Sedangkan jika lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = ±∞ dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = ± ∞, maka
lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥)
disebut bentuk tak-tentu
∞ ∞
pada
𝑥 = 𝑎. Dengan demikian, bentuk tak-tentu
0 0
dan
∞ ∞
dapat didefinisikan
sebagai berikut. Misalkan 𝑓(𝑥) dan 𝑔(𝑥) fungsi-fungsi yang mempunyai limit di seitar 𝑥 = 𝑎. Jika lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = 0 dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 0 , dinamakan bentuk tak-tentu
𝟎 𝟎
maka
𝑓(𝑥)
bentuk lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥)
pada 𝑥 = 𝑎. 𝑓(𝑥)
Jika lim𝑥→𝑎 𝑓(𝑥) = ±∞ dan lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = ± ∞ , maka bentuk lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) dinamakan bentuk tak-tentu
∞ ∞
133
pada 𝑥 = 𝑎.
Cara menghitung bentuk tak-tentu dari limit fungsi, yaitu dengan menggunakan teknik perhitungan manipulasi aljabar. Misalnya: 0
Limit fungsi aljabar yang berbentuk 0, teknis perhitungannya dengan menggunakan metode pemfaktoran. Contoh: (𝑥 − 1)(𝑥 + 1) 𝑥2 − 1 lim = lim = lim(𝑥 + 1) = 1 + 1 = 2 𝑥→1 𝑥 − 1 𝑥→1 𝑥→1 (𝑥 − 1)
0
Limit fungsi trigonometri yang berbentuk 0 , teknis perhitungannya dengan menggunakan manipulasi aljabar dan bantuan rumus. Contoh: sin 3𝑥 sin 3𝑥 sin 3𝑥 = lim 3 = 3 lim = 3(1) = 3 𝑥→0 𝑥→0 𝑥→0 3𝑥 𝑥 3𝑥
lim
∞
Limit fungsi aljabar yang berbentuk ∞, teknis perhitungannya dengan menggunakan pembagian pangkat tertinggi dari penyebut. Contoh: 1 3+𝑥 3+0 3 3𝑥 + 1 lim = lim = = 4 2−0 2 𝑥→∞ 2𝑥 − 4 𝑥→∞ 2−𝑥 Dalam subbab ini akan diperkenalkan teknik lain untuk menghitung
limit fungsi yang berbentuk tak tentu menggunakan bantuan turunan yang dikenal
sebagai
Teorema
L’Hôpital.
Teorema
ini
pertama
kali
diperkenalkan oleh seorang ahli matematika dari Perancis yang bernama Guillaume Francois L’Hôpital (1661-1707).
134
Teorema L’Hôpital: Misalkan 𝑓(𝑥) dan 𝑔(𝑥) adalah fungsi-fungsi yang diferensiabel pada setiap titik dalam interval terbuka 𝐼. 𝑓(𝑥) Jika 𝑔′ (𝑥) ≠ 0 untuk setiap 𝑥 ≠ 𝑎 pada 𝐼 dan jika lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) mempunyai bentuk 0 0
tak-tentu atau
∞ pada 𝑥 ∞
= 𝑎, maka 𝑓(𝑥) 𝑓′ (𝑥) lim = lim ′ 𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) 𝑥→𝑎 𝑔 (𝑥) 𝑓′ (𝑥)
Dengan catatan bahwa lim𝑥→𝑎 𝑔′ (𝑥) ada. 𝑓′ (𝑥)
Dalam hal lim𝑥→𝑎 𝑔′ (𝑥) masih mempunyai bentuk tak-tentu, maka proses 𝑓(𝑥)
perhitungan diteruskan dengan menggunakan turunan kedua lim𝑥→𝑎 𝑔(𝑥) = 𝑓′′ (𝑥)
lim𝑥→𝑎 𝑔′′ (𝑥) , . . . , demikian seterusnya sehingga diperoleh nilai limitnya.
Contoh: Hitunglah limit-limit fungsi berikut ini. a. lim𝑥→1 b. lim𝑥→0
𝑥2 −1 𝑥−1 sin 3𝑥 𝑥 3𝑥+1
c. lim𝑥→∞ 2𝑥−4 Jawab: a. Bentuk lim𝑥→1 lim𝑥→1
𝑥2 −1 𝑥−1
𝑥2 −1 𝑥−1
0
merupakan bentuk tak-tentu 0 pada 𝑥 = 1
= lim𝑥→1
b. Bentuk lim𝑥→0
sin 3𝑥 𝑥
2𝑥 1
= 2(1) = 2 0
merupakan bentuk tak-tentu 0 pada 𝑥 = 0
sin 3𝑥 3 cos 3𝑥 3(1) = lim = =3 𝑥→0 𝑥→0 𝑥 1 1
lim
3𝑥+1
∞
c. Bentuk lim𝑥→∞ 2𝑥−4 merupakan bentuk tak-tentu ∞ pada 𝑥 mendekati ∞ 3𝑥 + 1 3 3 = lim = 𝑥→∞ 2𝑥 − 4 𝑥→∞ 2 2 lim
135
1.3. Masalah Ekstremum Fungsi Telah dibahas pada bab 3 mengenai ekstremum suatu fungsi. Titik stasioner suatu fungsi 𝑦 = 𝑓(𝑥) terdapat pada nilai x yang memenuhi 𝑓′ 𝑥 = 0 Juga telah dibahas bahwa titik stasioner itu dapat berupa titik maksimum, titik minimum, atau sekadar titik belok. Menggunakan uji turunan ke-dua yang juga telah dibahas pada bab 3 diketahui 1. Bila 𝑓 ′′ 𝑥 > 0, maka titik stasioner itu merupakan nilai minimum. 2. Bila 𝑓 ′′ 𝑥 < 0, maka titik stasioner itu merupakan nilai maksimum. 3. Bila 𝑓 ′′ 𝑥 = 0, maka titik stasioner itu bukan niai ekstrim. Berikutnya kita akan membahas nilai ekstrim suatu fungsi, yakni nilai maksimum atau nilai minimum suatu fungsi dalam selang lokal. Jika 𝑓 𝑥 memiliki titik stasioner dalam suatu selang, maka pastilah titik stasioner itu merupakan nilai ekstrim (maksimum atau minimum). Adapun bila 𝑓 𝑥 tidak memiliki titik stasioner, 𝑓 𝑥 dapat saja memiliki nilai ekstrim dalam selang tertutup. Misalkan 𝑓 𝑥 = 2𝑥 + 3 merupakan fungsi linear sehingga tidak punya titik stasioner. Tetapi bila kita memilih suatu selang tertutup [2,5], maka kita dapatkan nilai maksimum fungsi 𝑓 𝑥 dalam selang [2,5] ialah 𝑓 5 = 13 dan titik minimumnya ialah 𝑓 2 = 7. Jadi dapat dikatakan 2 dan 5 ialah titik-titik kritis (minimum dan maksimum) dari fungsi 𝑓(𝑥). Jadi bila 𝑓(𝑎) merupakan nilai ekstrim dalam interval I, maka 𝑎 adalah titik kritisnya. Dengan demikian terdapat tiga kemungkinan titik-titik kritis itu yakni: 1. Titik ujung dari selang I. 2. Titik stasioner dari 𝑓(𝑥), di mana 𝑓 ′ 𝑎 = 0 3. Titik singular dari 𝑓(𝑥), di mana 𝑓′(𝑎) tidak ada. Dalam subbab ini akan ditunjukkan bagaimana menemukan nilai ekstrim (maksimum dan minimum) dan titik-titik kritis (titik yang memetakan nilai ektrim) suatu fungsi yang biasa (atau mungkin terkadang) muncul dalam kehidupan sehari-hari.
136
Contoh, misalkan Pak Alejandro ingin memasang pagar kawat sepanjang 150 m berbentuk seperti pada gambar. Agar luas total daerah yang dipagari maksimum, tentukanlah panjang dan lebar kawat.
y
x Syarat yang diberikan dalam permasalahan ini adalah panjang total 2
kawat, yakni 2𝑥 + 3𝑦 = 150 m atau 𝑦 = 50 − 3 𝑥. Yang ingin dimaksimalkan di sini adalah luas daerah yang dipagari, sehingga kita harus mancari fungsi dari luas yang tidak lain adalah: 2 2 𝐴 = 𝑥𝑦 = 𝑥 50 − 𝑥 = 50𝑥 − 𝑥 2 3 3 Untuk memaksimalkan luas, x haruslah memenuhi 𝐴′ =
𝑑𝐴 𝑑𝑥
= 0.
4
50 − 𝑥 = 0; 𝑥 = 37,5 3
Dan
diperoleh
2
pula 𝑦 = 50 − 3 37,5 = 25 .
Luas
maksimumnya
𝐴 = 𝑥𝑦 = 937,5 m2 .
Contoh: 1. Jumlah dua bilangan sama dengan 40. Tentukanlah hasil kali bilangan itu yang terbesar. Jawab: Misalkan bilangan-bilangan itu x dan y, sehingga 𝑥 + 𝑦 = 40 atau 𝑦 = 40 − 𝑥 Misalkan hasil kali kedua bilangan itu u, maka 𝑢 𝑥 = 𝑥 40 − 𝑥 = 40𝑥 − 𝑥 2 dengan 0 ≤ 𝑥 ≤ 40. Nilai x maksimal jika 𝑢′ 𝑥 = 0 40 − 2𝑥 = 0 atau 𝑥 = 20 Karena 𝑢′′ 20 = −2 (negatif), maka menurut uji turunan ke-dua nilai ekstrim ini ialah nilai maksimum. Akhirnya diperoleh 𝑢 = 𝑥𝑦 = 40 20 − 20 = 400. 137
2. Sehelai karton berbentuk persegi dengan
9 cm
panjang rusuk 9 cm. Pada keempat sudutnya x
akan digunting persegi yang berukuran sama
x
sehingga membentuk sebuah jaring-jaring. Selanjutnya karton tersebut dilipat sedemikian
9 cm
rupa sehingga menghasilkan balok tanpa tutup seperti pada gambar. Tentukanlah volume kotak yang paling besar yang dapat dibuat. Jawab: Jika jaring-jaring itu dilipat, akan menghasilkan persegi panjang dangan panjang dan lebar 9 − 2𝑥 dan tinggi 𝑥, sehingga volume kotak dapat diberikan dalam persamaan 𝑉(𝑥) = 9 − 2𝑥 9 − 2𝑥 𝑥 = 4𝑥 3 − 36𝑥 2 + 81𝑥 9
Dengan nilai x yang memenuhi berada dalam selang 0, 2 . Syarat untuk memaksimalkan atau meminimalkan V ialah mencari nilai x yang memenuhi 𝑉 ′ 𝑥 = 0. 12𝑥 2 − 72𝑥 + 81 = 0 3(4𝑥2 − 24𝑥 + 27) = 0 3 2𝑥 − 4 (2𝑥 − 9) = 0 3
9
Jadi diperoleh nilai ekstrim 𝑥 = 2 dan 𝑥 = 2 yang keduanya terletak dalam selang 9
0, 2 . Untuk mengetahui mana yang memberikan nilai maksimum, kita dapat langsung menyubstitusikan nilai-nilai ekstri tadi atau kita dapat melakukan uji turunan ke-dua. 𝑉 ′′ 𝑥 = 24𝑥 − 72 3
9
Diperoleh untuk 𝑥 = 2 , 𝑉 ′′ 𝑥 = −36 dan untuk 𝑥 = 2 𝑉 ′′ 𝑥 = 36. Dari teorema sebelumnya diketahui ekstrim maksimum memiliki nilai turunan ke-dua < 0 pada titik itu dan ekstrim minimum memiliki nilai turunan ke-dua > 0 pada titik itu. 3
Dengan demikian diperoleh nilai x yang dimaksud adalah 𝑥 = 2, dan volumenya 𝑉
3 2
= 54 cm3 138
2. Aplikasi Integral Integral memiliki banyak aplikasi di berbagai bidang. Selain untuk menentukan panjang kurva, luas daerah, dan volum benda putar seperti yang telah dibahas sebelumnya, integral juga digunakan untuk menentukan pusat massa benda, menghitung momen inersia, pemodelan pertumbuhan populasi, dan banyak lagi. Berikut beberapa masalah-masalah fisika yang memerlukan operasi integral.
2.1. Menentukan Pusat Massa Benda Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal. Interaksi antar materi seringkali merupakan interaksi banyak titik materi. Pada sistem banyak titik, selain terdapat gaya eksternal (Fe) juga terdapat gaya internal (Fij) antar titik-titik dalam benda. Untuk itu diperkenalkan pusat massa, di mana gaya aksi yang diberikan ke setiap titik materi dipandang sama dengan gaya aksi yang diberikan pada pusat massa suatu sistem materi tunggal. Contoh sederhananya saat kita melempar bola ke atas, sebenarnya semua titik pada materi mendapatkan gaya aksi yang besarnya kita sebut Fi. Namun akan lebih sederhana jika kita menganggap bola itu sebagai satu titik materi saja, yakni pada pusat massanya. Pusat massa suatu benda ialah titik di mana gaya internal pada sistem massa sama dengan nol. Untuk benda simetris yang homogen, letak pusat massa tentulah berada tepat di tengah-tengah benda. Lalu, bagaimana untuk benda yang tidak simetris? Ambillah persamaan gaya yang bekerja pada sistem banyak titik 𝐅𝑖𝑒 + 𝑖
𝐅𝑖𝑗 = 𝑖
𝑗 ≠𝑖
139
𝑑2 𝑑𝑡 2
𝑚𝑖 𝐫 = F 𝑖
Jika kita mengambil suatu titik di mana gaya internalnya nol, diperoleh 𝑑2 𝑑𝑡 2
𝐅𝑖𝑒 = 𝐅 𝑒
𝑚𝑖 𝐫𝑖 = 𝑖
𝑖
Titik itu haruslah mewakili keseluruhan sistem secara makroskopis, sehingga notasi sumasi di ruas kiri menjadi lenyap. Titik itulah yang kita sebut sebagai pusat massa, yang berjarak R dari sembarang pemilihan kerangka acuan. 𝑚𝑖 𝐫𝑖 = 𝑖
𝐑=
𝑚𝑖 𝐑 𝑖
𝑖
𝑚𝑖 𝐫𝑖 1 = 𝑀 𝑖 𝑚𝑖
𝑚𝑖 𝐫𝑖 𝑖
Akhirnya diperoleh 𝑑2 𝐑 𝑀 2 = 𝐅𝑒 𝑑𝑡 Di sini akan dibahas cara menentukan pusat massa benda homogen. Pendekatannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu diskret dan kontinu. Misal untuk gambar di bawah ini. Z
Y
X Gambar 6.3. Bangun ruang yang tersusun dari empat kubus.
Jika kubus-kubus kecil penyusunnya memiliki rusuk 4 cm dan massa m, di manakah letak pusat massa benda itu? Kita akan menghitungnya bagian-demi bagian dan parameter demi parameter (x, y, z). kubus pertama (paling kiri) 140
r1(x,y,z) = (2,2,2) kubus ke-dua (tengah) r2(x,y,z) = (2,6,2) kubus ke-tiga (depan) r3(x,y,z) = (6,6,2) kubus ke-empat (atas) r4(x,y,z) = (2,6,6) Karena semua kubus kecil memiliki massa yang sama, m, maka pusat massanya, R ialah: 𝑅𝑥 = 𝑅𝑦 = 𝑅𝑧 =
𝑖
𝑖
𝑖
𝑚𝑖 𝑟𝑥𝑖 2𝑚 + 2𝑚 + 6𝑚 + 2𝑚 = =3 𝑚+𝑚+𝑚+𝑚 𝑖 𝑚𝑖 𝑚𝑖 𝑟𝑦𝑖 2𝑚 + 6𝑚 + 6𝑚 + 6𝑚 = =5 𝑚+𝑚+𝑚+𝑚 𝑖 𝑚𝑖 𝑚𝑖 𝑟𝑧𝑖 2𝑚 + 2𝑚 + 2𝑚 + 6𝑚 = =3 𝑚+𝑚+𝑚+𝑚 𝑖 𝑚𝑖
Akhirnya diperoleh R = (3,5,3). Contoh tadi adalah untuk benda yang bisa didekati dengan metode diskret. Bagaimana dengan pelat berbentuk segitiga siku-siku?
Gambar 6.4.
Untuk benda semacam ini kita dapat memecahnya menjadi segmensegmen kecil lalu dijumlahkan (jumlahan Riemann). Berbicara tentang penjumlahan Riemann artinya kita akan bersinggungan dengan integral. Dalam bentuk integral, persamaan pusat massa dapat dituliskan
141
𝑅=
1 𝑀
𝑟 𝑑𝑚
Di mana dm ialah elemen massa, atau massa dari tiap-tiap segmen. Di 𝑀
sini kita mendefinisikan massa jenis σ (massa per satuan luas), yakni 𝜍 = 𝐴 . Karena luas segitiga di atas ialah ½ a.b, maka: 𝜍=
2𝑀 𝜍𝑎𝑏 → 𝑀= 𝑎𝑏 2
Mengingat segitiga siku-siku dapat kita nyatakan dalam persamaan garis y(x) = mx = bx/a, diperoleh luas tiap segmen yang berbentuk segi empat (dA) tidak lain adalah dx × y(x) sehingga elemen massa 𝑑𝑚 = 𝜍 𝑑𝐴 = 𝜍 𝑦 𝑥 𝑑𝑥 Sekarang kita sudah bisa memulai menghitung pusat massa segitiga. 1 𝑅𝑥 = 𝑀 𝑅𝑥 = 1 𝑅𝑥 = 𝑀
𝑎 0
1 𝑀
𝑎
𝑥 𝑑𝑚 0
𝑎
𝑥 𝜍 𝑦 𝑥 𝑑𝑥 0
𝑏 𝜍𝑏 𝑥 𝜍 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑎 𝑎𝑀 𝑎
𝜍𝑏 𝑥 3 𝑅𝑥 = 𝑎𝑀 3 Substitusi kembali 𝑀 =
𝜍𝑎𝑏 2
0
𝑎
𝑥 2 𝑑𝑥 0
𝜍𝑎2 𝑏 = 3𝑀
, akhirnya diperoleh
2 𝑅𝑥 = 𝑎 3 Akhirnya ketemu juga, tapi itu baru absisnya, belum ordinatnya. Cara mencari Ry serupa, hanya saja Anda harus mengubah fungsinya menjadi x(y) = ay/b. Perhatikan bahwa panjang segmen bukanlah x(y), melainkan 𝑦
𝑎 − 𝑥 𝑦 = 𝑎 1 − 𝑏 , lalu integrasikan terhadap y, nanti akan diperoleh bentuk 1 𝑅𝑦 = 𝑀
142
𝑏
𝑦 𝑑𝑚 0
Ingatlah yang merupakan massa luasan segitiga bukanlah 𝑥(𝑦) melainkan 𝑎 − 𝑥(𝑦), sehingga: 𝑅𝑦 =
1 𝑀
𝑏
𝑦 𝜍𝑎 1 − 0
𝑦 𝜍𝑎𝑏 2 𝑑𝑥 = 𝑏 6𝑀
Pada akhirnya pusat massanya ialah 𝐑=
2.2.
2 1 𝑎, 𝑏 3 3
Menentukan Momen Inersia Benda Momen inersia atau momen kelembaman (I) merupakan besran fisis yang menunjukkan kecenderungan benda untuk berputar. Momen inersia analog dengan massa pada gerak translasi. Benda dengan momen inersia kecil berarti benda itu mudah diputar, sebaliknya momen inersia besar berarti benda itu sulit diputar (memerlukan gaya yang lebih besar untuk mulai berputar). Mengingat ini buku matematika, maka penjelasan fisis mengenai momen inersia tidak akan dibahas secara rinci di sini, dengan demikian langsung saja dinyatakan momen inersia suatu partikel titik pada suatu sumbu putar ialah: 𝐼 = 𝑚𝑟 2 Dengan m massa partikel dan r jarak partikel ke sumbu putar. Jelaslah momen inersia benda bergantung terhadap massa dan jaraknya terhadap sumbu putar. Tidak hanya itu, momen inersia merupakan tinjauan setiap partikel dan jaraknya, sehingga untuk benda makroskopik (terdiri dari banyak partikel), besarnya momen inersia dinyatakan dalam 𝑛
𝑏
𝑚𝑖 𝑟𝑖 2 =
𝐼= 𝑖=1
𝑥 2 𝑑𝑚 𝑎
Jadi momen inersia juga bergantung pada bentuk geometri benda. Misalkan sebuah batang homogen dengan panjang L dan massa M akan diputar dengan poros di ujung batang, berapakah momen inersianya? Ingatlah bahwa tiap titik pada batang memiliki jarak yang berbeda terhadap sumbu putar. Oleh karena itu kita iris-iris batang sejajar sumbu 143
putar setipis mungkin hingga tiap irisan memiliki ketebalan sebesar titik. Dengan demikian diperoleh segmen-segmen dengan massa tiap segmen sama, yakni dm (disebut juga elemen massa) dan jarak dari sumbu putar 𝑥𝑖 .
Gambar 6.5.
Mengingat jarak ke sumbu putar hanya bergantung terhadap sumbu X, maka elemen sumbu Y dan Z dapat diabaikan sehingga dapat digunakan definisi massa per satuan panjang, 𝜆. 𝑀 = 𝜆 𝐿 dan 𝑑𝑚 = 𝜆 𝑑𝑥 𝐿
𝐼 = ∫0 𝑥 2 𝑑𝑚 Substitusi nilai dm dengan 𝜆 𝑑𝑥 agar dapat diintegralkan. 𝐿
1
𝐼 = ∫0 𝜆𝑥 2 𝑑𝑥 = 3 𝜆𝑥 3
𝑥=𝐿 𝑥=0
1
= 3 𝜆𝐿3 1
Substitusi balik nilai 𝑀 = 𝜆 𝐿, sehingga diperoleh 𝐼 = 3 𝑀𝐿2 . Jadi telah kita dapatkan momen inersia batang homogen yang diputar pada ujungnya. Bagaimana jika batang diputar dengan sumbu melalui tengah batang? Caranya serupa, hanya bila pada kasus sumbu di ujung batang kita integralkan dari x = 0 ke x = L, maka bila sumbu di tengah batang kita integralkan dari x = -L/2 ke x = L/2. 𝐿/2
1 𝐼= 𝜆𝑥 𝑑𝑥 = 𝜆𝑥 3 3 −𝐿/2
𝐿/2
2
−𝐿/2
1 𝐿3 𝐿3 = 𝜆 − − 3 8 8 1
Substitusikan lagi 𝑀 = 𝜆 𝐿, diperoleh 𝐼 = 12 𝑀𝐿2 .
144
=
1 3 𝜆𝐿 12
Gambar 6.6.
Contoh: 1. Carilah momen inersia cakram bermassa M dan jari-jari R yang diputar pada sumbu tegak lurus penampangnya melalui pusat cakram. Jawab: Bayangan cakram dibelah menjadi cincin-cincin konsentris (sepusat) dangan ketebalan seragam dr dan jarak dari pusatnya ri. Anggap sumbu putar itu adalah sumbu Z, massa cakram ialah 𝑀 = 𝜍𝐴 = 𝜍𝜋𝑅 2 Sekarang bayangkan cincin-cincin itu dibentangkan seperti pita, maka luas tiap segmen ialah panjang kali lebarnya yakni 𝑑𝐴 = (2𝜋𝑟)(𝑑𝑟). Dengan demikian elemen massanya 𝑑𝑚 = 𝜍 𝑑𝐴 = 𝜍2𝜋𝑟 𝑑𝑟 𝑅
𝑅
2
𝐼 = ∫0 𝑟 2 𝑑𝑚 = ∫0 𝑟 2 𝜍2𝜋𝑟 𝑑𝑟 = 4 𝜍𝜋𝑟 4
𝑅 0
1
= 2 𝜍𝜋𝑅 4 1
Substitusi balik 𝑀 = 𝜍𝜋𝑅 2 , diperoleh 𝐼 = 2 𝑀𝑅 2 . Catatan: Mengapa elemen luas cincin bisa dimodelkan dengan pita persegi panjang ialah karena lebar cincin yang sangat kecil, sehingga bisa diluruskan. Jika tetap digunakan rumus luas segmen lingkaran diperoleh 𝑑𝐴𝑖 = 𝜋 𝑟𝑖+1 2 − 𝑟𝑖 2 Mengingat 𝑟𝑖+1 = 𝑟𝑖 + 𝑑𝑟, maka diperoleh 𝑟𝑖+1 2 − 𝑟𝑖 2 = 𝑟𝑖 + 𝑑𝑟 2 − 𝑟𝑖 2 = 2𝑟𝑖 𝑑𝑟 + 𝑑𝑟 2 . Karena dr sangat kecil, maka 2𝑟𝑖 𝑑𝑟 + 𝑑𝑟 2 ≅ 2𝑟𝑖 𝑑𝑟 , sehingga elemen luasnya 2𝜋𝑟𝑖 𝑑𝑟, hasil yang sama dengan sebelumnya.
145
Problem: Momen Inersia Bola Pejal Homogen Sebuah bola pejal (tidak berongga) homogen mempunyai massa M dan jarijari R. Carilah momen inersia bola terhadap sumbu yang melalui pusat bola, misal sumbu Z. Tips: Bola dapat dibelah-belah tegak lurus sumbu Z menjadi pelat-pelat dengan ketebalan menuju nol dan jejari 𝑦 = 𝑅 2 − 𝑧 2 . Z Momen inersia pelat homogen ialah y 1 𝐼𝑍 = 2 𝑀𝑅 2 sehingga momen inersia z
1
elemen pelat 𝑑𝐼𝑍 = 2 𝑦 2 𝑑𝑚.
R
Y
2
(Jawab: 𝐼 = 5 𝑀𝑅 2 ) Teorema Sumbu Sejajar Teorema sumbu sejajar menyatakan: “Momen inersia benda tegar terhadap sumbu yang sejajar dengan sumbu yang melalui pusat massa benda tegar adalah senilai dengan momen inersia terhadap sumbu yang melalui pusat massanya ditambah hasil kali antara massa benda dengan kuadrat jarak dari kedua sumbu sejajar itu (l)”. 𝐼 ′ = 𝐼𝑍 + 𝑀𝑙 2 Buktikanlah kebenaran teorema ini dan cari pula momen inersia bola pejal di 1 atas bila sumbu putarnya digeser sejauh 𝑙 = 3 𝑅 dari pusat bola.
146
Deret Tak Hingga
Bab 7
1. Deret Tak Hingga Sebelumnya perlu diberikan ulang definisi deret ialah jumlahan sukusuku dengan pola(fungsi) tertentu. Jika suku ke-n dari deret dinyatakan dalam un, maka jumlahan dari deret itu adalah: 𝑆𝑛 =
𝑚 𝑛=0 𝑢𝑛
atau
𝑚 +1 𝑛=1 𝑢𝑛
(7.1)
Bentuk mana yang digunakan tergantung bagaimana suku dihitung, apakah dimulai dari nol ataukah dari satu. Tidak ada ketentuan mana yang lebih benar meskipun secara formal biasanya penghitungan dimulai dari suku pertama. Tetapi Anda tidak boleh terlalu terobsesi dengan ketentuan seperti itu, karena dalam beberapa bahasa pemrograman (seperti C++) melakukan penghitungan mulai dari suku ke-0. Lagipula, keduanya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Fungsi dari 𝑢𝑛 dapat berbentuk apa saja. Yang paling sederhana ialah fungsi 𝑢𝑛 = 𝑎 + 𝑏𝑛 (dengan a dan b konstanta) yang disebut deret aritmatika dan fungsi 𝑢𝑛 = 𝑎𝑟 𝑛 (dengan a dan r konstanta) yang disebut deret geometri. Nah, sekarang saatnya kita beralih ke deret tak hingga. Misalkan suatu bola ping-pong dijatuhkan dari ketinggian 1 meter dan terus memantul setengah dari ketinggian sebelumnya. Panjang lintasan yang ditempuh oleh bola ping-pong tadi dapat dituliskan dalam deret 1 1 1 1 1 𝑥 =1+ + + + +⋯+ 𝑛 2 4 8 16 2 dengan n = 0, 1, 2, 3, .... Untuk meringkas penulisan, deret di atas dapat dituliskan dalam bentuk notasi sumasi, ∞
𝑥= 𝑛=0
147
1 2
𝑛
Yang penting untuk diketahui ialah apakah x memiliki limit nilai tertentu (konvergen) ataukah nilainya menjadi tak hingga akibat penjumlahan suku yang tak hingga jumlahnya (divergen). Untuk itu, dapat dilakukan beberapa uji antara lain uji deret geometri, uji limit, uji jumlah terbatas, uji integral, uji deret orde p, dan uji hasil bagi mutlak.
1.1. Uji Deret Geometri Untuk deret di atas misalnya, merupakan deret geometri yang berbentuk 𝑆𝑚 = 𝑎 + 𝑎𝑟 + 𝑎𝑟 2 + 𝑎𝑟 3 + ⋯ + 𝑎𝑟 𝑚 −1 =
𝑚 −1 𝑛 𝑛=0 𝑎𝑟
(7.2)
dengan a suatu konstanta, r rasio, n pangkat dari rasio yang berkaitan dengan suku dari deret tersebut, dan Sm ialah jumlah dari deret sebanyak m suku atau hingga suku ke-m–1 (dikurangi satu karena penghitungan suku dimulai dari satu, sedangkan penghitungan rasio dumulai dari 0). Jumlahan dari deret Sm dapat dicari dengan langkah sebagai berikut. 𝑆𝑚 − 𝑟𝑆𝑚 = 𝑎 + 𝑎𝑟 + 𝑎𝑟 2 + 𝑎𝑟 3 + ⋯ + 𝑎𝑟 𝑚 −1 − 𝑎𝑟 + 𝑎𝑟 2 + 𝑎𝑟 3 + 𝑎𝑟 3 + ⋯ + 𝑎𝑟 𝑚 𝑆𝑚 (1 − 𝑟) = 𝑎 − 𝑎𝑟 𝑚 Sehingga diperoleh jumlahan deret geometri ialah 𝑎
𝑆𝑚 = 1−𝑟 −
𝑎𝑟 𝑚 1−𝑟
=
𝑎 1−𝑟 𝑚
(7.3)
1−𝑟
Perhatikan bila 𝑟 ≥ 1 maka lim𝑛 →∞ 𝑟 𝑛 = ∞ sehingga 𝑆𝑚 → ±∞ untuk 𝑚 → ∞, dengan kata lain 𝑆𝑚 divergen. Sebaliknya bila 𝑟 < 1 maka 𝑎
lim𝑛→∞ 𝑟 𝑛 = 0 sehingga 𝑆𝑚 = 1−𝑟 untuk 𝑚 → ∞ , dengan kata lain 𝑆𝑚 konvergen. Nah, sekarang kita coba uji kekonvergenan deret x menggunakan uji deret geometri. Dengan mudah ditentukan nilai a = 1 dan r = 1/2, sehingga untuk 𝑚 = ∞ diperoleh 𝑥=
1 1 1−2
148
=2
Dari hasil ini dapat diperoleh ketentuan kekonvergenan dari deret geometri ialah
Jika 𝑟 < 1, maka
∞ 𝑛 =1 𝑢𝑛
konvergen
Jika 𝑟 ≥ 1, maka
∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
divergen
1.2. Uji Limit Uji limit dapat digunakan untuk deret tak hingga yang dapat diselesaikan dengan metode limit yakni: ∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
Jika
Jika lim𝑛→∞ 𝑢𝑛 ≠ 0, maka
Misalkan
konvergen, maka lim𝑛 →∞ 𝑢𝑛 = 0.
𝑛 2 −2 ∞ 𝑛=1 3𝑛 2 +𝑛 .
∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
divergen.
Dengan melakukan uji limit diperoleh
2 1− 2 1 𝑛2 − 2 𝑛 lim 𝑢𝑛 = lim 2 = lim = 1 𝑛→∞ 𝑛 →∞ 3𝑛 + 𝑛 𝑛→∞ 3+𝑛 3 Dengan demikian Penting lim𝑛→∞ 𝑢𝑛 = 0 "
𝑛 2 −2 ∞ 𝑛=1 3𝑛 2 +𝑛
merupakan deret divergen.
untuk dicamkan bahwa "jika tidak
berarti
∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
konvergen, maka
"Jika lim𝑛 →∞ 𝑢𝑛 = 0 ,
maka
∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
konvergen". Artinya meskipun lim𝑛 →∞ 𝑢𝑛 = 0 bisa saja deret itu divergen, tetapi suatu deret hanya mungkin konvergen jika lim𝑛→∞ 𝑢𝑛 = 0. Dengan demikian uji limit hanya sah untuk membuktikan suatu deret adalah divergen dan tak dapat digunakan untuk menyatakan suatu deret adaah konvergen.
1.3. Uji Jumlah Terbatas Uji deret geometri dan uji limit merupakan beberapa pengujian yang dapat dilakukan untuk mengetahui kekonvergenan suatu deret yang tidak begitu rumit (rumit dalam artian tertentu). Beberapa deret tidak dapat diuji dengan dua metode sebelumnya, namun tetap dapat kita ketahui kekonvergenannya dengan uji jumlah terbatas. Uji jumlah terbatas ialah pembandingan jumlahan suatu deret yang ingin diuji dengan deret lain 149
yang lebih mudah diuji kekonvergenannya. Untuk itu membuktikan suatu deret konvergen mesti dipilih deret konvergen pembanding yang memiliki jumlahan yang lebih besar untuk membuktikan deret yang diuji konvergen. Sebaliknya untuk membuktikan deret yang dijuji divergen mestilah dipilih deret divergen pembanding yang jumlahannya lebih kecil. Jadi patut dicatat uji jumlah terbatas digunakan hanya untuk membuktikan suatu deret ialah konvergen atau divergen, tetapi suatu deret yang belum terbukti konvergen/divergen belum tentu divergen/konvergen. Contoh yang paling umum dalam pengujian model ini ialah deret harmonik. 1 1 1 𝑆 =1+ + + +⋯= 2 3 4
∞
𝑛=1
1 𝑛
Jelas bahwa deret harmonik bukanlah deret geometri (tidak memiliki rasio yang tetap) sehingga tidak dapat diuji dengan uji deret konvergen. Jika dilakukan uji limit, meskipun sekilas terlihat bahwa nilai lim𝑛→∞ 𝑢𝑛 = 0, tetapi jika diuji maka nilai
𝑚 𝑛=1 𝑢𝑛
tidak memiliki limit di
sembarang titik (lihat kembali ketentuan uji limit). Jadi sampai di sini masih ada keraguan apakah deret harmonik konvergen atau divergen. Nah, sekarang mari kita lakukan uji jumlah terbatas. 1
1
1
1
Dipilih deret pembanding 𝑍 = 1 + 2 + 2 + 2 + 2 + ⋯ yang jelas merupakan deret divergen. Jika deret Z ini dikembangkan, dapat berbentuk 1
seperti 𝑍 = 1 + 2 +
1 4
1
+4 +
1 8
1
1
1
+8+8+8 +
1 16
1
+ ⋯ + 16 + ⋯. Sekarang
mari kita persamakan 1 1 1 1 1 1 1 1 𝑆 =1+ + + + + + + + … 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1 1 > 1+ + + + + + + + +⋯ 2 4 4 8 8 8 8 16 Jelas bahwa deret harmonik (S) memiliki jumlahan yang lebih besar daripada deret Z. Mengingat Z sendiri divergen, maka jelaslah S juga divergen.
150
1.4. Uji Integral Uji integral menggunakan kaitan antara sumasi sigma dan integral pada dasarnya ialah serupa (meskipun tak persis sama). Berikut ialah ketentuan uji integral. 𝑚
𝑚 −1
∞
𝑢𝑛 ≤ 𝑛=2
𝑢 𝑥 𝑑𝑥 ≤ 1
𝑢𝑛 𝑛=1
Misalkan 𝑓 suatu fungsi kontinu, positif, dan tidak naik pada selang [1, ∞] dan 𝑢𝑛 = 𝑓(𝑥) untuk semua n bilangan bulat positif, maka deret tak ∞ 𝑛=1 𝑢𝑛
hingga
∞
konvergen jika dan hanya jika ∫1 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 konvergen.
Dengan kata lain bila luas daerah dibawah kurva 𝑢𝑛 = 𝑓(𝑥) dalam selang [1, +∞) berhingga, maka deret itu konvergen. Sebaliknya bila luas daerah dibawah kurva tak hingga, maka deret itu divergen. Contoh dari deret
∞ −𝑛 𝑛=1 𝑒
∞
dapat diperoleh ∫1 𝑒 −𝑥 𝑑𝑥 = −𝑒 −𝑥 + 𝐶 1
Luasannya ialah (−𝑒−∞ ) − (−𝑒−1 ) = 𝑒 , berhingga, sehingga deret
∞ 1.
∞ −𝑛 𝑛=1 𝑒
konvergen.
1.5. Uji Deret Orde-p Uji deret orde-p (atau dikenal juga dengan deret zeta Riemann) merupakan generalisasi dari deret harmonik. Deret zeta Riemann berbentuk 𝜁(𝑝) =
1 𝑝 ∞ 𝑛=1 𝑛
(7.4)
Jadi deret harmonik tidak lain ialah 𝜁(1) yang mana nilainya tak hingga. Deret orde-p lainnya yang terkenal ialah deret Basel, tak lain ialah 𝜁(2). Menurut teorema ini
Apabila 𝑝 ≤ 1, maka deret-p adalah deret divergen.
Apabila 𝑝 > 1, maka deret-p adalah deret konvergen.
Seperti halnya uji deret geometri, uji deret-p juga dapat digunakan dalam uji jumlah terbatas.
151
Contoh: 2 ∞ 2𝑛 +5 𝑛=1 𝑛 3
1. Periksalah apakah deret
konvergen atau divergen!
Jawab: Deret di atas dapat kita pecah menjadi jumlahan dari dua deret yaitu 2 ∞ 2𝑛 +5 𝑛=1 𝑛 3
=
∞ 2 𝑛=1 𝑛
5 ∞ 𝑛 =1 𝑛 3
+
∞ 1 𝑛=1 𝑛
Perhatikan bahwa 2
+5
1 ∞ 𝑛=1 𝑛 3
>
∞ 1 𝑛=1 𝑛
∞ 1 𝑛=1 𝑛
, padahal
merupakan
deret harmonik yang divergen. Jadi dengan menggunakan uji jumlah terbatas dan uji deret orde-p, jelas bahwa 2. Periksalah apakah deret
∞ −𝑥 𝑥=1 𝑥𝑒
2
∞ 2𝑛 +5 𝑛=1 𝑛 3
juga divergen.
konvergen atau divergen!
Jawab: Menggunakan uji integral, gunakan metode substitusi dengan 𝑢 = 𝑥 dan 𝑑𝑣 = 𝑒 −𝑥 𝑑𝑥. ∞
∫1 𝑥𝑒 −𝑥 𝑑𝑥 = −𝑒 −𝑥 𝑥 + 1 + 𝐶
∞ 1
Dengan menggunakan dalil l’Hopital diperoleh lim𝑥→∞
𝑥+1 𝑒𝑥
1
= lim𝑥→∞ 𝑒 𝑥 = 0.
Diperoleh luasan daerah di bawah kurva 2
0 − (−𝑒−1 (1 + 1) + 𝐶) = 𝑒, berhingga, sehingga deret 3. Tentukanlah apakah deret
∞ 𝑖 𝑖=0(−1)
∞ −𝑥 𝑥=1 𝑥𝑒
konvergen.
konvergen atau divergen!
Jawab: 𝑆𝑛 = 𝑢0 + 𝑢1 + 𝑢2 + 𝑢3 + ⋯ + 𝑢𝑛 = 1 − 1 + 1 − 1 + ⋯ + −1
𝑛
Jika diperhatikan, deret di atas merupakan deret berganti tanda, yang besar mutlaknya sama (yakni 1). Deret yang berbentuk seperti ini biasa disebut deret flip-flop. Jika suku-suku dalam deret tadi dijumlahkan, maka akan ada dua kemungkinan yakni 𝑆𝑛 = 0 jika n = ganjil atau 𝑆𝑛 = 1 jika n = genap. Tetapi semenjak 𝑛 = ∞, maka kita tak tahu n itu genap atau ganjil. Setidaknya dari dua kemungkinan yang ada cukup untuk memastikan deret tersebut konvergen4.
4
lebih lanjut baca di: http://paradoks77.blogspot.com/2011/12/matematika-gila-infiniy-seriesparadox.html.
152
1.6. Uji Hasil Bagi Mutlak Uji hasil bagi mutlak serupa tapi tak sama dengan uji deret geometri, keduanya sama-sama menguji rasio suatu deret, namun uji hasil bagi mutlak ini lebih general. Menurut teorema ini, misalkan
∞ 𝑛=0 𝑢𝑛
suatu deret
yang suku-sukunya tidak nol, dan misalkan lim𝑛→∞
𝑢 𝑛 +1 𝑢𝑛
=𝜌
(7.5)
Jika 𝜌 < 1, maka deret konvergen
Jika 𝜌 > 1, maka deret divergen
Jika 𝜌 = 1, maka pengujian tidak dapat memberikan kepastian
2. Deret Pangkat Sebelumnya kita telah menyinggung tentang deret geometri yang berbentuk
∞ 𝑛 𝑛=0 𝑎𝑟 ,
jika deretnya tak hingga dengan r meupakan rasio dari
deret. Bila rasio itu tidak berbentuk bilangan, melainkan suatu variabel, maka deret tadi dapat dinyatakan dalam ∞ 𝑟=0 𝐶𝑟
𝑥−𝑎
𝑟+𝑞
(7.6.a)
Jika dipilih a = q = 0, dapat dituliskan ∞ 𝑟 𝑟=0 𝐶𝑟 𝑥
(7.6.b)
Deret seperti itu disebut juga deret pangkat (power series). Semua fungsi dapat dinyatakan dalam deret pangkat, yakni ∞
𝑓 𝑥 =
𝐶𝑟 𝑥 − 𝑎
𝑟+𝑞
𝑟=0
Ekspansi ke dalam bentuk deret ini dapat menggunakan deret TaylorMac Laurin, deret Fourier (untuk fungsi periodik), dan deret Laurent (untuk fungsi kompleks). Selanjutnya kita hanya akan membahas deret Taylor dan Mac Laurin secara lebih mendalam pada subbab 3.
153
3. Deret Taylor dan Mac Laurin Deret Taylor ialah deret pangkat yang berbentuk 𝑛 ∞ 𝑓 𝑎 𝑛 =0 𝑛!
(𝑥 − 𝑎)𝑛
(7.7)
dengan 𝑓 𝑛 𝑎 adalah turunan ke-n dari 𝑓. Atau jika dituliskan bentuk panjangnya 𝑓′′(𝑎)
𝑆 = 𝑓(𝑎) + 𝑓′(𝑎)(𝑥 − 𝑎) +
(𝑥 − 𝑎)2 +
2!
𝑓′′′(𝑎) 3!
(𝑥 − 𝑎)3 + ⋯
(7.8)
Deret Mac Laurin tidak lain ialah deret Taylor dengan a = 0. Dengan demikian dapat dituliskan formulasi deret Mac Laurin. 𝑆 = 𝑓 0 + 𝑓′ 0 𝑥 +
𝑓 ′′ 0
𝑥2 +
2!
𝑓 ′′′ 0
𝑥3 + ⋯
3!
(7.9)
Berikut beberapa deret Mac Laurin fungsi-fungsi yang sering digunakan. 𝑒𝑥 =
𝑥𝑛 ∞ 𝑛=0 𝑛!
=1+𝑥+
sin 𝑥 =
𝑛 2𝑛 +1 ∞ (−1) 𝑥 𝑛=0 2𝑛 +1 !
cos 𝑥 =
∞ (−1) 𝑥 𝑛=0 2𝑛 !
𝑛
2𝑛
sinh 𝑥 =
𝑥 2𝑛 +1 ∞ 𝑛=0 2𝑛+1 !
cosh 𝑥 =
𝑥 2𝑛 ∞ 𝑛=0 2𝑛 !
𝑥2 2!
+
𝑥3 3! 𝑥3
=𝑥−
=1− =𝑥+
= 1+
𝑥2 2!
+
3!
𝑥2 2! 𝑥3 3!
+
𝑥4
+
+ +
4! 𝑥5 5!
𝑥4 4! 𝑥5 5!
𝑥4 4!
+⋯
+
−
− + 𝑥6 6!
𝑥6 6! 𝑥7 7!
𝑥7 7!
(7.10) +⋯
(7.11)
+⋯
(7.12)
+⋯
(7.13)
+⋯
(7.14)
Deret Taylor dan Mac Laurin merupakan alat yang sangat penting dalam bidang komputasional, karena umumnya dalam problem-problem tertentu tidaklah perlu mengetahui bagaimana bentuk fungsi akhirnya, melainkan berapa nilai akhirnya. Tentunya dengan script/algoritma yang sama, beragam nilai awal bisa dimasukkan untuk memperoleh nilai akhir yang ingin diketahui, jadi jelas bentuk fungsi akhirnya (biasa disebut solusi khusus) menjadi tidak penting. Nah, lalu apa perbedaan penggunaan antara deret Taylor dan deret Mac Laurin? Pada dasarnya deret Mac Laurin adalah bentuk reduksi dari deret Taylor dan memang tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali deret Taylor lebih teliti dibanding deret Mac Laurin (jika dilakukan pemotongan suku) dan deret MacLaurin lebih sederhana sehingga lebih mudah dihitung. Perbedaan 154
ketelitian ini karena pada deret Taylor, nilai suatu fungsi di titik tertentu dapat didekati dari sembarang titik, sedangkan pada deret MacLaurin nilai fungsi pada satu titik selalu didekati dari nol. Misalnya kita ingin menghitung nilai sin 0,26𝜋. Telah diketahui secara 1
pasti sin 0,25𝜋 = 2 2. Jadi kita dapat mencari nilai sin 0,26𝜋 menggunakan deret Taylor dengan titik awal pendekatan, 𝑎 = 0,25𝜋 dan pemotongan hingga empat suku misalnya, hasilnya akan lebih akurat dibanding menggunakan deret Mac Laurin dengan pemotongan suku yang sama
4. Turunan dengan Bantuan Deret Misalkan suatu fungsi 𝑓 𝑥 =
sin 𝑥 𝑥
ingin dicari turunannya, maka kita
dapat mengembangkan sin 𝑥 dalam bentuk deret sehingga: 𝑓 𝑥 =
sin 𝑥 𝑥
𝑓 𝑥 =1−
𝑥2 3!
2𝑥
+
𝑓 ′ (𝑥) = − 3! + 𝑥
𝑥3
𝑥
𝑥5
𝑥7
= 𝑥 − 3!𝑥 + 5!𝑥 − 7!𝑥 + ⋯ 𝑥4 5!
4𝑥 3 5!
− −
𝑥3
𝑥6 7! 6𝑥 5 7!
+⋯ +
6𝑥 5
8𝑥 7 9!
+⋯
𝑥7
𝑓 ′ 𝑥 = − 3 + 5×3! − 7×5! + 9×7! + ⋯ =
(−1)𝑛 +1 𝑥 2𝑛 +1 ∞ 𝑛=0 (2𝑛+3)∙ 2𝑛+1 !
Cukup mudah kan?
Contoh: 1. Nyatakanlah fungsi 𝑓 𝑥 =
1−𝑥 𝑛 1−𝑥
dalam bentuk deret dan cari pula turunan fungsi
𝑓 𝑥 (juga dalam bentuk deret)! Jawab: 1 = 1 + 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ + 𝑥 𝑛 −1 − 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ + 𝑥 𝑛 −1 1 = 1 − 𝑥 1 + 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ + 𝑥 𝑛 −1 + 𝑥 𝑛 1 − 𝑥𝑛 = 1 + 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ + 𝑥 𝑛 −1 1−𝑥
155
1 − 𝑥𝑛 = 1−𝑥
𝑛−1
𝑥𝑖 𝑖=0
Adapun turunannya dapat menggunakan turunan fungsi pembagi, namun di sini akan dicari dalam bentuk deret. 𝑓 𝑥 = 1 + 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ + 𝑥 𝑛−1 Dengan amat mudah diperoleh 𝑓 ′ (𝑥) = 1 + 2𝑥 + 3𝑥 2 + 4𝑥 3 + ⋯ + (𝑛 − 1)𝑥 𝑛 −2 =
𝑛−2 𝑖=0 (𝑖
+ 1)𝑥 𝑖
Problem: Kejanggalan Deret Binomial Newton 1
Jika fungsi 𝑓 𝑥 = 1−𝑥 diubah menjadi deret tak hingga menggunakan metode binomial Newton diperoleh −1 −2 1 − 𝑥 −1 = 1 + −1 1 −𝑥 + 2! 1 (−𝑥)2 + ⋯ 1 − 𝑥 −1 = 1 + 𝑥 + 𝑥 2 + 𝑥 3 + ⋯ Jika kita substitusi nilai x = 0,5, diperoleh hasil yang sesuai 1 1 1 1 − 0,5 −1 = 2 = 1 + + + + ⋯ 2 4 8 Tetapi bila disubstitusikan nilai x = 5, diperoleh hasil yang jauh berbeda, 1 − 5 −1 = −0,25 , sedangkan 1 + 5 + 52 + 53 + ⋯ = ∞ . Manakah yang benar? Mengapa hal ini bisa terjadi?
156
Pengantar Persamaan Diferensial
Bab 8
1. Konsep Persamaan Diferensial Saat kita ingin mempelajari persamaan diferensial (PD), pastinya kita harus sudah memahami kalkulus diferensial. Di sini akan saya mulai dengan fungsi 𝑦(𝑥) = 𝐶 𝑒 𝑘𝑥 . Turunan fungsi y terhadap x ialah 𝑦 ′ = 𝐶𝑘 𝑒 𝑘𝑥 . Dengan demikian kita memperoleh hubungan 𝑦 ′ − 𝑘𝑦 = 0 Whoiila!! Ini adalah contoh dari persamaan diferensial. Persamaan di atas bernilai benar bila 𝑦 = 𝐶 𝑒 𝑘𝑥 . Mengingat hanya fungsi berbentuk eksponensiallah yang turunannya sama dengan fungsi awalnya, maka kita dapat yakin
𝑦(𝑥) = 𝐶 𝑒 𝑘𝑥
merupakan
solusi
tunggal
dari
PD
𝑦 ′ − 𝑘𝑦 = 0. Sekarang bila kita menggunakan fungsi 𝑦 𝑥 = 𝐶1 sin 𝑘𝑥 , maka turunan pertamanya 𝑦′ = 𝐶1 𝑘 cos 𝑘𝑥 dan turunan keduanya, 𝑦 ′′ = −𝐶1 𝑘 2 sin 𝑘𝑥 . Dari fungsi awal dan turunan ke-duanya, dapat diperoleh hubungan 𝑦 ′′ + 𝑘 2 𝑦 = 0 Ini juga contoh dari persamaan diferensial orde dua (orde menandakan turunan tertinggi yang terdapat dalam PD). Jadi PD di atas benar jika 𝑦 = 𝐶1 sin 𝑘𝑥 , dengan demikian 𝑦 = 𝐶1 sin 𝑘𝑥 merupakan salah satu solusi dari PD tadi. Kok salah satu? Ya karena terdapat solusi lain yang mungkin, yakni 𝑦 𝑥 = 𝐶2 cos 𝑘𝑥 𝑦 ′′ = −𝐶2 𝑘 2 cos 𝑘𝑥
.
Turunan yang
bila
ke-dua di
dari
substitusikan
𝑦 = 𝐶2 cos 𝑘𝑥 juga
memenuhi
ialah PD
𝑦 ′′ + 𝑘 2 𝑦 = 0. Jadi PD itu memiliki dua solusi. Mengingat sifat linear operasi diferensial terhadap penjumlahan dan pengurangan, 𝑢 𝑥 + 𝑣 𝑥 + 𝑤 𝑥 + ⋯ ′ = 𝑢′ 𝑥 + 𝑣′ 𝑥 + 𝑤′ 𝑥 + ⋯
157
Maka kedua solusi yang mungkin itu dapat kita gabungkan menjadi 𝑦 = 𝐶1 sin 𝑘𝑥 + 𝐶2 cos 𝑘𝑥 . Jika solusi sebenarnya dari suatu problem hanya memuat suku sinus saja, maka C2 sama dengan nol, begitu pula sebaliknya. Jadi solusi dari PD 𝑦 ′′ + 𝑘 2 𝑦 = 0 ialah fungsi yang berbentuk 𝑦 = 𝐶1 sin 𝑘𝑥 + 𝐶2 cos 𝑘𝑥 . Kemudian bila kita mengambil fungsi 𝑦 = 𝐶1 sinh 𝑘𝑥 , yang turunan keduanya ialah 𝑦 ′′ = 𝐶1 𝑘 2 sinh 𝑘𝑥 , maka diperoleh hubungan: 𝑦 ′′ − 𝑘 2 𝑦 = 0 Seperti pada contoh sebelumnya, PD ini juga terpenuhi untuk 𝑦 = 𝐶2 cosh 𝑘𝑥 , sehingga solusi dari PD 𝑦 ′′ − 𝑘 2 𝑦 = 0 ialah 𝑦 = 𝐶1 sinh 𝑘𝑥 + 𝐶2 cosh 𝑘𝑥 . Persamaan diferensial orde satu sebenarnya dapat dengan mudah diperoleh solusinya, antara lain yang memiliki bentuk seperti ini: 𝑑𝑦 −𝑎 =0 𝑑𝑥 Di mana a suatu konstanta. Dengan mudah diperoleh ∫ 𝑑𝑦 = ∫ 𝑎 𝑑𝑥 atau y = ax. Dengan pembuktiaan terbalik (seperti metode sebelum-sebelumnya), ini terjadi karena jika y = ax maka y’ = a, sehingga y’ – a = 0. Sekarang yang agak lebih rumit, kita akan cari solusi dari PD 4𝑦 ′ − sin 𝑥 = 2𝑥. 𝑑𝑦
4 𝑑𝑥 = sin 𝑥 + 2𝑥 ∫ 4 𝑑𝑦 = ∫ sin 𝑥 + 2𝑥 𝑑𝑥 1
𝑦 = 4 𝑥 2 − cos 𝑥 + 𝐶 Hore!!! Kita dapat deh solusinya. Solusi seperti itu dinamakan solusi umum, karena menyisakan suatu konstanta (C) yang tidak kita ketahui nilainya. Bila kita telah mengetahui
syarat-syarat batas dari problemnya, misalkan
syarat awal 𝑦 0 = 0, maka dapat diketahui konstanta integrasinya, 1
1
0 = 4 02 − cos 0 + 𝐶 atau 𝐶 = 4 1
Dengan demikian diperoleh fungsi 𝑦 = 4 𝑥 2 − cos 𝑥 + 1 sebagai solusi khususnya.
158
2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu Telah disebutkan sebelumnya bahwa orde suatu persamaan diferensial merupakan turunan tertinggi yang dimuat dalam persamaan diferensial itu. Secara umum, PD linier berbentuk
𝑦 𝑛 + 𝑎1 𝑥 𝑦 𝑛 −1 + 𝑎2 𝑥 𝑦 𝑛 −2 + ⋯ + 𝑎𝑛−1 𝑥 𝑦 ′ + 𝑎𝑛 𝑥 𝑦 = 𝑘 𝑥
(8.1)
Dengan demikian PD linear orde satu dapat kita tuliskan sebagai 𝑑𝑦 𝑑𝑥
+ 𝑃 𝑥 𝑦 = 𝑄(𝑥)
(8.2)
Jika kedua ruas dikalikan dengan 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 , sehingga 𝑑𝑦
𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑑𝑥 + 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑃 𝑥 𝑦 = 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑄(𝑥) Perhatikan bahwa ruas kiri merupakan turunan dari 𝑦𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 sehingga 𝑑 𝑑𝑥
𝑦𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑄(𝑥)
Akhirnya kita peroleh formulasi untuk solusi dari PD linier orde satu
𝑦 = 𝑒 − ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∫ 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑄(𝑥) 𝑑𝑥
(8.3)
3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua Persamaan diferensial linear orde dua dapat kita golongkan menjadi PD linear orde-2 homogen dan PD linear orde dua tak homogen. Disebut homogen bila nilai 𝑘 𝑥 = 0 dan disebut tidak homogen bila 𝑘(𝑥) ≠ 0.
𝑦 ′′ + 𝑎1 𝑦 ′ + 𝑎2 𝑦 = 0
(8.4)
𝑦 ′′ + 𝑎1 𝑦 ′ + 𝑎2 𝑦 = 𝑘(𝑥) ≠ 0
(8.5)
Terlebih dahulu akan kita bahas mengenai PD homogen orde-2. Untuk menyelesaikan PD homogen orde dua digunakan persamaan bantu. PD homogen orde-2 dapat kita tuliskan kembali dalam bentuk
𝐷 2 𝑦 + 𝑎1 𝐷𝑦 + 𝑎2 𝑦 = 0 Seperti halnya yang telah dijelaskan pada subbab 8.1, bila turunan suatu fungsi dikurangkan dengan fungsinya sama dengan nol, maka fungsi itu pastilah berbentuk eksponensial. Jadi, di sini kita berasumsi y berbentuk 𝑒 𝑟𝑥 .
159
𝐷 2 𝑦 + 𝑎1 𝐷𝑦 + 𝑎2 𝑦 = 𝐷 2 𝑒 𝑟𝑥 + 𝑎1 𝐷𝑒 𝑟𝑥 + 𝑎2 𝑒 𝑟𝑥 = 0 𝑟 2 𝑒 𝑟𝑥 + 𝑎1 𝑟𝑒𝑟𝑥 + 𝑎2 𝑒𝑟𝑥 = 0 𝑟 2 + 𝑎1 𝑟 + 𝑎2 𝑒 𝑟𝑥 = 0
(8.6)
Agar ruas kiri menjadi nol, maka 𝑟 2 + 𝑎1 𝑟 + 𝑎2 haruslah bernilai nol. Dengan demikian perlu dicari akar-akar (pembuat nol) dari persamaan 𝑟 2 + 𝑎1 𝑟 + 𝑎2 . Persamaan ini disebut juga persamaan bantu. Telah kita tahu bahwa persamaan kuadrat dapat memiliki dua akar berbeda, dapat juga hanya memiliki satu akar (akar-akarnya kembar), atau dua akar yang saling kompleks. Jika akar-akar dari persamaan bantu tadi kita namakan r1 dan r2, maka solusi umum dari PD homogen orde-2 memiliki tiga macam penyelesaian yakni: 1. Jika persamaan bantu memiliki dua akar rill berlainan, 𝑟1 ≠ 𝑟2 maka solusi umumnya 𝑦 = 𝐶1 𝑒 𝑟1 𝑥 + 𝐶2 𝑒 𝑟2 𝑥 . 2. Jika persamaan bantu memiliki akar kembar, 𝑟1 maka solusi umumnya 𝑦 = 𝐶1 𝑒 𝑟1 𝑥 + 𝐶1 𝑥𝑒 𝑟1 𝑥 . 3. Jika persamaan bantu memiliki akar-akar kompleks yang saling konjugat, 𝑟1,2 = 𝛼 ± 𝛽𝑖 maka solusi umumnya 𝑦 = 𝐶1 𝑒 𝛼𝑥 cos 𝛽𝑥 + 𝐶2 𝑒 𝛼𝑥 sin 𝛽𝑥. Sekarang bagaimana bila persamaan diferensialnya tidak homogen 𝑘 𝑥 ≠ 0 ? Misalkan 𝑦 ′′ − 𝑦 ′ − 2𝑦 = 𝑥 2 + 3𝑥 − 2 . Pertama-tama kita cari terlebih dahulu solusi homogennya, yakni solusi dari 𝑦 ′′ − 𝑦 ′ − 2𝑦 = 0. Kita peroleh persamaan bantu 𝑟 2 − 𝑟 − 2 = 0, sehingga 𝑟1 = 2 dan 𝑟2 = −1. Dengan begitu diperoleh solusi homogennya, 𝑦 = 𝐶1 𝑒 2𝑥 + 𝐶2 𝑒 −𝑥 Untuk solusi non-homogennya, bentuknya bergantung pada 𝑘 𝑥 . Untuk lebih jelasnya, perhatikan beberapa bentuk 𝑘 𝑥 yang mungkin. 1. Jika 𝑘 𝑥 = 𝑏𝑛 𝑥 𝑛 + ⋯ + 𝑏1 𝑥 + 𝑏0 , gunakan 𝑦𝑝 = 𝐵𝑛 𝑥 𝑛 + ⋯ + 𝐵1 𝑥 + 𝐵0 . 2. Jika 𝑘 𝑥 = 𝑏𝑒 𝑎𝑥 , gunakan 𝑦𝑝 = 𝐵𝑒 𝑎𝑥 . 3. Jika 𝑘 𝑥 = 𝑏 cos 𝑎𝑥 + 𝑐 sin 𝑎𝑥, gunakan 𝑦𝑝 = 𝐵 cos 𝑎𝑥 + 𝐶 sin 𝑎𝑥. 4. Jika 𝑘 𝑥 memuat bentuk yang merupakan solusi homogen dari PD, kalikan penyelesaian yang digunakan dengan x atau suatu pangkat dari x.
160
Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat kita pilih solusi nonhomgennya, 𝑦𝑝 = 𝐴𝑥 2 + 𝐵𝑥 + 𝐶, dengan demikian 𝑦𝑝′ = 2𝐴𝑥 + 𝐵 dan 𝑦𝑝′′ = 2𝐴. Substitusikan solusi non-homogen ini ke dalam persamaan homogen menghasilkan 2𝐴 − 2𝐴𝑥 + 𝐵 − 2 𝐴𝑥 2 + 𝐵𝑥 + 𝐶 = 𝑥 2 + 3𝑥 − 2 Kumpulkan suku-suku dengan variabel x yang berpangkat sama, −2𝐴𝑥 2 + −2𝐴 − 2𝐵 𝑥 + 2𝐴 − 2𝐶 − 𝐵 = 𝑥 2 + 3𝑥 − 2 Dengan menyamakan koefisien dari 𝑥 2 , 𝑥, dan 1 diperoleh 1
−2𝐴 = 1
→ 𝐴 = −2
−2𝐴 − 2𝐵 = 3
→ 𝐵 = −1
2𝐴 − 2𝐶 − 𝐵 = −2
→𝐶=1 1
Akhirnya diperoleh 𝑦𝑝 = − 2 𝑥 2 − 𝑥 + 1. Solusi akhir (masih berupa solusi umum) dari PD 𝑦 ′′ − 𝑦 ′ − 2𝑦 = 𝑥 2 + 3𝑥 − 2 ialah: 1 𝑦 = 𝑦 + 𝑦𝑝 = 𝐶1 𝑒 2𝑥 + 𝐶2 𝑒 −𝑥 − 𝑥 2 − 𝑥 + 1 2 Contoh: 𝑑𝑦
1. Carilah solusi dari persamaan diferensial 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑦 + 𝑥𝑦! Jawab: PD di atas dapat diselesaikan dengan mengintegralkan secara langsung 𝑑𝑦
𝑥 𝑑𝑥 = 𝑦 1 + 𝑥 ∫
𝑑𝑦 𝑦
=∫
1+𝑥 𝑥
𝑑𝑥
ln 𝑦 = ln 𝑥 + 𝑥 + 𝐶 𝑦 = 𝑒 ln 𝑥 . 𝑒 𝑥 . 𝑒 𝐶 Mengingat sifat logaritma, 𝑎log 𝑎 𝑥 = 𝑥 dan 𝑒 𝐶 sebagai suatu konstanta C, maka solusi dari PD di atas ialah 𝑦 = 𝐶𝑥𝑒 𝑥 . 2. Carilah solusi dari persamaan diferensial 2 𝑦 − 4𝑥 2 𝑑𝑥 + 𝑥 𝑑𝑦 = 0! Jawab: 161
Dengan membagi kedua ruas dengan dx, PD di atas dapat kita ubah menjadi 𝑑𝑦
𝑑𝑦
2
𝑥 𝑑𝑥 + 2𝑦 = 8𝑥 2 atau 𝑑𝑥 + 𝑥 𝑦 = 8𝑥 yang merupakan PD linear orde-1. Dengan 2
demikian dapat kita tentukan 𝑃 𝑥 = 𝑥 dan 𝑄 𝑥 = 8𝑥. 𝑒∫ 𝑃
𝑥
2
2
= 𝑒 ∫𝑥 𝑑𝑥 = 𝑒 2 ln 𝑥 = 𝑒 ln 𝑥 = 𝑥 2
Solusi PD linear orde-1, 𝑦 = 𝑒 − ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∫ 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ∙ 𝑄(𝑥) 𝑑𝑥 1
1
1
𝑦 = 𝑥 2 ∫ 𝑥 2 ∙ 8𝑥 𝑑𝑥 = 𝑥 2 ∫ 8𝑥 3 𝑑𝑥 = 𝑥 2 2𝑥 4 + 𝐶 Akhirnya diperoleh 𝑦 = 2𝑥 2 + 𝐶𝑥 −2 . 3. Carilah solusi dari PD homogen 𝑦 ′′ − 8𝑦 ′ + 16𝑦 = 0! Jawab: Persamaan bantunya ialah 𝑟 2 − 8𝑟 + 16 = 0 atau 𝑟 − 4 𝑟 − 4 = 0 sehingga memiliki dua akar kembar, yakni 𝑟1 = 𝑟2 = 4. Solusinya ialah 𝑦 = 𝐶1 𝑒 4𝑥 + 𝐶2 𝑥𝑒 4𝑥 4. Carilah solusi dari PD non-homogen 𝑦 ′′ − 7𝑦 ′ + 10𝑦 = 6𝑒 5𝑥 ! Jawab: Persamaan bantunya ialah 𝑟 2 − 7𝑟 + 10 yang akar-akarnya berbeda, yakni 𝑟1 = 2 dan 𝑟2 = 5. Solusi homogennya 𝑦 = 𝐶1 𝑒 2𝑥 + 𝐶2 𝑒 5𝑥 Perhatikan bahwa 𝑘(𝑥) mengandung suku yang merupakan solusi homogen (𝑒 5𝑥 ), sehingga berdasarkan aturan yang ke-empat, kita modifikasi dengan menggunakan pengali x. 𝑦𝑝 = 𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 Substitusikan ke dalam persamaan diferensial (𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 )′′ − 7(𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 )′ + 10𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 = 6𝑒 5𝑥 (25𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 + 10𝐶3 𝑒 5𝑥 ) − 8(5𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 + 𝐶3 𝑒 5𝑥 ) + 12𝐶3 𝑥𝑒 5𝑥 = 6𝑒 5𝑥 Yang ekivalen dengan
3𝐶3 𝑒 5𝑥 = 6𝑒 6𝑥
Jadi diperoleh 𝐶3 = 2. Solusi akhir dari PD 𝑦 ′′ − 7𝑦 ′ + 10𝑦 = 6𝑒 5𝑥 ialah 𝑦 = 𝑦 + 𝑦𝑝 = 𝐶1 𝑒 2𝑥 + 𝐶2 𝑒 5𝑥 + 2𝑥𝑒 5𝑥 162
163
DAFTAR PUSTAKA
Bondan, Alit, Kalkulus Lanjut, penerbit Graha Media, Yogyakarta, 2007 Prayudi, Kalkulus Lanjut Fungsi Banyak Variabel & Penerapannya, penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009 Purwanto, H., Indriani, G., dan Dayanti, E., Kalkulus, penerbit Ercontara Rajawali, Jakarta, 2005 Redaksi Kawan Pustaka, Rangkuman Rumus Matematika, Fisika dan Kimia SMA, penerbit PT Kawan Pustaka, Jakarta, 2005 Sukino, Matematika untuk SMA kelas XII jilid 3A, penerbit Erlangga, Jakarta, 2007 Team Dosen Matematika Unhas, Matematika Dasar I, penerbit Jurusan Matematika FMIPA UNHAS, Makassar, 2009 ______, Matematika Dasar II, penerbit Jurusan Matematika FMIPA UNHAS, Makassar, 2009 Thobirin, Kalkulus Integral [online] Wirodikromo, Sartono, Matematika untuk SMA kelas XI jilid 4, penerbit Erlangga, Jakarta, 2007
Kredit Pengolah Gambar: Graphsight Junior v.1.0 MATLAB r2009b MS Paint version 6.1
164
165
166
Kalkulus Dasar Sunkar E. Gautama Paradoks Softbook 167 Publisher